Senin, 31 Maret 2008

Trafiking, Pengantin Pesanan

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Isu perkawinan pesanan antara perempuan WNI keturunan Tionghoa dari Kota Singkawang, dan daerah lain di provinsi Kalbar dengan laki-laki warga negara Taiwan masih tinggi. Ini jadi penyebab, Kalbar menduduki posisi ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Barat, sebagai daerah paling tinggi terjadinya perdagangan manusia (trafiking).

“Ini sangat memprihatinkan, apalagi yang menjadi korban perdagangan manusia umumnya perempuan dan anak,” kata ketua peneliti, Ani Muani, yang melakukan penelitian trafiking perempuan dan anak, melalui pengantin pesanan di Kota Pontianak tahun 2007 lalu.

Menurut Ani dari hasil penelitiannya bersama Patriani dan Marisi Aritonang, terungkap bahwa perkawinan transnasional ini banyak terjadi di Singkawang dan Sambas. Saat ini telah merambah hingga ke Kota Pontianak. Ini terjadi karena, Kota Pontianak merupakan daerah transit bagi perempuan daerah lain yang akan diberangkatkan ke Taiwan. Maka Pontianak menjadi tempat bagi calo untuk mendapatkan pesanan. Akibatnya tidak sedikit perempuan keturunan Tionghoa ikut menjadi korban.

Pengantin pesanan perempuan ini dapat dikategorikan tindakan trafiking karena ada unsur rekrutmen, proses yang mengandung kekerasan atau kejahatan, dan tujuan memperoleh keuntungan.

Penyebab terjadinya trafiking melalui pengantin pesanan lebih banyak disebabkan faktor kemiskinan. Faktor ini telah mendorong orang tua, merelakan anaknya menjadi istri bagi orang asing.

Dalam kondisi kehidupan tertekan, orang tua akan membujuk anak perempuannya, bahkan dengan paksaan, agar anaknya mau menikah dengan laki-laki asing. Yang dikenal lewat foto dan diperlihatkan calo. Alasan orang tua memaksakan anaknya menikah dengan orang asing juga beragam.

Ada orang tua menganggap menikah dengan orang asing, akan meningkatkan harkat dan derajat, serta martabat kehidupan keluarganya. Mereka terpaksa kawin untuk membayar hutang. Adanya ajaran yang dianut etnis Tionghoa, mengharuskan anak berbakti pada orang tuanya. Maka dengan menuruti kemauan orang tua untuk menikah dengan laki-laki asing asing, sudah dapat membantu orang tua dan saudaranya keluar dari kemiskinan. Hal itu dianggap sebagai bentuk pengabdiannya pada orang tua.

Paksaan untuk menikah, biasanya datang dari orang tua yang menerima bujukan dari para calo yang mencari perempuan untuk target perkawinan pesanan. “Selain itu masih melekatnya budaya patriarkhis yang mereka anut. Anak perempuan dianggap hanya akan membebani keluarga miskin,” kata Ani.

Selain faktor kemiskinan, konsumerisme merupakan faktor yang menjerat gaya hidup anak perempuan ABG, untuk mencari kehidupan lebih layak dengan cara cepat. Kondisi ini mendorong mereka mau menjadi istri orang Taiwan, dengan harapan suami mereka kelak, akan dapat memenuhi semua keinginan memiliki barang mewah, berupa pakaian, perhiasan dan harta benda lainnya, yang selama ini belum mereka miliki.

Terjadinya trafiking
Trafiking pengantin pesanan dilakukan oleh agen/biro jasa melalui tiga perantara. Agen pertama berfungsi mencari laki-laki Taiwan yang sedang mencari jodoh. Perantara kedua mengumpulkan perempuan yang bersedia menjadi calon pengantin perempuan bagi laki-laki Taiwan. Perantara kedua biasa dibantu perantara ketiga yang biasa disebut kesiu-kesiu. Berfungsi keliling mencari gadis muda di desa-desa yang bersedia menjadi calon pengantin perempuan.

Apabila lagi-lagi Taiwan ingin melanjutkan ke jenjang pernikahan, maka agen di kota Pontianak melakukan negosiasi dengan laki-laki Taiwan, baik bagi mereka yang datang sendiri maupun yang dibawa oleh agen dari Taiwan. Jika terjadi persetujuan antara kedua belah pihak, agen kota Pontianak menghubungi orang tua calon pengantin WNI keturunan Tionghoa, melalui calo perantara di Kota Pontianak.

Bila orang tua perempuan setuju, maka diadakan persetujuan untuk menentukan waktu dilaksanakan hari perkawinan dan tempat perkawinan. “Biasanya satu minggu setelah terjadi persetujuan dari kedua belah pihak, maka langsung dilakukan pertunangan,” jelasnya.

Dalam melakukan pendekatan terhadap orang tua calon pengantin perempuan, biasanya dilakukan pemberian panjar uang, untuk serah terima perkawinan anaknya. Acara pertunangan dihadiri oleh keluarga dan tetangga dekat.

Pada acara pertunangan dilaksanakan, pihak calon pengantin laki-laki membawa manisan, permen, beberapa kue basah dan kue kaleng, serta menyerahkan emas kawin berupa satu set perhiasan, terdiri dari cincin, kalung, anting-anting dan gelang untuk diserahkan kepada calon pengantin perempuan.

Acara dilanjutkan dengan pembagian angpau (amplop berisi uang) kepada keluarga terdekat yang hadir dan tetangga dekat. Besarnya bervariasi.

Perantara atau agen dalam satu bulannya berhasil mempertemukan perkawinan transnasional antara perempuan WNI etnis Tionghoa dengan laki-laki WN Taiwan, rata-rata empat pasangan. Jika di Kota Pontianak ada tiga orang calo, maka dalam satu tahun diperkirakan telah terjadi perkawinan sekitar 150 pasangan WNI keturunan Tionghoa dengan laki-laki WN Taiwan.

Berbeda dengan jenis trafiking yang lain, kekerasan atau kejahatan pada jenis trafiking melalui pengantin pesanan, perempuan baru merasakan setelah mereka sampai di negara Taiwan. “Meskipun sebenarnya kejahatan sudah terjadi saat rekrutmen yaitu berupa penipuan, pemberian janji-janji palsu dan pemalsuan kartu identitas,” kata Ani.□


Lima Lagi Calon KPUD Kalbar Segera Gugur

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Setelah melalui tes assesment psikologis dan wawancara, dari 20 orang calon KPUD yang mengikuti tes tersebut, Senin (24/3) kemarin, Tim Seleksi KPUD Kalbar menetapkan 10 ang lulus tes.
“10 peserta yang lulus ini ditetapkan berdasarkan nilai yang tertinggi dari hasil tes assesment psikologis dan wawancara,” kata Ketua Tim Seleksi KPUD Kalbar, Chairil Effendi, Rabu (25/3) diruang kerjanya.
Dikatakannya mereka yang lulus adalah yang mendapatkan nilai diatas 50 dari hasil penjumlahan dua item tes tersebut. Penilaiannya dibuat dalam 4 kuadran, yaitu kuadran pertama nilai terbaik, kuadran kedua nilai baik, kuadran ketiga nilai cukup dan kuadran keempat nilai kurang. Peserta yang mendapat nilai dikuadran 4 dinyatakan tidak lulus karena nilai dibawah 50. 10 nama calon KPUD Kalbar ini pada 16 April mendatang akan mengikuti fit and proper test yang akan diadakan di Kota Pontianak untuk menetapkan 5 orang anggota KPUD Kalbar. Jadi fit and proper test untuk 10 calon KPUD Kalbar ini tidak jadi dilaksanakan di Jakarta tapi tim seleksi dari Jakarta yang datang ke Pontianak untuk melaksanakan fit and proper tes. 10 nama tersebut pertama A.R. Muzammil, (84,58), Hefni Supardi, (83,5), Abriyandi mendapat nilai 79,68, Muhammad Sani (78,88), urutan peringkat kelima yaitu Umi Rifdiawaty, (78,6) keenam Sudianto, (77,5) ketujuh Sofiati, (77,22) urutan kedelapan Khairawati, (75, 8) kesembilan Muhammad Isa (73,88), kesepuluh Delfinus, (73,48).
“Urutan nilai yang diperoleh peserta calon KPUD tidak menjamin akan lulus tes akhir yaitu fit and proper test. Jadi misalkan di 10 besar, calon tersebut memperoleh nilai urutan pertama tapi tidak menutup kemungkinan peserta tersebut tidak lulus fit and proper test,” jelas Chairil.
Dengan penetapan 10 nama ini tugas tim seleksi KPUD Kalbar sudah selesai, wewenang selanjutnya untuk penetapan 5 nama anggota KPUD Kalbar dilakukan oleh KPU Pusat berdasarkan hasil fit and proper test.
Dari 10 nama tersebut jika ada yang berasal dari akademisi, LSM, Ormas dan atau didominasi etnis tertentu adalah suatu hal yang kebetulan. Yang jelas penilaian dari tim seleksi relatif objektif. Dan tim seleksi sangat mempercayai hasil dari tes assesment psikologis karena yang memberikan tes adalah orang-orang yang ahli dalam assesment psikologis. □


23 Rekomendasai Kebijakan Pembinaan TK dan SD Swasta

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Direktorat Pembinaan TK dan SD, Rabu (19/3) di hotel Grafika Bogor memberikan sosialisasi kebijakan pembinaan TK dan SD bagi penyelenggara sekolah swasta. Peserta sosialisasi tersebut dari unsur Kasubdin yang membidangi SD dari 33 kabupaten/kota dari 33 provinsi dan pengurus Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) kabupaten dan kota dari 33 provinsi.
“Mereka mengusulkan berbagai kebijakan pembinaan pendidikan TK dan SD sekolah swasta,” kata Ketua Kepala SD Muhammadiyah 2 Pontianak, Hatta Abdulhaji usai mengikuti acara tersebut.
Ia mengatakan ada 20 rekomendasai yang diusulkan, pertama agar lembaga pendidikan TK dan SD dapat mencapai standar nasional pendidikan, Dinas Pendidikan kabupaten dan kota hendaknya memberikan pembinaan, pelatihan serta monitoring secara continue pada tenaga pendidik dan kependidikan termasuk mengoptimalkan fungsi pengawas serta memberikan pembinaan manajemen kepada sekolah.
Kedua agar tidak ada lagi perbedaaan antara sekolah negeri dan swasta. Baik dalam pembinaan maupun pemberian bantuan dana dan sarana prasarana pendidikan, serta bantuan ketenagaan kepada sekolah yang memerlukan. Ketiga agar melibatkan peran serta masyarakat untuk lebih meningkatkan kepedulian pengelolaan pendidikan terutama dalam penggalangan dana pendidikan dengan menggunakan sistem manajemen terbuka.
Keempat dalam melaksanakan visitasi ke sekolah-sekolah, Badan Akreditasi Provinsi Sekolah dan Madrasah (BAP S/M) harus mengadakan silang murni antar asesor kabupaten dan kota disuatu provinsi.
“Kelima mengusulkan pada pemerintah kabupaten dan kota untuk memberikan reward (penghargaan) kepada setiap sekolah, kepala sekolah yang mendapatkan Akreditasi A (terbaik),” katanya.
Rekomendasi keenam dari kebijakan tersebut yaitu mengusulkan pada pemerintah kabupaten dan kota untuk senantiasa melibatkan BMPS dalam penyusunan anggota Unit Pelaksana Akreditasi (UPA) kabupaten dan kota dan penyusunan anggota BAP provinsi. Ketujuh mengusulkan kepada pemerintah untuk meningkatkan biaya operasional akreditasi terutama untuk pembiayaan asesor. Kedelapan agar Dinas pendidikan kabupaten dan kota bekerjasama dengan BMPS mensosialisasikan standar kualifikasi guru dan pelaksanaan sertifikasi (Juklat, Juknis, jadwal) langsung kepada yayasan dan kepala sekolah swasta. Kesembilan agar Dinas provinsi turut mengawal pemenuhan kuota sekolah-sekolah swasta sebesar 15 sampai 23 persen dalam sertifikasi guru.
Kesepuluh agar guru yang belum S1 dan telah mengajar minimal 20 tahun secara berturut-turut dapat diusulkan untuk mengikuti sertifikasi. Kesebelas agar guru yang belum S1 namun telah mengajar di daerah terpencil minimal 15 tahun berturut-turut dapat diusulkan untuk mengikuti sertifikasi. Kedua belas mengimbau kepada pemerintah memprioritaskan guru-guru daerah terpencil dalam pemberian kesempatan mengikuti pendidikan S1.
Rekomendasi yang ketiga belas mengusulkan kepada pemerintah untuk senantiasa melibatkan BMPS dalam pengawasan proses sertifikasi. Keempat belas RUU BHP dalam penyusunan hendaknya mempertimbangkan berbagai masukan masyarakat sesuai kondisi yang ada. Kelima belas menghimbau pada pemerintah dan BMPS untuk bekerjasama merancang implementasi BHP yang akan datang. Keenam belas dalam pendirian sekolah swasta hendaknya pemerintah memberikan kemudahan sesuai peraturan yang berlaku tapi disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Ketujuh belas perizinan operasional sekolah kepada negeri dan swasta harus konsisten memperhatikan peraturan yang berlaku. Kedelapan belas perlu peningkatan sosialisasi dan penerapan UU dan peraturan yang mengatur tentang standarisasi pengelolaan pendidikan termasuk Permendiknas No 19 tahun 2007 tentang standar pengelolaan sekolah dan madrasah. Kesembilan belas menghimbau pada Depdiknas agar dalam penetapan SDSN dan SDBI dilakukan secara akuntabel, transparan serta melibatkan Dinas Pendidika Kabupaten dan kota dan BMPS setempat. Kedua puluh pemerataan pelayanan pendidikan anak usia dini, pemerintah memberikan subsidi operasional PAUD pada TK atau kelompok bermain PAUD sejenis secara merata. Kedua puluh satu perlu meningkatkan progesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan pada lembaga-lembaga penyelenggara PAUD non formal. Kedua puluh dua kepada pemerintah dan perguruan swasta diserukan untuk lebih meningkatkan perhatian layanan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus. Kedua puluh tiga agar pemerintah memberikan kesejahteraan berupa pemberian insentif kepada pendidik dan tegana kependidikan perguruan swasta.


Rabu, 26 Maret 2008

Pengelolaan Batas Wilayah untuk Kedaulatan

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Kedaulatan dan hak berdaulat adalah konsep penting terkait dengan kewilayahan. Indonesia memiliki perbatasan kedaulatan baik darat, laut dan udara maupun hak berdaulat seperti Zona Ekonomi Eksklusif dan landasan kontingen dengan negara lain.
Adanya kedaulatan dan hak berdaulat atas wilayah dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dan berbatasan dengan negara lain. Maka perlu adanya langkah penanganan wilayah perbatasan seperti penetapan wilayah negara, penyelesaian sengketa wilayah negara, pengelolaan wilayah perbatasan dan penegakan wilayah hukum di perbatasan.
“Meskipun Indonesia telah mengeluarkan Deklarasi Juanda, meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982, namun Indonesia masih belum menyepakati batas wilayah negara baik laut maupun darat dengan sejumlah negara tetangga. Karena itu Indonesia harus segera melakukan kesepakatan dengan negara tetangga untuk penetapan batas wilayah,” kata Guru Besar Hukum Internasional, FHUI, Hikmahanto Juwana, Jumat (14/3) dalam acara seminar nasional Regulasi Sektor Perdagangan Menyongsong Perdagangan Bebas Asean di Rektorat lantai III Untan.
Ia mengatakan saat ini Indonesia masih menegosiasikan penetapan batas wilayah dengan sejumlah negara. Ada yang telah diselesaikan dan diratifikasi oleh DPR seperti landasan kontinen dengan Vietnam dan sebagian batas laut teritorial Singapura. Pemerintah juga perlu mengidentifikasikan pulau-pulau terluar Indonesia, membuat pemetaan yang lebih akurat atas wilayah yang telah disepakati maupun yang masih dalam status klaim sepihak oleh Indonesia.
Untuk penyelesaian sengketa wilayah negara pemerintah perlu memperhatikan opsi-opsi yang dimiliki dalam penyelesaian sengketa wilayah seperti langkah diplomasi, meminta Mahkamah Internasional untuk menyelesaikannya sepanjang ada kesepakatan antarnegara yang bersengketa dan melakukan langkah mengembangkan status quo.
“Penggunaan kekerasan atau kekuatan militer bukanlah suatu opsi. Penggunaan kekerasan hanya bisa dilakukan bila ada pelanggaran status quo oleh negara lain,” ujarnya.
Yang terpenting, lanjutnya pemerintah perlu memastikan agar tidak ada pelanggaran status quo atas overlapping area. Pemerintah juga harus mengendalikan sensitifitas publik Indonesia terkait dengan masalah penyelesaian sengketa wilayah sehingga tidak memperburuk situasi.
Upaya pengelolaan wilayah perbatasan, perlu diintensifkan perdagangan perbatasan antarnegara tanpa mengabaikan hukum dan peraturan perundang-undangan Indonesia. Dampak sosial masyarakat, terutama bila Indonesia berhadapan dengan negara yang lebih makmur juga perlu diperhatikan karena dikwatirkan ada eksodus orang dari wilayah yang kurang makmur dibandingkan dengan Indonesia.
“Terpenting penegakan hukum di wilayah perbatasan harus segera dilakukan,” ungkapnya.
Selama ini penegakan hukum kadang tidak berjalan karena adanya kepentingan oknum-oknum aparat hukum, insentif untuk melakukan pelanggaran hukum di perbatasan seperti penyelundupan baik orang maupun barang, kurangnya koordinasi, bahkan cenderung terjadi pertentangan antarinstansi.
Berbagai masalah yang terjadi merupakan tantangan ke depan dalam penanganan wilayah perbatasan, pemerintah perlu mensosialisasikan kepada publik adanya berbagai tantangan.
“Pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk mengamankan keutuhan NKRI dan memaksimalkan kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan,” jelasnya.
Upaya melakukan pengelolan wilayah perbatasan, Dekan Fakultas Hukum Untan, Garuda Wiko usai acara seminar mengatakan Kalbar sebagai provinsi yang memiliki perbatasan darat langsung dengan Malaysia, sejatinya memiliki karakter dan historisitas yang khas dalam menjalankan perdagangan antar negara. Border trade yang terjadi antara penduduk di wilayah perbatasan melalui PLB Entikong telah berlangsung sejak lama. Memang dari segi kualitas, hubungan perdagangan yang terjadi hanya dalam skala kecil. Tapi dari segi kualitas, praktek perdagangan telah membentuk penduduk di daerah perbatasan memiliki mentalitas sebagai warga yang biasa bersentuhan dengan dunia luar.
“Jadi sebenarnya penduduk wilayah perbatasan khususnya Kalbar memiliki bekal yang cukup untuk memasuki rezim perdagangan bebas,” katanya.
Masalahnya tinggal bagaimana pemerintah daerah melakukan inisiatif dan kebijakan yang dapat mengakselerasi pengembangan daerah perbatasan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Garuda berpendapat langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah upaya pengembangan wilayah perbatasan dalam kerangka otonomi daerah. Langkah lain menyiapkan infrastruktur dan kelembagaan yang relevan dalam mengikuti perkembangan lingkungan strategis global. Pembangunan infrastruktur yang memadai serta keberadaan lembaga khusus yang memfokuskan diri pada pengembangan wilayah perbatasan diharapkan dapat menterjemahkan kekhasan daerah perbatasan sebagai garis pertahanan, batas wilayah sekaligus sebagai area perdagangan.


Untan Perlu Kaji Ulang SPMB

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Bertambahnya PTN menjadi 43 PTN yang menyatakan keluar dari Perhimpunan SPMB harus segera menjadi perhatian Untan untuk mengkaji ulang apakah tetap mempertahankan SPMB atau ikut keluar.
”Alasannya Untan juga perlu bersikap tegas bahwa Untan mendukung 43 PTN yang menginginkan pemerintahan yang bersih dari KKN dan tidak melanggar hukum,” kata Menteri Advokasi BEM FKIP Untan, Imam Wahyudi, Kamis (13/3).
Menurutnya Untan harus segera mengkaji ulang apakah pelaksanaan SPMB dalam hal pengelolaan keuangan sudah sesuai dengan Keppres 80/2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah atau tidak. Selain itu apakah sudah sesuai aturan bahwa pemasukan dari uang pendaftaran bukan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Adanya perbedaan pandangan pada SPMB diantara PTN ini justru hanya akan merugikan masyarakat yang ingin mendaftar ke PTN.
Ini jelas sangat merugikan masyarakat karena ada perguruan tinggi yang tetap mempertahankan SPMB dan menggunakan UMPTN untuk seleksi penerimaan mahasiswa baru.
”Contoh misalkan Untan tetap mempertahankan SPMB berarti masyarakat Kalbar yang ingin mendaftarkan diri ke Universitas Airlangga, Surabaya tidak bisa lewat Untan untuk tes masuknya. Karena Universitas Airlangga, Surabaya sudah menyatakan keluar dari SPMB,” katanya.
Adanya perbedaan ini membuat masyarakat suatu daerah harus mengeluarkan biaya besar untuk masuk ke PTN di daerah lain. Karena masyarakat harus pergi ke daerah lain untuk mengikuti tes yang caranya berbeda dengan di daerahnya. Selain itu masyarakat juga harus mendaftar dua kali dan ikut tes dua kali yaitu SPMB dan UMPTN jika ingin mendaftar di beberapa PTN yang berbeda cara seleksinya dalam menerima mahasiswa baru.
Di tempat terpisah, Dekan FKIP Untan, Aswandi berpendapat melihat persoalan SPMB bukan hanya dari persoalan pengelolaan dana pemasukan pendaftaran SPMB tapi lebih pada konsep SPMB tidak tepat untuk merekrut calon guru yang khusus FKIP. Karena penerimaan mahasiswa baru lewat jalur SPMB tidak mampu memberikan informasi tentang kompetensi yang harus dimiliki calon mahasiswa yang ingin masuk FKIP dan menjadi guru.
”Sejak dari dulu saya tidak terlalu tertarik dengan jalur SPMB karena tidak cocok untuk FKIP,” katanya.
Penyelenggaraan SPMB untuk LPTK seperti FKIP jika ditinjau secara akademis tidak terlalu efektif pelaksanaannya karena dalam SPBM tidak ada tes atau pemahaman tentang kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru kepada para calon mahasiswa yang akan masuk FKIP.
Jalur SPMB hanya tes yang bersifat kompetensi kognitif saja sedangkan instrumen tes psikologis dan kompetensi-kompetensi lain yang harus dimiliki seorang guru tidak di tes.
Seharusnya ada jalur lain untuk seleksi penerimaan mahasiswa baru bagi LPTK FKIP. Untuk penyatuan secara nasional harus ada penyeragaman seleksi mahasiswa baru bagi LPTK-LPTK seperti FKIP.
”Seluruh LPTK di Indonesia mestinya mempunyai model seleksi tersendiri untuk penerimaan mahasiswa baru dan model seleksi tersebut disatukan untuk seluruh LPTK seperti yang sudah dilakukan PGSD di seluruh di Indonesia,” ujarnya.
Aswandi juga mengatakan sangat mendukung niat baik PTN yang menolak SPMB karena PTN tersebut menginginkan pencitraan publik yang bersih dari unsur KKN dan unsur-unsur yang melanggar aturan hukum.
Ditemui di ruang kerjanya, Rektor Untan, Chairil Effendi mengatakan Untan akan mengikuti keputusan DIKTI untuk penerimaan mahasiswa baru. Jika DIKTI masih menggunakan SPMB sebagai seleksi untuk penerimaan mahasiswa baru maka Untan akan ikut SPMB.


FoSSEI Kalbar Rekrut Anggota

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Forum Silaturahmi Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Kalbar yang merupakan organisasi mahasiswa bidang ekonomi Islam akan mengadakan rekrutmen anggota baru pada 15 sampai 16 Maret mendatang.
Sekretaris FoSSEI Kalbar, Rara Wiraswita, Kamis (13/3) saat ditemui di sekretariatnya mengatakan rekrutmen anggota ini dibuka untuk semua mahasiswa yang berminat untuk mempelajari ekonomi Islam. Pelaksanaan akan dilangsungkan di ruang rapat lantai III BAAK Untan. Bagi mahasiswa yang ingin menjadi anggota dapat segera mendaftarkan diri ke sekretariat FoSSEI Kalbar di jalan Irian no 35 atau dapat menghubungi 085245782204.
bicara tentang ekonomi Islam, katanya akan membincangkan suatu sistem yang mengatur permasalahan ekonomi, baik dalam aspek mikro maupun makro, yang berdasarkan kepada syari’at Islam. Suatu hal yang pasti, sumber pemikiran ekonomi Islam adalah aqidah dan ideologi Islam. Ekonomi Islam bersifat khas, unik dan berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis ataupun sistem ekonomi sosialis/komunis.Dari sini dapat dinyatakan, bahwa ekonomi Islam bukan merupakan sistem ekonomi campuran (yang biasa disebut dalam berbagai literatur dengan “sistem ekonomi jam bandul”). Sering dikatakan para akademisi, sistem ekonomi Islam lebih condong ke arah sosialis karena mengangkat persamaan dan keadilan sehingga sistem ekonomi Islam dilukiskan dengan jam bandul yang condong ke kiri.Rara menjelaskan ada kekhasan ekonomi Islam yang membedakannya dengan sistem ekonomi lainnya yaitu pertama ekonomi Islam memisahkan pembahasan ilmu ekonomi dengan sistem ekonomi, artinya hal-hal tentang pengadaan dan produksi barang/jasa merupakan bagian dari ilmu ekonomi.
Dengan demikian ilmu ekonomi hanya sebagai teknologi dan sains murni yang mempelajari bagaimana manusia dapat meningkatkan, mengembangkan produksi baik dari segi kuantitas dan kualitas serta berlangsung dengan efisien dan efektif. Sehingga ilmu ekonomi termasuk ilmu alam yang tidak dipengaruhi oleh ideologi atau nilai-nilai pandangan hidup tertentu dan bisa dimiliki oleh bangsa atau umat manapun tergantung kemampuan manusia dalam mengolah dan mengembangkan ilmu alam.
Maksudnya adalah urusan tentang masalah bagaimana teknik memproduksi dan meningkatkan kualitas barang dan jasa, Nabi menyerahkan sepenuhnya kepada manusia. Di sinilah Islam memberikan kebebasan kepada manusia dalam mengembangkan ilmu ekonomi sebagai sains murni.Dalam pembahasan sistem ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup, maka Islam mengaturnya. Sistem ekonomi Islam mengatur tentang tata cara perolehan harta (konsep kepemilikan); tata cara pengelolaan harta mulai dari pemanfaatan (konsumsi), pengembangan kepemilikan harta (investasi); serta tata cara pendistribusian harta di tengah-tengah masyarakat.Semua tata cara tersebut diatur menurut syari’at Islam. Dalam bahasa yang sederhana, bagaimana kita memperoleh dan mengelola harta, tidak boleh ada unsur riba, judi, penipuan, dan lain-lainnya. Transaksi-transaksi yang terjadi harus sah menurut Islam dan jenis usaha yang dilakukan pun harus jenis usaha yang halal.Pendistribusian harta di masyarakat merupakan perkara yang sangat penting. Hal ini disebabkan Islam memandang permasalahan ekonomi muncul jika individu-individu tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok hidupnya yang meliputi pakaian, makanan, perumahan, pendidikan dan kesehatan serta jaminan keamanan. Maka jalan pemecahannya adalah dengan mengatur pendistribusian harta di tengah-tengah masyarakat agar berjalan dengan adil dan benar dan negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap warga negaranya.”Jadi masalah pokok ekonomi adalah jika ada manusia apalagi banyak manusia yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok hidupnya,” katanya.
Ketua Rekrutmen Anggota FoSSEI Kalbar, Guntur mengatakan tujuan rekrutmen anggota ini untuk menjaring mahasiswa yang ingin mendalami dan membumikan ekonomi Islam di Kalbar. Melalui pengkaderan mahasiswa akan mempelajari konsep-konsep pemikirian ekonomi Islam sebagai suatu sistem ekonomi yang mengutamakan prinsip halalnya transaksi ekonomi dan berprinsip pada keadilan ekonomi.


Amankan PLN Sebagai Aset Negara

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

PLN adalah aset strategis dan menjadi indikator kedaulatan NKRI. Hal ini sudah jelas tertuang di dalam UUD 1945, bahwa pengelolaan sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat.
“Penguasaan oleh negara ini demi terciptanya ketahanan nasional di bidang energi. Di sinilah pemerintah berkewajiban menyediakan dan mendistribusikan energi ke seluruh wilayahnya,” kata Dosen Fakultas Hukum Untan, H Rousdy Said, SH, MS, Rabu (12/3) dalam acara Seminar Restrukturisasi PT. PLN di Auditorium Untan.
Ia mengatakan ketahanan nasional di bidang energi membuktikan kemampuan pemerintah untuk melakukan pengelolaan energi tanpa memperhatikan besar kecilnya dan kaya miskinnya negara tersebut. Dan tanpa memandang apakah suatu negara memiliki sumber daya alam energi atau tidak.
Untuk membangun perekonomian nasional yang diselenggarakan atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi nasional. Maka diperlukan penguasaan negara atas cabang-cabang produksi penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. “Di sinilah kapasitas pemerintah sebagai regulator dan sebagai operator utama,” ujarnya.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PT. PLN, Ir. Ahmad Daryoko di tempat yang sama mengatakan, ketika listrik dikuasai oleh perusahaan asing maka yang menikmati hanya segelintir orang kaya dan penjajah. Maka hanya dengan menguasai listrik pemerintah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan fasilitas umum. Prinsipnya visi pemerintah dalam penguasaan tenaga listrik adalah mengutamakan benefit atau sisi manfaat bagi kesejahteraan rakyat dan bukan untuk mengejar profit secara langsung.
Adanya argumen publik yang mempertanyakan untuk apa negara ikut dagang tenaga listrik adalah sebuah pernyataan yang keliru, karena negara menguasai tenaga listrik unuk melindungi kebutuhan rakyatnya akan tenaga listrik.
Jika pemerintah menghendaki model liberalisasi sektor kelistrikan sesuai UU No 20 Tahun 2002 Tentang Tenaga Kelistrikan, yang diinginkan pemerintah adalah pembongkaran monopoli listrik oleh PLN ke dalam pasar bebas. Agar terjadi mekanisme kompetisi, efisiensi, transparansi dengan demikian listrik diharapkan murah.
“Ini adalah pendapat yang salah karena dengan lepasnya negara dalam pengelolaan listrik maka akan terjadi persaingan bebas kelistrikan seperti yang terjadi pada persaingan bebas bahan bakar minyak saat ini,” katanya.
Guru Besar Sosiologi Untan, Prof, Dr, Syarif Ibrahim Alkadrie, M.Sc di seminar itu tak urung mengatakan restrukturisasi PLN dijalankan untuk meningkatkan jaminan pelayanan bagi pelanggan. Dikaji dari perspektif otonomi daerah, fasilitas, pelayanan dan kemanfaatan PLN harus dapat dirasakan daerah-daerah, sehingga manfaat pelayanannya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. □


SD Perbatasan Minim Guru

*Honor kecil, Guru Honorer Menyadap dulu Baru Mengajar

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Sintang

Jumlah tenaga pendidik di seluruh SD Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang sangat minim. Untuk melayani 24 SD di perbatasan dengan Serawak, Malaysia ini pemerintah hanya menyediakan 76 tenaga pendidik. Itu pun hanya 60 orang saja yang Pegawai Negeri Sipil (PNS).
“Jadi rata-rata setiap SD hanya ada 4 orang tenaga pendidik sedangkan setiap SD memiliki 200 siswa,” kata Guru SDN 16 Sepan Peturau, Edwin. A. Ma. Pd saat dijumpai di Sintang beberapa waktu lalu.
Minimnya jumlah guru ini kata Edwin menyebabkan guru di perbatasan harus pandai-pandai melaksanakan proses belajar mengajar. Biasanya seorang guru saat mengajar harus menyatukan beberapa kelas menjadi satu kelas.
Misalnya kelas I disatukan dengan kelas II, kelas III digabung dengan kelas IV dan kelas V dengan kelas VI. Guru tersebut harus bisa mengajar siswa dua kelas yang tingkatannya berbeda. Jika menyatukan dua kelas yang berbeda dirasakan akan mengganggu proses belajar karena jumlah siswa yang terlalu banyak dan suasana belajar menjadi tidak kondusif. Maka seorang guru harus rela mondar-mandir dari kelas yang satu ke kelas yang lain. Karena harus mengajar dua kelas sekaligus dalam waktu yang bersamaan dengan tetap memisahkan kelas itu.
”Proses pembelajaran di daerah perbatasan ini tidak lagi terlalu pusing pada kurikulum. Proses pembelajaran bisa terlaksana saja kita sudah harus bersyukur,” ujarnya.
Untuk kurikulum pendidikan memang SD – SD di perbatasan mengikuti kurikulum nasional yang katakan KTSP. Tapi pelaksanaan kurikulum ini tidak bisa berjalan maksimal karena banyak persoalan yang menjadi penghalang pelaksanaan kurikulum tersebut.
Dampak dari minimnya jumlah guru, ungkap Edwin ketuntasan dalam proses pembelajaran tidak bisa mencapai 80 sampai 100 persen. Karena seorang guru tidak dapat fokus untuk mengajar siswanya. Bayangkan saja misalnya sebentar ia harus ke kelas V sebentar kemudian ia harus pergi ke kelas VI. Jadi jika proses belajar waktunya 90 menit maka guru harus dapat membagi 90 menit tersebut untuk kelas V dan kelas VI. Misalnya 15 menit pertama mengajar di kelas V, 15 menit ke dua harus mengajar di kelas VI. Dan yang lebih memberatkan biasanya mata pelajarannya berbeda pula.
Contoh di kelas V mengajar mata pelajaran Matematika sedangkan di kelas VI harus mengajar IPA.
”Bagaimana bisa meningkatkan kualitas pembelajaran, kalau guru harus disibukkan hanya untuk mondar-mandir dari kelas yang satu ke kelas yang lain,” ungkapnya.
Untuk mengatasi kekurangan guru yang begitu banyak, pihak sekolah biasanya mengangkat guru honor dan guru bantu. Guru-guru ini hanya berasal dari masyarakat setempat yang mau mengajar dan mereka hanya berpendidikan SMA bahkan ada yang SMP. Jangan berharap mendapatkan guru yang berpendidikan S1 di daerah terpencil seperti ini. ”Untuk masalah tenaga guru, bagi kami tidak ada rotan akar pun jadi. Artinya tidak ada guru S1, orang yang lulusan SMA atau SMP pun akan dipakai jika mereka mau mengajar,” katanya.
Kondisi ini sangat berbeda dengan di Sarawak, Malaysia yang pendidikannya sudah maju. Kalau di Malaysia seorang guru akan bangga mengaku menjadi guru karena kesejahteraannya terjamin. Di Malaysia seorang guru berpenghasilan 3.000 – 4.000 Ringgit per bulan atau sekitar Rp 7 juta sampai Rp 8 juta perbulannya. Sedangkan di Indonesia khususnya daerah perbatasan, gaji seorang guru hanya Rp 1.5 juta per bulan atau tak lebih dari 600 Ringgit.
Lebih memprihatinkan lagi lanjut Edwin gaji guru honorer di SD perbatasan hanya Rp 250.000 sampai Rp 300.000 saja per bulan. Lantaran gajinya kecil, biasanya guru-guru honorer ini menoreh karet dahulu sebelum mengajar. Jadi biasanya proses pembelajaran baru dimulai jam 08.00 atau jam 09.00.
”Jadi jangan pernah menanyakan persoalan kurikulum pendidikan di sekolah kepada guru-guru honorer, karena mereka tidak memahaminya,” ungkapnya.
Ketua Kelompok Informasi Masyarakat Perbatasan (Kimtas) Ketungau Hulu, Murjani yang juga guru di salah satu SD di Ketungau Hulu mengatakan selain persoalan minimnya tenaga pendidik, dunia pendidikan di daerah perbatasan juga sangat minim dalam hal sarana dan prasarana pembelajaran. Baik dari ruang kelas yang banyak rusak, buku pelajaran kurang tersedia, sampai pada alat praktikum begitu minim bahkan tidak ada sama sekali. Selain itu akses informasi seperti TV, Koran dan radio pun sangat minim. Bahkan tidak ada saluran TV dan radio Indonesia yang dapat ditangkap di Ketungau Hulu. Begitu juga dengan media massa belum ada dijual sampai ke daerah perbatasan. Jadi selama ini masyarakat di daerah perbatasan lebih mengakses TV dan Radio dari Sarawak.
Persoalan lagi adalah rumah dinas guru di SD-SD perbatasan ini sangat tidak layak untuk dihuni. Rumah-rumah dinas guru tersebut atapnya bocor, lantainya banyak berlubang, pintu dan jendela banyak rusak.
”Kita berharap pemerintah kabupaten Sintang dan Provinsi Kalbar dapat memperhatikan pendidikan di daerah perbatasan. Jangan hanya sekadar wacana akan membangun daerah perbatasan,” pungkasnya.


Calon KPU Kalbar Tes Assesment Psikologis

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Tes lanjutan calon anggota KPU Kalbar akan dilaksanakan Senin (17/3) mendatang pada pukul 07.00 di Rektorat lantai II Untan. Tes lanjutan ini berupa tes Assesment Psikologis dan Wawacara. Untuk itu, 20 orang calon anggota KPU yang sudah lulus seleksi tertulis pada (3/3) lalu diharapkan dapat hadir sesuai waktu yang telah ditetapkan.
“Tes Assesment Psikologis dilaksanakan dari pukul 07.00 – 09.00 sedangkan wawancara pada pukul 11.00 – 12.00,” kata Ketua Tim Seleksi KPU Kalbar, Chairil Effendi, Selasa (11/3) di ruang kerjanya.
Ia mengatakan tes ini merupakan tahap III seleksi anggota KPU. Penilaian hasil tes Assesment Psikologis dan wawancara akan digabung dan 10 nilai tertinggi akan dikirim ke Jakarta untuk mengikuti fit and proper test akhir April nanti. Dengan pemberitahuan ini diharapkan peserta tes dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar dapat lulus seleksi.
”Para peserta tidak perlu mendatangi ketua dan anggota seleksi KPU. Peserta juga tidak perlu mengirim surat rekomendasi dari lembaga manapun kepada tim seleksi karena kita akan melakukan penilaian secara objektif,” ujarnya.
Jika ada peserta masih sering datang atau mengirim surat rekomendasi ke Tim Seleksi KPU maka justru hal tersebut menjadi catatan tersendiri bagi Tim Seleksi KPU untuk tidak meluluskan peserta tersebut.
Semua peserta dapat mengikuti seleksi selama belum ada laporan dan keputusan dari pengadilan yang memutuskan peserta tersangkut masalah hukum. Tapi jika terbukti tersandung hukum maka peserta tersebut akan segera diganti sesuai prosedur yang berlaku. ■


Toyota Peduli Lingkungan Hidup

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Penyelenggaraan Lomba Perbaikan Lingkungan Hidup Tingkat SMA dan SMK se Indonesia 2007-2008 Toyota Eco Youth Program adalah langkah Toyota yang peduli pada lingkungan hidup. Jika selama ini otomotif dianggap penyumbang terbesar polusi udara maka Toyota bersama PT Anzon Autoplaza mencoba menunjukkan kepeduliannya pada masalah lingkungan hidup. Demikian diungkapkan Kepala Bengkel PT Anzon Autoplaza, Nur Baitul, saat menghadiri acara Toyota Eco Youth Program di SMAN 1 Pontianak, Selasa (11/3).
Ia mengatakan untuk Kalbar lomba ini diikuti 20 SMA dan SMK tapi ternyata dari hasil seleksi hanya ada dua sekolah yaitu SMAN 1 Pontianak dan SMAN 3 Pontianak yang akan mewakili Kalbar untuk ikut pameran dan kompetisi se Indonesia di Jakarta pada 28 Maret mendatang.
Selain menyelenggarakan program ini, Toyota juga telah memproduksi kendaraan yang ramah lingkungan. Diharapkan program perbaikan lingkungan hidup ini tidak putus sampai di sini saja tapi dapat berkelanjutan.
“SMAN 1 dan SMAN 3 Pontianak diharapkan dapat mensosialisasikan ke masyarakat tentang bagaimana melakukan pengolahan sampah agar tidak merusak lingkungan. Untuk sekolah-sekolah lain diharapkan dapat mengikuti jejak SMAN 1 dan SMAN 3 Pontianak untuk melakukan perbaikan lingkungan hidup,” katanya.
Internal Toyota sendiri sudah melakukan program mengolah hasil-hasil limbah industri Toyota melalui Toyota Servis Manajemen Sistem seperti tidak membuang oli bekas sembarangan bahkan mendaur ulang kembali limbah industri yang ada.


Masyarakat Harus Peduli Lingkungan Hidup

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Semua inovasi, strategi dan proyek yang dilakukan TIM Kelompok Peduli Lingkungan Hidup SMAN 1 Pontianak (Keliling SMANSA) akan sia-sia tanpa adanya peran aktif dari seluruh masyarakat sekitar untuk membudidayakan pengolahan limbah di SMAN 1 Pontianak. Berbagai aksi untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi siswa serta masyarakat mulai digalakkan demi meningkatkan kualitas lingkungan sekolah dan sekitarnya.
Puji Astuti, anggota Kelompok Peduli Lingkungan Hidup SMAN 1 Pontianak mengatakan SMANSA melakukan program sosialisasi Keliling SMANSA yang dimulai dari sosialisasi ke semua kelas mengenai cara pengolahan limbah organik menjadi kompos hijau, merintis pelatihan kerajinan tangan dari sampah anorganik di SMAN1 Pontianak dan melakukan kampanye di sekolah dengan cara menggunakan tas daur ulang serta mengadakan lomba membuat tong sampah antar kelas guna meningkatkan semangat siswa untuk melaksanakan aksi cinta lingkungan.
“Selain aksi intern, Keliling SMANSA juga melakukan sosialisasi eksternal melalui aksi pembagian Eco Youth Pin. Pin ini berfungsi untuk menjadi alat kampanye Keliling SMANSA karena berisi pesan mencintai lingkungan hidup,” katanya.
Keliling SMANSA juga melakukan kerja sama dengan beberapa Koran harian untuk memberikan informasi serta kampanye ke masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan hidup, melakukan pembagian album bertema lingkungan hidup yang dibagikan dalam bentuk CD sebanyak 100 keping ke beberapa SMP dan SMA di Kalbar. CD ini juga dibagikan ke instansi pemerintah daerah seperti Bapeldalda Kalbar, ke Mall dan pusat perbelanjaan.
Selain tiga hal diatas, Keliling SMANSA melakukan kunjungan di sejumlah Radio Pemerintah dan Radio Swasta di Pontianak, Roadshow di beberapa SD dan berkeliling di sejumlah TV local di Kalbar.
Julisah Pratiwi, anggota SMANSA lainnya berharap dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan Keliling SMANSA Pontianak mampu meningkatkan manajeman pengelolaan sampah dan mampu memproduksi Trichoderma dengan cara memberdayakan seluruh elemen sekolah.
SMAN 1 Pontianak juga membentuk Keliling sebagai salah satu ekskul di sekolah. Keliling diharapkan mampu menjadi tonggak lahirnya ekskul yang berwawasan lingkungan.
“Tujuan lahirnya Keliling ini memberikan kesadaran dan pengetahuan terhadap pelajar dan khalayak umum mengenai pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup,” jelasnya.
Keliling, kata Julisah memusatkan perhatian pada sosialisasi keluar sekolah dan memupuk kesadaran siswa SMAN 1 pontianak. Langkah yang biasa dilakukan Keliling diantaranya sosialisasi ke para pemilik kantin agar berpartisipasi dalam memisahkan dan mengolah sampah. Keliling juga memberikan satu unit komposter mini beserta jamur Trichoderma. Dengan strategi ini diharapkan mampu meningkatkan kesadaran dan semangat pemilik kantin untuk menjaga kebersihan lingkungan sekolah.
Keliling juga mengadakan Komik (Kompetisi Mading Lingkungan) yang mengusung tema lingkungan hidup dan menggunakan barang-barang bekas. Tujuannya meningkatkan kreativitas siswa SMAN 1 Pontianak. Selain itu Keliling juga mengirimkan delegasi dalam even pendidikan lingkungan untuk SMA, bekerjasama dengan pihak komite sekolah untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup di sekolah, kerjasama dengan orang tua murid untuk mengolah sampah menjadi kompos, sosialisasi ke TK, SD, dan SMP yang tujuannya menciptakan kesadaran sejak dini pada anak untuk menjaga kebersihan lingkungan hidup, sosialisasi di instansi pemerintah dan Kepolisian, sosialisasi di perumahan sekitar sekolah.
”Keliling sering sosialisasi melalui RRI, kerjasama dengan California Fried Chicken (CFC) dan kerjasama dengan pihak Bapeldalda Kalbar, kerjasama dengan Fakultas Pertanian dan Kehutanan Untan yaitu melakukan penanaman seribu pohon, penjualan Merchandise Eco Youth seperti tas, pin dan CD dari barang bekas,“ pungkasnya.
Fatmawati, Guru Pembimbing Keliling mengatakan saat ini sampah bukan lagi masalah tapi bisa jadi rupiah. Jika dikelola dengan baik, karena itu SMAN 1 Pontianak melibatkan siswa untuk mengolah sampah tersebut dengan tujuan dari siswa, oleh siswa dan untuk siswa.


Sampah Bukan Masalah, Bahkan Bisa Jadi Rupiah

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Permasalahan limbah tanah galian di SMAN 1 Pontianak akibat adanya proyek renovasi sekolah ternyata memberikan dampak negatif bagi lingkungan di sekolah seperti membentuk struktur areal lahan yang miskin unsur hara dan mineral, menurunkan nilai estetika di lingkungan SMAN 1 Pontianak karena terkesan menjadi kumuh dan tidak tertata dengan baik karena penumpukan tanah tanpa penanganan lebih lanjut. Limbah tersebut dapat dipastikan merusak keindahan di lingkungan sekolah. Dampak lain dari limbah tanah tersebut dapat mengurangi kenyamanan dalam proses belajar mengajar.
“Tanah yang becek dan lahan sekolah yang tidak teratur tentu akan menghasilkan lingkungan belajar yang tidak kondusif. Kasus unik local kelas dipenuhi jejak kaki siswa dan guru karena sebelum memasuki ruangan kelas, guru dan murid harus melewati areal tanah aluvial,” kata Reza Pranata Putra, siswa kelas XI IPA 5 usai presentasi lomba Perbaikan Lingkungan Hidup Tingkat SMA dan SMK se-Indonesia yang digelar Toyota Eco Youth Program 2007/2008 di SMAN 1 Pontianak, Selasa (10/3).
Reza mengatakan untuk mengatasi permasalahan limbah tersebut, ia bersama teman-teman satu tim dalam lomba mencoba melakukan penelitian terhadap kandungan tanah yang terdapat pada objek limbah. Setelah diteliti kandungan tanah, ia mencoba melakukan pengelolaan agar tanah tersebut dapat dijadikan media bertanam, apalagi setelah diketahui bahwa tanah galian ini bersifat non pirits (tanah mati, red). Yang cocok ditanam tanaman buah-buahan dan obat-obatan keluarga yang bernilai ekonomis, berdaya guna dan berkesinambungan.
“Cara yang kami lakukan untuk mengelola tanah tersebut dengan mencampurkan tanah aluvial hasil galian dengan tanah bakar dan kompas hijau yang tujuannya untuk menetralisir keasaman tanah,” ujarnya.
Limbah tanah galian yang semua membawa dampak negatif bagi sekolah kini mampu disulap menjadi lahan yang ekonomis. Proses pengolahan tanah galian dan penanaman tanaman obat inipun tidak sulit. Bahan-bahan seperti kompos dapat diproduksi sendiri oleh SMA 1 Pontianak dengan sangat mudah sehingga strategi pengolahan limbah ini begitu ekonomis, efesien, efektif dan ramah lingkungan.
“Selain melakukan pengolahan terhadap tanah hasil galian sebagai permasalahan utama dalam proyek ini, kami juga melakukan upaya lain untuk memperbaiki lingkungan hidup di sekolah kami,” ungkapnya.
Satrio Adie Wijaksono, yang juga tim dalam lomba perbaikan lingkungan hidup mengatakan upaya memperbaiki lingkungan hidup di SMAN 1 Pontianak dengan cara memisahkan limbah menjadi dua bagian yaitu organik dan non organik agar memudahkan proses pengolahan selanjutnya. Caranya membuat tempat sampah kembar yang satu untuk sampah organik dan yang satu untuk non organik yang masing-masing diletakkan di depan kelas. Tong sampah ini dibuat dari kaleng-kaleng cat berukuran 20 kg sisa pembangunan sekolah.
”Setelah dilakukan pemisahan antara sampah organik dan anorganik kemudian dilakukan pengelolaan lebih lanjut terhadap sampah tersebut seperti membuat kompos hijau dari sampah organik dan pembuatan kerajinan tangan dari sampah anorganik,“ katanya.
Sampah organik diolah menjadi pupuk kompos dengan menggunakan jamur Trichoderma. Penggunaan kompos sebagai pupuk memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia. Kompos mampu menyediakan unsur hara makro dan mikro yang lebih lengkap, mampu memperbaiki struktur tanah, menurunkan aktivitas mikroorganisme yang merugikan dan yang terpenting mampu mengurangi pencemaran lingkungan akibat sampah khususnya sampah organik.
Niyalatul Muna, siswa kelas XI IPA 5 yang termasuk dalam tim SMAN 1 Pontianak mengungkapkan sampah-sampah anorganik yang ada di SMAN1 Pontianak telah diolah menjadi beberapa jenis kerajinan tangan dan barang siap pakai.
Contohnya botol-botol bekas diolah menjadi pot bunga gantung yang berfungsi sebagai media vertoga sedangkan plastik bungkusan makanan diolah menjadi kerajinan tangan lainnya seperti tas, map, jas hujan, topi dan kerajinan tangan lainnya.
”Upaya pembuatan kerajinan tangan ini, kami bekerjasama dengan ibu PKK dari perumahan Dwi Ratna 3 RT 05 RW 06, kelurahan Siantan Hulu yang merupakan pemenang dalam lomba Clean and Green City Pontianak 2007. Sampah plastik yang terkumpul setiap 2 minggu sekali kami kirim ke ibu PKK ini yang selanjutnya diolah menjadi tas, map, tempat pensil dan kerajinan lainnya yang dijual di koperasi sekolah. Dengan cara ini, sampah yang ada di lingkungan SMAN 1 Pontianak tidak ada yang keluar sebagai sampah namun menjadi barang-barang yang memiliki nilai ekonomis dan berdaya guna,“ paparnya.


Profesi Guru Perlu Dikaji Ulang

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Upaya meningkatkan mutu pendidikan terkendala oleh tidak berkualitasnya sebagian besar pendidik. Apalagi kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidik yang dilakukan pemerintah belum menyentuh akar persoalan. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru hanya dilihat dari aspek kognitif saja. Meskipun dalam UU Guru dan Dosen sudah dijabarkan kompetensi yang harus dimiliki seorang guru tapi kenyataannya dalam meningkatkan kualitas pendidik pemerintah hanya mengedepankan aspek kognitif seperti syarat menjadi pendidik harus S1.
Dekan FKIP Untan, Aswandi berpendapat untuk menjadi pendidik tidaklah cukup hanya dinilai dari kognitifnya saja. Tapi seorang pendidik harus memiliki komitmen dan abtraksi. Komitmen sangat dibutuhkan dalam diri seorang pendidik dan jika pendidik tidak memiliki komitmen mendidik maka proses pendidikan yang dilakukan oleh pendidik tersebut tidak akan menghasilkan mutu yang baik.
“Komitmen menjadi pendidik ini contohnya guru bangga menjadi seorang pendidik dan benar-benar memberikan proses pendidikan pada peserta didik bukan malas-malasan mengajar atau mengajar hanya sebagai rutinitas kerja dan tidak ada proses mendidik peserta didik,” katanya.
Sedangkan abtraksi ini adalah kompetensi-kompetensi lain yang harus dimiliki seorang guru misalnya seorang pendidik harus S1, memiliki kompetensi kepribadian, Kompetensi Profesional, dan Kompetensi Sosial Kemasyarakatan.
Jika ingin memperbaiki mutu pendidikan, kata Aswandi maka perlu memikirkan kembali profesi keguruan. Hal ini penting untuk dipikirkan karena saat ini banyak guru yang bukan pendidik atau tidak bisa mendidik. Meskipun guru telah bergelar pendidikan tinggi seperti S1 atau S2 bahkan bergelar profesor belum tentu guru tersebut punya komitmen sebagai pendidik.
Sebagian besar guru hanya sebagai pengajar dengan mengejar tujuan kognitif dalam pembelajaran dan tidak memiliki tujuan merubah prilaku peserta didik. Bahkan cara guru mengajar masih bersifat teks book yaitu menyampaikan apa yang ada dalam isi buku tanpa mengkritisi isi buku tersebut.
”Padahal isi buku pelajaran belum tentu benar semua,“ ungkapnya.
Keadaan inilah yang mengakibatkan kondisi pendidikan menjadi rusak karena pendidikan tidak diurus oleh orang yang punya komitmen terhadap pendidikan. Persoalan lain, kata Aswandi kesadaran kolektif para pendidik dan birokrasi dipemerintah serta masyarakat begitu rendah terhadap persoalan pendidikan. Contoh kasus saat di Kalbar mutu pendidikan SMP Kalbar terburuk di Kalimantan tapi tidak ada yang bereaksi secara keras menuntut pemerintah provinsi untuk segera memperbaiki mutu pendidikan yang benar-benar terpuruk. Berbeda dengan AS, ketika mutu pelajaran sains di AS di bawah negara-negara Asia, pemerintah AS menyatakan negara AS dalam keadaan bahaya. Di Jepang kalau ada pemimpin yang gagal dalam melaksanakan tugas mereka akan segera mengundurkan diri tapi di Indonesia justru pejabat yang gagal menjalankan tugasnya malah minta diperpanjang masa jabatannya.
“Pemerintah tampaknya sudah kehilangan kecerdasan harga dirinya dan tidak lagi memiliki rasa malu meski mutu pendidikan telah begitu terpuruk,” ujarnya.


Pendidikan Indonesia Gagal Ciptakan Generasi yang Utuh

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Pendidikan telah gagal dalam membangun generasi yang utuh dan paripurna. Kebijakan pendidikan yang dibuat pemerintah tidak memperhitungkan kepentingan kualitas anak bangsa. Kebijakan pendidikan yang tidak jelas ini hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat teknis dan belum menyentuh persoalan substansial sehingga mutu pendidikan tidak membaik. Akibatnya indeks pembangunan manusia Indonesia berada di peringkat 108 dari 177 negara.
Asmil Ratna, Guru SMAN 2 Sungai Ambawang, mengatakan harus ada upaya mereformasi pendidikan secara menyeluruh yang hasilnya harus dapat memberikan kontribusi signifikan pada kualitas bangsa secara keseluruhan. Pemerintah harus membuat kebijakan pendidikan yang mengarah pada satu tujuan serta dijalankan secara konsisten dalam jangka waktu tertentu.
“Kebijakan pendidikan harus punya visi ke mana generasi bangsa ini akan bawa dan generasi seperti apa yang harus dihasilkan dari proses pendidikan,” katanya. Selama ini yang terjadi upaya meningkatkan mutu pendidikan tidak berangkat dari kepentingan mereka yang langsung berhubungan dengan pendidikan seperti guru, kepala sekolah, dan masyarakat. Yang ada adalah pemaksaan isi otak para penguasa yang duduk di birokrasi pemerintah kepada peserta didik. Padahal pemerintah sendiri tidak berhasil menemukan resep yang manjur. Akibatnya yang terjadi di lapangan kebijakan seperti percobaan yang berganti-ganti.
“Kebijakan isi kurikulum adalah contoh eksperimentasi pendidikan,” ujarnya. Sikap pragmatisme pemerintah sengaja menempatkan pendidikan pada struktur kekuasaan sehingga seluruh kebijakan pendidikan bergantung pada pemerintah. Jika pemerintah tidak serius menangani pendidikan, hasilnya dapat rasakan bersama. Komitmen rendah pada gilirannya melahirkan pendidikan carut-marut. Ironisnya kebijakan pendidikan tidak lahir dari penelitian lapangan dalam suasana pembelajaran di sekolah dan masyarakat Indonesia. UN yang setiap tahun memicu kontroversi dan bukanlah kebijakan strategis yang dapat memajukan pendidikan nasional. “Namun para guru, DPR, komite sekolah, orang tua sepertinya dipaksa berlelah-lelah berpolemik masalah UN. Sedangkan pemerintah tidak peduli dampaknya bagi masa depan pendidikan secara keseluruhan,” ungkapnya. Asmil berpendapat buah dari pendidikan yang tidak bervisi ke depan tidak mengajak anak didik untuk berpikir eksploratif dan kreatif. Seluruh suasana pembelajaran yang dibangun adalah penghafalan, tanpa pengertian yang memadai. Ujian yang ditanyakan adalah hasil penghafalan bukan pembatinan karena yang muncul adalah pilihan ganda. Siswa yang mampu berpikir kritis dan suka mengkritisi guru dianggap pembangkang dan harus dihukum. Siswa tidak di didik, tapi di-drill, dilatih, ditatar, dibekuk agar menjadi penurut, tidak jauh berbeda dari pelatihan binatang-binatang 'pintar dan terampil' dalam sirkus. Suasana pembelajaran yang 'salah urus' semacam itu, katanya telah menciptakan cakrawala berpikir peserta didik menyempit dan mengarah pada sikap-sikap fasisme, bahkan menyuburkan mental tempe yang menghambat kemajuan bangsa. Kondisi ini menimbulkan ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran. Dalam memandang masalah peserta didik melihatnya dengan kacamata kuda hanya satu arah karena kebiasaan di kelas bertahun-tahun dibuat demikian. Imbasnya banyak generasi muda saat ini gagal menyelesaikan masalah kompleks ketika hidup dalam masyarakat.
“Dampak yang paling parah, generasi muda saat ini selalu berpikir instant dan jarang generasi muda yang tangguh dalam menjalani sebuah proses untuk mencapai kesuksesan hidup,” kata Asmil. Teguh, guru SMPN 18 Pontianak berpendapat kebijakan dan kurikulum pendidikan nasional belum memberikan ruang dan waktu yang cukup berarti untuk pencerahan siswa. Yang lebih memprihatinkan, guru sering terjebak pada situasi rutinitas pembelajaran yang kaku, monoton, dan menegangkan lewat sajian materi yang lebih mirip orang berkhotbah, indoktrinasi, dan membunuh penalaran siswa dan dikukuhkan lewat dogma-dogma atau mitos-mitos.Padahal musuh utama pendidikan bukan saja kebodohan dan keterbelakangan, melainkan birokrasi yang pasif dan stagnan. Jika hendak memperbaiki pendidikan, agenda besarnya adalah reformasi dulu para pengambil keputusan di Depdiknas sampai ke daerah-daerah karena merekalah yang menentukan hitam putihnya pendidikan nasional.
“Selama kursi Mendiknas adalah kursi panas yang hanya boleh diduduki orang partai politik sukar berharap bahwa pendidikan akan membaik,” katanya. Kehadiran pendidikan harus benar-benar dimaknai secara substansial sebagai ajang yang menggembleng jutaan anak bangsa menjadi generasi yang utuh dan paripurna, cerdas intelektualnya, cerdas emosionalnya, sekaligus cerdas spiritualnya. Bukan hanya sekadar pelengkap yang selalu disanjung sebagai pengembang SDM, tapi realitasnya hanya menjadi sebuah 'Indonesia' yang terpinggirkan'.
Pendidikan sudah saatnya ditempatkan pada posisi yang benar sebagai alat dan sarana mengisi kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya. Jika pendidikan terus terabaikan, bangsa ini sendiri yang akan menikmati hasilnya.
”Akan lahir pemimpin-pemimpin yang salah urus dalam mengelola negara seperti kita alami sekarang ini. Pendidikan yang bervisi ke depan tidak hanya mengentaskan anak didik dari kebodohan dan keterbelakangan saja namun juga bisa menyelamatkan bangsa secara keseluruhan,” ungkapnya.


Persamaan Gender Membuat Peran Berimbang

Tantra Nur AndiBorneo Tribune, Pontianak

Masih adanya pendapat masyarakat Indonesia terutama budaya timur yang sering kali beranggapan bahwa peran dan tugas perempuan hanyalah di dapur, menyurus anak, memasak dan mengurus rumah haruslah segera ditinggalkan. Demikian diungkapkan Direktur Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Borneo, Rosmaniar

Ia mengatakan peran perempuan tidak hanya di dalam rumah tangga tapi punya peran yang lebih besar yaitu peran sosial. Peran di dalam rumah tangga dan peran dalam sosial masyarakat ini harus dijalankan dengan seimbang. Perempuan tidak akan berarti apa-apa jika kewajiban-kewajibannya terhadap rumah tangga dan anggota masyarakat tidak ditunaikan.

“Perempuan jika dapat dijalankan dengan baik akan menjadi faktor asas dalam melahirkan keluarga yang bahagia. Keluarga bahagia ialah keluarga yang ahlinya shalat, hidup dalam suasana gembira, bersikap saling hormat menghormati serta terpelihara dari segala perkara negatif dalam aspek kehidupan,” ujarnya.
Pembentukan keluarga bahagia memerlukan penyertaan dan kerja sama semua ahli rumah. Bagaimanapun peranan yang bertindak sebagai istri dan ibu adalah paling penting. Tanpa mereka, perkembangan keluarga terutama anak akan terhenti, keindahan hidup tidak akan dirasakan, segala-galanya akan menjadi pincang.
“Perempuan atau seorang ibu haruslah cerdas agar mampu memberikan pendidikan pada anak. Karena anak kelak menjadi tulang punggung negara,” katanya.
Meskipun perempuan lebih berperan didalam urusan rumah tangga, menurut Rosmaniar perempuan harus dapat memberikan peran dilingkungan sosialnya. Baik lingkungan RT, RW dan lebih bagus perempuan dapat berkarier atau menjalankan usaha sampingan. Hal ini bertujuan agar wanita tidak terlalu bergantung pada suami. Seorang perempuan harus menghindari ketergantungan pada suami. Supaya jika sewaktu-waktu perempuan harus menggantikan peran laki-laki sebagai pencari nafkah bagi keluarga maka perempuan harus siap.
“Sebenarnya peran dan kewajiban perempuan tergantung pada kesadaran suami bagaimana dalam membagi peran dengan istri. Ada laki-laki yang tidak menghendaki istrinya bekerja di luar rumah. Tapi ada juga laki-laki yang memberikan kebebasan pada istrinya,” papar Rosmaniar.
Pendapat yang sama tentang seharusnya peran perempuan juga diungkapkan Koordinator Program PPSW Borneo, Reny A. Hidjazie yang mengatakan memelihara dan mendidik anak dengan sebaik-baiknya adalah kebaktian yang besar seorang perempuan terhadap agama, nusa dan bangsa.

Sebaliknya mensia-siakan pendidikan dan pemeliharaan anak, berarti mereka telah merusak negara. Karena kerusakan batin manusia itulah yang menjadi pokok pangkal kerusakan negara.
Jadi peran paling utama perempuan adalah seorang ibu. Dalam ajaran Islam, lanjutnya semua kerja yang dilakukan demi keperluan umat termasuk di dalam makna perjuangan fisabilillah. Namun apa yang menimbulkan masalah ialah sikap perempuan yang bekerja untuk bebas lepas dari pada nilai-nilai rohani, atau bersikap ingin maju setanding dengan lelaki dalam segenap segi. Sikap seperti haruslah dihindari karena perempuan harus mengutamakan pendidikan anaknya. pengaruh ibu dalam mendidik anak-anak jauh lebih besar dibanding dengan peranan guru di sekolah. Cinta dankasih seorang ibu kepada anaknya dengan hati yang suci murni inilah yang melandasi ibu dalam mendidik anaknya.

“Kebahagiaan hidup hanya dapat dinikmati apabila manusia dapat memenuhi berbagai keperluan seperti keperluan material, mental, emosi, sosial dan rohani. Dalam kehidupan berkeluarga, istri yang baik, yaitu yang tahu dan melaksanakan tugas dan peranannya yang baik adalah merupakan unsur penting ke arah mencapai kebahagiaan hidup,” katanya.
Nonik, mahasiswi Fakultas Hukum punya pendapat yang berbeda tentang peran perempuan. Mahasiswi semester 5 ini berpendapat harus ada keseimbangan pemberdayaan antara perempuan dan laki-laki. Untuk menjaga keseimbangan baik dalam keluarga, masyarakat, ataupun dunia, banyak hal yang bisa dilakukan laki-laki maupun wanita. Sebelum melakukan pemberdayaan atas gender yang lain, tentu saja masing-masing harus sadar potensi diri masing-masing. Karunia biologis dan psikologis masing-masing. Setelah itu masing-masing perlu mengerti karunia biologis dan psikologis lain gender.

“Awal mula keseimbangan adalah pengertian atas hal-hal yang mau diseimbangkan. Karena dua hal inilah yang sangat-sangat berbeda dari seorang perempuan dan laki-laki,” katanya.
Untuk membicarakan peran laki-laki atas pemberdayaan wanita. Pertama laki-laki sangat berperan untuk mengerti dan memahami wanita, apa keinginannya? apa kebutuhannya? Kemudian laki-laki bisa memberikan kesempatan agar wanita punya akses terhadap apa yang dibutuhkannya.Peran ini bisa diaplikasikan dalam keluarga.

Keseimbangan sebuah keluarga akan terbangun jika antara suami istri saling berbagi, sharing apa yang menjadi kebutuhan masing-masing?. Membangun komunikasi dan akhirnya menyediakan jalan agar masing-masing dapat mengembangkan dirinya.
Di masyarakat, laki-laki yang telah terlebih dahulu mendominasi masyarakat, dapat mendorong regulasi-regulasi yang dapat memberikan kesempatan bagi wanita, perlindungan terhadap ancaman kekerasan (pelecehan seksual) dan memberikan akses yang lebih luas kepada wanita untuk berperan di tataran sosial seperti pemerintahan, politik, dan kemasyarakatan dengan memperhatikan potensi yang ada pada wanita dan peran yang cocok dengan potensi tersebut.

“Jadi perempuan tidak hanya berperan dalam rumah tangga dan urusan rumah tangga seperti mendidik anak bukan hanya kerjaan perempuan tapi juga merupakan kewajiban laki-laki,” tegasnya.■


Perempuan Harus Berpartisipasi Dalam Pengelolaan SDA

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan terutama pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan adanya praktik diskriminasi terhadap perempuan merupakan persoalan mendasar dalam pembangunan pemberdayaan perempuan yang terjadi selama ini. Masih terdapatnya kesenjangan partisipasi politik kaum perempuan yang bersumber dari ketimpangan struktur sosio-kultural masyarakat juga menjadi persoalan yang selalu dihadapi para perempuan di Indonesia.
Dalam konteks sosial, kesenjangan ini mencerminkan masih terbatasnya partisipasi dan akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang lebih luas. Demikian diungkapkan Direktur Lembaga Pengembangan Masyarakat Swadaya dan Mandiri (Gemawan), Laili Khairnur, Selasa (22/1) saat ditemui di ruang kerjanya.
Dikatakannya rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik menjadi masalah utama dalam pembangunan pemberdayaan perempuan. Di bidang politik, meskipun Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu mengamanatkan keterwakilan 30 persen perempuan di lembaga legislatif, namun hasil Pemilu 2004 masih menunjukkan rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, yaitu keterwakilan perempuan di DPR hanya 11 persen dan di DPD hanya 19,8 persen. Di bidang ekonomi partisipasi dan akses terhadap pengelolaan sumber daya alam belum menjadi milik perempuan. Artinya saat ini yang terjadi di lapangan suara-suara perempuan tidak didengar oleh publik saat terjadinya eksploitasi sumber daya alam suatu daerah.
Padahal perempuan sebagai pelaku dari kegiatan ekonomi. Contohnya di desa sebagian besar yang turun ke ladang untuk bercocok tanam adalah perempuan. ”Terjadinya krisis pangan adalah bukti dari tidak adanya pemberdayaan perempuan pada pengelolaan sumber daya alam. Jika pemerintah betul-betul dapat memberdayakan perempuan untuk meningkatkan produksi pangan maka Indonesia tidak akan mengalami krisis pangan,” katanya.
Lanjutnya untuk pengelolaan SDA seperti penebangan hutan karena tidak melibatkan perempuan dalam mengelola hasil hutan maka saat ini hutan menjadi gundul. Jika pengelolaan hasil hutan melibatkan perempuan, hutan tidak akan gundul karena perempuan memiliki perspektif keberlangsungan untuk generasi mendatang dalam pengelolaan SDA.
Banyaknya produk hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan menjadi sebuah persoalan besar yang selalu melahirkan ketidakadilan gender di Indonesia. Perangkat hukum pidana yang ada belum cukup lengkap dalam melindungi setiap individu, terutama dari tindak kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada juga belum dilaksanakan secara konsekuen untuk menjamin dan melindungi hak-hak perempuan, termasuk memberikan perlindungan bagi perempuan seperti Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Di era desentralisasi seperti saat ini, timbul masalah kelembagaan dan jaringan di daerah (propinsi dan kabupaten/kota), terutama yang menangani masalah-masalah pemberdayaan perempuan. Karena program-program pembangunan pemberdayaan perempuan merupakan program lintas bidang, maka diperlukan koordinasi mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan dan evaluasi. Masalah lainnya adalah belum tersedianya data-data pembangunan yang terpilah menurut jenis kelamin, sehingga sulit dalam menemukan masalah-masalah gender yang ada. “Partisipasi masyarakat juga masih rendah dalam mendukung upaya peningkatan kualitas hidup dan perempuan serta upaya peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak,” ungkapnya.Jika persoalan ketidakadilan gender di Indonesia terus dibiarkan maka perempuan Indonesia tidak akan pernah siap menyongsong era globalisasi yang memiliki tuntutan persaingan tinggi, dan penguasaan terhadap akses teknologi informasi. Perempuan dituntut mampu berkompromi dengan dunia global. Perempuan yang tidak mampu beradaptasi dengan keadaan global tidak memperoleh kesamaan dan keadilan. Dan hanya akan memilih bentuk-bentuk pekerjaan mengandalkan tenaga kasar, bekerja sebagai pelayan restoran, pelayan toko dan juga mendaftar tenaga kerja Indonesia ke luar negeri.Saat ini pemerintah harus mulai membiasakan untuk memiliki komitmen dalam memberikan persamaan gender di Indonesia. Laili juga mengungkapkan ada beberapa cara yang mesti dilakukan untuk memberikan kesejahteraan pada perempuan. Pertama, menguatkan organisasi yang peka pada kepentingan perempuan, organisasi yang memperjuangkan keberpihakan perempuan dan Organisasi yang berupaya membangun wacana tafsir yang memihak kepentingan perempuan. Persoalan yang terjadi di tahun 2006 dan 2007 adalah masih rendahnya akses perempuan terhadap tafsir agama dan pengetahuan. Sedikit sekali perempuan mampu membangun wacana agama yang adil bagi perempuan. Perempuan kalah mempublikasikan penjelasan dari sudut pandang diri mereka sendiri mengenai aturan keluarga, masyarakat dan negara. Tokoh agamawan merebut wacana perempuan untuk membuat hukum keluarga dan masyarakat dipandang dari kacamata kepentingan patriarkhi. Misalnya, fatwa atas kasus-kasus yang memperbolehkan tindakan diskriminasi perempuan, seperti poligami, dan ketaatan penuh terhadap suami tanpa memberikan peluang berinisiatif. Fatwa diperbolehkannya poligami membuat sebagian perempuan pasrah dan menerima perlakuan yang tidak adil. Perempuan khawatir dan cemas dengan maraknya wacana diperbolehkannya poligami yang dilakukan oleh sebagian para tokoh agama dan masyarakat. “Sementara tafsir agama yang memperbolehkan perempuan untuk menggugat cerai apabila mereka mengalami ketidakadilan dari suaminya tidak muncul di permukaan,” jelasnya. Cara kedua yang harus dilakukan adalah menyadarkan perempuan untuk berpartisipasi dalam banyak hal. Partisipasi perempuan terwujud apabila memperoleh akses pendidikan di sekolah, keluarga dan masyarakat. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh perempuan, maka perempuan akan semakin banyak berpartisipasi. Sebaliknya, perempuan berpendidikan rendah, partisipasi mereka rendah pula. Mereka tidak memiliki aspirasi mengelola kehidupan diri mereka sendiri, keluarga dan masyarakat. Rendahnya aspirasi perempuan telah memperkuat ketidakadilan bagi perempuan. Aspirasi rendah nyaris tidak mampu membuat keputusan bagi kemajuan hidup diri mereka.
Yang ketiga, Membuka peluang kerja bagi perempuan secara egaliter. Perempuan mesti diberikan kesempatan memperoleh akses pekerjaan sesuai bakat dan kemampuan. Tidak benar, perempuan dilarang bekerja di sektor publik. Jika perempuan memiliki kemampuan kerja di bidang mesin, akses pada pekerjaan tersebut perlu dibuka. Pandangan bahwa perempuan tidak pantas bekerja di bidang teknik dan mesin adalah pandangan kuno. Di zaman global, persaingan kerja tidak bergantung pada jenis kelamin, melainkan skill dan kemampuan. Untuk itulah, upaya mendidik perempuan dengan hal-hal yang berguna bagi kehidupan tidak perlu dibatasi. Memperbanyak pelatihan kerja membuka peluang partisipasi kerja lebih luas. “Perempuan perlu lebih dimotivasi untuk belajar hal-hal yang berguna bagi kesejahteraan hidup mereka,” tuturnya.■


Perempuan Dalam Politik

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Dampak paling besar adanya ketidakadilan gender pada perempuan adalah adanya pandangan perempuan berada pada warga kelas dua sehingga tidak punya akses terhadap pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan. Demikian diungkapkan Direktur Gemawan, Laily Khairnur Minggu (9/3).
Kondisi ini, kata Laily sering terjadi baik dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat dan negara. Contohnya saat menentukan sebuah keputusan, sering seorang istri akan mengikuti keputusan yang diambil oleh suaminya dalam menentukan kebijakan rumah tangga mereka. Dalam masyarakat, perempuan tidak pernah dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan yang membicarakan arah perencanaan strategis kebutuhan dan masa depan desa. “Paling banter perempuan hanya mengurusi konsumsi pertemuan,” katanya.
Sehingga kebijakan yang diambil untuk tata kehidupan desa, tidak melibatkan kepentingan dan kebutuhan perempuan yang merupakan penduduk desa tersebut. Dan terkesan apa yang didapatkan oleh penduduk perempuan hanya merupakan “hadiah kebaikan hati” dari pihak pengambil keputusan di tingkat desa yang notabene adalah laki-laki.
Pada tingkatan yang lebih luas misalnya dalam kebijakan tata kehidupan pemerintahan dan bernegara. Banyak keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan publik kadang-kadang sangat merugikan perempuan. Contoh kebijakan KB, Kenaikan BBM dan kebijakan lainnya. ”Kita tahu bagaimana kampanye pemerintah tentang KB yang katanya untuk menekan pertumbuhan penduduk. Pertanyaannya kenapa ini harus dipaksakan hanya kepada perempuan. Padahal banyak risiko yang harus ditanggung oleh perempuan. Kenapa kontrasepsi tidak dipaksakan kepada laki-laki yang mungkin saja risikonya akan lebih kecil. Hal ini dikarenakan bahwa kebijakan yang ada sangatlah didominasi oleh state man minded policy,” ungkapnya.
Bicara soal kebijakan pada wilayah kekuasaan, ujar Laily perempuan tidak bisa menentukan sebuah kebijakan karena secara faktual perempuan tidak punya kekuasaan baik formal maupun informal. Fakta di lapangan porsi keterwakilan perempuan di tingkat Legislatif maupun eksekutif yang posisinya pada level pengambil keputusan (decision maker) sangatlah kecil.
Pada Pemilu 1999 tingkat keterwakilan perempuan secara kuantitatif di DPR-RI hanya mencapai 9, % lebih kecil dibanding pemilu 1997 yang mencapai kira-kira 11%. Keterwakilan ini baru pada tataran kuantitas, belum kualitas. ”Secara kuantitas saja perempuan tidak terwakili bagaimana dengan kualitas,” tanya Laily.
Padahal hampir 51 persen jumlah massa pemilih setiap pemilu adalah perempuan dan sangat ironis jumlah yang besar ini hanya terwakili sebanyak 9 persen. Untuk Kalbar, DPRD provinsi hanya ada 2 orang perempuan dari 54 jumlah keseluruhan. Apalagi di Kabupaten rata-rata hanya ada 1 sampai 2 orang perempuan anggota legislatif. Belum lagi ketidakterwakilan perempuan di level eksekutif. Tidak ada satu pun perempuan Indonesia yang menjadi Gubernur dan hanya ada 5 orang Bupati perempuan dari 331 Bupati yang ada di Indonesia.
Bahkan asumsi yang dibangun menyatakan salah perempuan sendiri yang tidak mau menduduki posisi tersebut padahal peluang sudah ada. Selain itu banyak opini publik mengatakan tidak ada perempuan potensial yang bisa membuat kebijakan publik. Orang yang mempunyai cara pandang demikian adalah orang yang tidak objektif melihat persoalan di lapangan.
Mereka tidak melihat bagaimana sebuah perusahaan akan memberlakukan upah yang tidak sama antara buruh laki-laki dan buruh perempuan atau karyawan laki-laki dan karyawan perempuan. Sebuah institusi atau lembaga akan memilih seorang laki-laki yang beristri daripada seorang perempuan bersuami dan punya anak untuk menduduki jabatan tertentu. Begitu juga partai politik akan selalu meletakkan perempuan pada urutan terbawah dalam mekanisme pencalonan untuk menjadi anggota legislatif. Selalu saja perempuan tidak menjadi prioritas.
”Padahal bicara ketersediaan perempuan sepertinya kita tidak meragukan lagi bagaimana kemampuan dan kiprah mereka dalam berbagai bidang,” paparnya.
Aktivis perempuan Pusat Pemberdayaan Studi Wanita (PPSW) Borneo, Reni mengatakan persoalan perempuan yang paling mendasar di Kalbar adalah persoalan pendidikan terutama didaerah pedalaman. Banyak perempuan yang belum mendapatkan akses wajib belajar sembilan tahun. Karena masih adanya budaya di masyarakat seperti di pedesaan yang menganggap perempuan tidak boleh tahu ini dan itu dan tidak boleh ikut memberikan keputusan bagi dirinya, keluarga, dan bagi masyarakat. Masih adanya budaya pembatasan pada perempuan ini membuat pola hidup perempuan menjadi terbatas. Aturan budaya yang melingkupi perempuan seperti budaya partiarki yang menganggap perempuan hanya bisa bekerja di rumah padahal perempuan memiliki kesempatan yang sama.
”Dan sudah saatnya perempuan berani bicara tentang hak-haknya dan mengangkat eksistensi dirinya,” katanya.
Perempuan juga ingin memperoleh kemajuan setiap saat seperti halnya laki-laki yang sama-sama ingin tumbuh kembang secara maksimal. Tapi perempuan masih belum memperoleh peluang yang sama dalam mengakses pendidikan, ekonomi dan sosial politik. Masalah gerakan perempuan diantaranya, budaya kerja perempuan hanya wilayah domestik dan peran di wilayah publik dibatasi, upah dibayar lebih rendah dari laki-laki, akses ekonomi rendah, minimnya partisipasi pengambilan keputusan.
Keadaan perempuan, kata Reni masih selalu disibukkan dalam menjalani kodrat saat hamil, menyusui, merawat anak-anak dan bekerja mencari nafkah. Meningkatnya kekerasan trafficking di era global juga menambah sejumlah tindak kekerasan. Kesempatan memperoleh akses pendidikan berkualitas di negeri ini masih rendah. Tidak semua anak-anak negeri ini berkesempatan mengenyam pendidikan di sekolah yang maju. Terlebih bagi perempuan miskin, hanya mampu menikmati pendidikan dasar secara gratis dengan fasilitas tidak memadai. Sekolah-sekolah negeri yang didanai dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) belum menunjukkan pengelolaan sekolah yang profesional. Kualitas sekolah rendah dengan mutu guru-guru belum standar, buku-buku ajar sedikit dan saran prasarana sekolah kurang. Anak-anak miskin bersekolah di dekat rumah mereka di pedesaan dan pegunungan dengan kualitas sekolah yang tidak memadai. Anak-anak sekolah dengan kualitas rendah akan menghasilkan mutu rendah pula. Perempuan berpendidikan rendah, mudah terkooptasi oleh tuntutan adat setempat agar menikah di usia dini.Perempuan dibatasi oleh adat menikah di usia dini, orang tua merasa malu anaknya tidak menikah dari pada tidak melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi, seperti perguruan tinggi. Perempuan dirasa cukup berpendidikan setingkat sekolah menengah SMP/SMU. Bagi orang tua tradisional lebih puas menikahkan anak perempuan mereka, daripada menyekolahkan anak ke pendidikan tinggi. Bagi orang tua, juga tidak menghiraukan bagaimana anak perempuan mereka akan menjalani kehidupan setelah menikah, pekerjaan apa yang akan dilakukan setelah menikah, dan bagaimana mengelola rumah tangga mereka. ”Para anak-anak perempuan miskin yang telah menikah, biasanya tinggal di rumah, dan sebagian lain bekerja sebagai buruh tani atau buruh di pabrik. Keadaan ini memicu tingginya angka perceraian. Kegagalan membangun keluarga, bersumber dari percekcokan masalah keuangan, kesengsaraan berlangsung terus menerus, pembagian peran yang tidak adil, konflik, dan hilangnya komunikasi,” ujarnya.■


Berikan Pemahaman yang Benar Soal Gender

Tantra Nur AndiBorneo Tribune, Pontianak.
Isu gender merupakan isu yang relatif baru bagi masyarakat, sehingga sering kali menimbulkan berbagai menafsirkan dan tanggapan yang kurang tepat tentang gender. Pemahaman mengenai gender menjadi sesuatu yang sangat penting. Artinya, bagi semua kalangan, baik dalam pemerintahan, swasta, masyarakat maupun keluarga.
Melalui pemahaman yang benar mengenai gender, diskriminasi perlakuan terhadap perempuan dapat diperkecil. Sehingga perempuan dapat memanfaatkan kesempatan dan peluang yang diberikan, untuk berperan lebih besar dalam berbagai aspek kehidupan. Demikian diungkapkan Ketua Lembaga Pemberdayaan Hati Nurani Rakyat, Tuti Hanurita Sabtu (8/3) di ruang kerjanya.
Dikatakannya, sering kali gender disamaartikan dengan seks. Yaitu, jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Sehingga peran dan tanggung jawabnya juga dibedakan sesuai jenis kelamin ini.
Sebenarnya gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial. Kebiasaan yang tumbuh dan disepakati dalam masyarakat dan dapat diubah sesuai perkembangan zaman. Sementara seks adalah perbedaan organ biologis antara laki-laki dan perempuan, terutama pada bagian-bagian reproduksi.
“Gender bukan kodrat atau ketentuan Tuhan, sehingga gender berkaitan dengan proses keyakinan, bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai, ketentuan social dan budaya masyarakatnya. Sedangkan Seks merupakan kodrat Tuhan, sehingga tidak dapat ditukar atau diubah,” ujarnya.
Menurut Laily, implikasi dari perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terletak pada sifat dan karakter. Kalau perempuan dianggap memiliki sifat dan karakter yang lemah-lembutnya, penurut, emosional, tidak pintar irasional dan pasif. Sedangkan laki-laki dianggap memiliki karakter yang kuat, rasional, aktif mengambil keputusan dan bersifat memimpin.
Selama ini, ada lima ketidakadilan gender. Pertama, marjinalisasi perempuan, seperti upah perempuan lebih kecil. Izin usaha perempuan harus diketahui ayah/suami. Permohonan kredit harus seizin suami. Pembatasan kesempatan dalam pekerjaan terhadap perempuan. Kemajuan teknologi industri meminggirkan peran serta perempuan. Kedua, subordinasi (penomorduaan). Seperti, perempuan sebagai “konco wingking” (teman belakang). Hak kawin perempuan dinomorduakan.

Bagian warisan untuk perempuan lebih kecil. Perempuan dinomor duakan dalam peluang di bidang politik, jabatan, karir dan pendidikan. Ketiga, perempuan memiliki beban ganda. Contohnya, perempuan bekerja di luar dan di dalam rumah. Perempuan sebagai perawat dan pendidik anak, sekaligus pendamping suami dan pencari nafkah tambahan. Perempuan pencari nafkah utama dan mengurus rumah tangga. Keempat, kekerasan terhadap perempuan. Seperti, eksploitasi terhadap perempuan. Pelecehan seksual terhadap perempuan. Perkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga.
“Terakhir adanya pelabelan negatif (citra baku/ stereotype) pada perempuan. Seperti, perempuan sama dengan sumur-dapur-dan kasur, perempuan sama dengan masak, berhias dan melahirkan,” ujarnya.

Lebih lanjut Laily mengungkapkan, kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan, untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia. Agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan seperti politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan keamanan nasional serta menikmati hasil pembangunan tersebut.
Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan, terutama terhadap perempuan. Sedangkan keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Ketidakadilan dirasakan sebagai diskriminasi yang menempatkan perempuan dalam status dibelakang kaum laki-laki, telah memacu kaum perempuan untuk berjuang memperbaiki status, peranan dan kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat. Penolakan terhadap masuknya perempuan dalam bidang profesi dan pekerjaan, lebih disebabkan karena dia seorang perempuan, bukan karena kemampuannya yang kurang dari kaum laki-laki.
Kondisi semacam ini terjadi karena adanya citra baku (stereotype) mengenai perempuan dan laki-laki. Masyarakat menempatkan perempuan lebih banyak kepada peran dalam sektor domestik (rumah tangga) dan laki-laki bekerja di sektor publik yang produktif (bukan reproduktif), untuk menopang ekonomi rumah tangga. Karena pembakuan peran inilah, maka laki-laki lebih diutamakan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan dibandingkan kaum perempuan.
”Keadilan dan kesetaraan gender dapat dipenuhi jika undang-undang dan hukum menjamin. Problem sekarang adalah tidak adanya jaminan dari negara untuk memperoleh kebebasan setiap insan, tumbuh secara maksmal. Relasi gender tidak semata lahir dari kesadaran individu, tetapi juga bergantung pada faktor ekonomi, sosial dan lingkungan yang sehat dan dinamis,” ungkapnya.
Dikatakannya juga, gender di era global berkaitan dengan kesadaran, tanggung jawab laki-laki, pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan termasuk hak reproduksi. Tantangan yang dihadapi adalah, bagaimana menghubungkan semua konsep gender untuk tujuan kesehatan dan kesejahteraan bersama.
Pendirian gender perlu diterjemahkan dalam aksi nyata berupa gerakan pembebasan yang bertanggung jawab. Mendorong laki-laki dan perempuan untuk mengubah tradisi pencerahan, yaitu sikap yang didasarkan pada akal, alam, manusia, agar diperoleh persamaan, kebebasan dan kemajuan bersama, tanpa membedakan jenis kelamin.■


*Mempertahankan Hutan Adat

Masuknya Perambah Hutan

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Kapuas Hulu
Cerita ini bermula dari perusahaan HPH PT Bumi Uncak Selatan (PT BUS) yang mendapatkan konsesi penguasaan hutan. Konsesi diberikan melalui SK HPH/IUPHHK No. 17/2002, seluas 28.100 Ha pada 20 Februari 2002. Sejak itu, PT BUS beraktifitas mengeluarkan kayu di Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu.

Berbagai LSM yang peduli membentuk persekutuan, untuk merespons hal tersebut. Anggotanya terdiri dari Walhi, AMAN Kalbar, PPSDK, PPSHK, KAIL.

Melalui direktur Walhi, Saban, pada Selasa (19/2) mengatakan, dari hasil temuan invetigasi tim yang dibentuk, bahwa kehadiran perusahaan ini telah membawa dampak negatif bagi kehidupan sosial masyarakat. Konflik horisontal akibat adanya pihak yang pro dan kontra terhadap kehadiran perusahaan mulai terlihat. Kondisi ini mendorong masyarakat membentuk sebuah wadah yang berfungsi mengkonsolidasikan masyarakat. Tujuannya, mempertahankan hutan dan sumberdaya alam yang ada, terhadap serobotan perusahaan HPH.

Masuknya PT. BUS yang beroperasi tahun 2003, sejak dulu Bumi Uncak Kapuas (BUS), perusahaan penebang kayu ini, tidak diterima secara umum oleh masyarakat. Tapi, aktifitas perusahaan tetap jalan sendiri melalui jalur lain. Yaitu, dari wilayah Kecamatan Kayan Hilir, tepatnya di Sungai Keraya di wilayah Desa Sungai Buaya Kabupaten Sintang.

Sementara perusahaan PT. BUS masih beraktifitas dan mengeluarkan kayu, masyarakat mengadakan pertemuan di Perjuk yang dihadiri perwakilan dari Kampung Perjuk, Pengga Putih, Nanga Pengga dan Pelanjau. Pertemuan pada 14 Novemver 2003, dihadiri 18 orang. Hasil dari pertemuan tersebut, akan membentuk sebuah forum. Lalu ada kesepakatan mengadakan pertemuan lanjutan di Nanga Pengga.

Pada 3 Mei 2004, diadakan pertemuan di Kecamatan Silat Hulu. Perusahaan, PT BUS, mengadakan sosialisasi. Masyarakat hadir dan menyampaikan pernyataan, bahwa perusahaan dibolehkan beroperasi dengan syarat, memberikan fee sebesar 50 ribu setiap meter kubik kayu yang diproduksi. Selain itu, harus ada pembangunan sarana prasarana. Seperti, jalan antarkampung, air bersih, rumah ibadah, lapangan bola, penerangan dan fasilitas kendaraan yang dapat dimanfaatkan masyarakat.

Pada saat itu, pihak PT BUS tidak menyanggupi persyaratan yang diajukan masyarakat sepenuhnya. Perusahaan hanya menyanggupi fee sebesar 25 ribu. Pembuatan sarana jalan bakal dilakukan, apabila perusahaan hendak meninggalkan kampung yang bersangkutan. Karena itu, masyarakat menolak kehadiran PT. BUS.

Setelah sosialisasi yang dilakukan pihak perusahaan di kecamatan, pihak perusahaan melakukan pendekatan terhadap pengurus-pengurus kampung. Seperti, kepala desa, kepala dusun, serta pemuka masyarakat. Terjadilah kesimpangsiuran informasi. Ada yang mengisukan, bahwa sebagian besar masyarakat mau menerima kehadiran perusahaan. Ada juga isu, sebagian besar masyarakat menolak. Dengan demikian terjadilah silang pendapat yang sangat tajam, antara masyarakat yang menyatakan menerima dan menolak.

Pada 19 September 2004, sebanyak 48 orang menghadiri pertemuan. Mereka perwakilan masyarakat dari Kampung Riam Tapang, Bagan Baru, Selangkai, Landau Rantau, Nanga Suang, Merambang, Nanga Lungu, Gedabang, Perjuk, Selimu, Pengga Putih, Pelanjau, Nanga Pengga, dan Inggut.

Pertemuan bertujuan meluruskan informasi yang simpangsiur antara masyarakat, dan pembentukan forum secara organisatoris. Dalam pertemuan ini, semua utusan kampung menyatakan penolakan terhadap keberadaan dan aktifitas PT. BUS. Untuk menyalurkan aspirasi penolakan tersebut, disepakati membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Pinggir Hutan (FKMPH). Ketuanya, Ujang Sulaiman.

Melalui Forum ini, masyarakat adat Silat Hulu telah membuat pernyataan bersama secara tertulis. Isinya, menolak segala bentuk eksploitasi hutan. Pernyataan bersama itu dikirim ke berbagai instansi pemerintah. Surat ini ternyata berhasil menghentikan aktivitas PT. BUS. ”Dengan berhentinya aktivitas PT. BUS, untuk sementara masyarakat adat di Silat Hulu merasa aman,“ kata Saban.

10 Oktober 2004 di Nanga Pengga, terjadi pertemuan. Salah satu hasil keputusannya adalah surat pernyataan sikap, menolak keberadaan HPH PT. BUS. Pernyataan tertuang dalam surat bernomor 10/FKMPH/2004. Surat ditujukan kepada Dinas Kehutanan dan ke semua instansi terkait, termasuk ke perusahaan sendiri.

Tidak lama setelah surat pernyataan dikirimkan, aktifitas PT. BUS terhenti. Namun basecamp-nya tetap ada yang jaga, serta beberapa armada kendaraan alat beratnya masih di sana. Selang hampir 2 tahun tidak ada aktifitas perusahaan, tiba-tiba di akhir Nopember 2006, aktifitas perusahaan kembali dengan memasukkan beberapa alat berat. Seperti Dumptruck, Loggingtruck, dan Escavator baru. Jumlahnya ada beberapa unit.

Dengan alat itu, perusahaan langsung melakukan pembenahan jalan. Aktifitas lain, mereka juga mulai survey potensi kayu yang melibatkan beberapa masyarakat, tanpa melakukan sosialisasi ke kampung-kampung. Alasannya, sosialisasi sudah dilakukan pada masa PT BUS.

”Ternyata hasrat pihak luar untuk mengambil keuntungan tidak pernah berhenti,“ kata Saban.

Hal ini terbukti dengan masuknya perusahaan HPH baru, yaitu PT. Karya Rekanan Bina Bersama (KRBB), melalui SK 263 Menhut-11/2004, dengan luas areal 43.810 Ha. PT KRBB diduga merupakan kelanjutan dari PT. BUS. Karyawan yang ada, sama dengan karyawan PT BUS yang lalu, kata Saban.

Ketua FKPH, Ujang Sulaiman mengatakan, perusahaan KRBB mulai melakukan pembuatan jalan dan penebangan kayu, terutama untuk membuat jembatan. Masuknya perusahaan ini, jelas dipaksakan. Semua pihak, termasuk pihak pemerintah, sudah mengetahui kalau masyarakat adat di Silat Hulu, pasti menolak kehadiran perusahaan yang melakukan penebangan kayu di hutan adat mereka. Aktifitas pembangunan jalan juga melewati kebun karet masyarakat Dusun Pelanjau, tanpa pemberitahuan dan tanpa ganti rugi. Bahkan, tidak saja kebun tergusur, tetapi sebagian wilayah perkuburan, dan tanaman tumbuh milik masyarakat lainnya.

Ketika ada beberapa masyarakat Dusun Pelanjau dan Dusun Lubuk Besar mempertanyakan tentang status dan perizinan perusahaan, pihak perusahaan yang diwakili Humas, Bujang Arifin menjawab, bahwa masalah perizinan masyarakat tidak perlu tahu. Camat dan bupati saja tidak mempermasalahkannya, karena izin perusahaan adalah urusan pusat. “Jika ingin tahu tentang perusahaan, silakan tanya ke Jakarta,“ kata Ujang menirukan omongan Bujang Arifin.

Menanggapi beberapa kritik dan pertanyaan masyarakat, pada akhir Desember 2006, namun tidak diketahui secara detil tanggal berapa, perusahaan membuat dan memasang plang nama perusahaan. Pada plang nama tertera, PT. Karya Rekanan Bina Bersama (KRBB), IUPHHK diterbitkan Menteri Kehutanan dengan SK Nomor 263 Menhut-11/2004 dengan luas areal 43.810 Ha.

Hal lain yang dilakukan perusahaan adalah, mendatangi setiap pemuka masyarakat untuk menawarkan uang pelaksanaan ”Puja Tanah”. Itu istilah ritual upacara minta izin, mulai aktivitas pembukaan lahan kepada leluhur, sesuai kepercayaan masyarakat setempat. Besarnya Rp 7,5 juta untuk setiap kampung. Tapi tidak ada orang yang bersedia melaksanakannya.

Kemudian pihak perusahaan juga mengirim surat pemberitahuan, tertanggal 6 Februari 2007, ditujukan ke Kepala Dusun Perjuk. Isinya pemberitahuan tentang pembangunan jalan yang akan memasuki wilayah Dusun Perjuk, Pelanjau dan Lubuk Besar. Surat ditandatangani Humas, Bujang Arifin dan diketahui manager perusahaannya.

Melihat kondisi seperti itu, pihak FPKP berinisiatif mengadakan pertemuan lagi, tepatnya 14 Maret 2007. Pertemuan dilakukan di Perjuk dengan dihadiri perwakilan dari berbagai kampung. Antara lain, Kampung Perjuk, Nanga Pengga, Pengga Putih, Merambang, Pelanjau, dan Inggut.

Setiap kampung membawa hasil kesepakatan di kampungnya, dan sikap mereka terhadap perusahaan. Dengan suara bulat semua menolak. Maka disusun surat pernyataan sikap, penolakan terhadap keberadaan PT KRBB. Yang kemudian disampaikan kepada Menteri Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten, Polda, DPRD Tingkat I dan II, Gubernur dan Bupati, Camat, semua kepala Desa sekecamatan Silat Hulu, serta ke pihak perusahaan PT. KRBB.

Alasan penolakan, selain yang tercantum dalam surat pernyataan sikap nomor 12/FKMPH/2007, juga untuk memelihara sumber air, karena dikhawatirkan akibat aktivitas perusahaan, sumber dan kualitas air akan menurun. Akan ada pendangkalan sungai sebagai akibat erosi dari wilayah kerja perusahaan. Karena selama ini jalur sungai masih dimanfaatkan, sebagai satu satunya jalur transportasi yang murah dan mudah.

Kalaupun pihak perusahaan membangun jalan, akan banyak melewati tanah perkebunan masyarakat. Yang sudah barang tentu, masyarakat tidak mau dilewati dengan cuma-cuma. Akibat lain, adanya musibah banjir yang datang tiba-tiba, sebagai akibat dari habisnya hutan sebagai daerah resapan air. Potensi berkurangnya sumber kayu, sebagai bahan baku pembangunan rumah masyarakat. Permasalahan sosial, berdasarkan pengalaman PT DRM dan PT Alas Kusuma yang banyak melakukan penelantaran kaum perempuan (janda), serta pengrusakan tatanan norma dan budaya adat setempat.

Diceritakannya, khusus pada waktu mengantarkan surat pernyataan sikap masyarakat ke perusahaan yang dilakukan tanggal 5 April 2007 dengan diikuti 44 orang masyarakat dari Dusun Perjuk dan Dusun Pelanjau, mereka diterima dengan sikap baik oleh pihak perusahaan yang diwakili Humas PT KRBB, Bujang Arifin.

Pada kesempatan ini, juga disampaikan masyarakat, sebaiknya perusahaan melakukan sosialisasi terlebih dahulu sebelum melakukan aktivitasnya.

Permintaan ini dijawab Bujang Arifin, bahwa pihak perusahaan akan tetap berjalan sesuai rencana dan target. Terutama pembangunan jalan menuju ke arah Perjuk. (bersambung)

Kemudian pihak perusahaan juga mengirim surat pemberitahuan, tertanggal 6 Februari 2007, ditujukan ke Kepala Dusun Perjuk. Isinya pemberitahuan tentang pembangunan jalan yang akan memasuki wilayah Dusun Perjuk, Pelanjau dan Lubuk Besar. Surat ditandatangani Humas, Bujang Arifin dan diketahui manager perusahaannya.

Melihat kondisi seperti itu, pihak FPKP berinisiatif mengadakan pertemuan lagi, tepatnya 14 Maret 2007. Pertemuan dilakukan di Perjuk dengan dihadiri perwakilan dari berbagai kampung. Antara lain, Kampung Perjuk, Nanga Pengga, Pengga Putih, Merambang, Pelanjau, dan Inggut.

Setiap kampung membawa hasil kesepakatan di kampungnya, dan sikap mereka terhadap perusahaan. Dengan suara bulat semua menolak. Maka disusun surat pernyataan sikap, penolakan terhadap keberadaan PT KRBB. Yang kemudian disampaikan kepada Menteri Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten, Polda, DPRD Tingkat I dan II, Gubernur dan Bupati, Camat, semua kepala Desa sekecamatan Silat Hulu, serta ke pihak perusahaan PT. KRBB.

Alasan penolakan, selain yang tercantum dalam surat pernyataan sikap nomor 12/FKMPH/2007, juga untuk memelihara sumber air, karena dikhawatirkan akibat aktivitas perusahaan, sumber dan kualitas air akan menurun. Akan ada pendangkalan sungai sebagai akibat erosi dari wilayah kerja perusahaan. Karena selama ini jalur sungai masih dimanfaatkan, sebagai satu satunya jalur transportasi yang murah dan mudah.

Kalaupun pihak perusahaan membangun jalan, akan banyak melewati tanah perkebunan masyarakat. Yang sudah barang tentu, masyarakat tidak mau dilewati dengan cuma-cuma. Akibat lain, adanya musibah banjir yang datang tiba-tiba, sebagai akibat dari habisnya hutan sebagai daerah resapan air. Potensi berkurangnya sumber kayu, sebagai bahan baku pembangunan rumah masyarakat. Permasalahan sosial, berdasarkan pengalaman PT DRM dan PT Alas Kusuma yang banyak melakukan penelantaran kaum perempuan (janda), serta perusakan tatanan norma dan budaya adat setempat.

Diceritakannya, khusus pada waktu mengantarkan surat pernyataan sikap masyarakat ke perusahaan yang dilakukan tanggal 5 April 2007 dengan diikuti 44 orang masyarakat dari Dusun Perjuk dan Dusun Pelanjau, mereka diterima dengan sikap baik oleh pihak perusahaan yang diwakili Humas PT KRBB, Bujang Arifin.

Pada kesempatan ini, juga disampaikan masyarakat, sebaiknya perusahaan melakukan sosialisasi terlebih dahulu sebelum melakukan aktivitasnya.

Permintaan ini dijawab Bujang Arifin, bahwa pihak perusahaan akan tetap berjalan sesuai rencana dan target. Terutama pembangunan jalan menuju ke arah Perjuk.

Pada 14 April 2007, rumah Ujang di Nanga Dangkan didatangi 4 personel Polisi. Dua diantaranya dari Polsek Silat Hulu, Kapolsek Suprianto, dan anggotanya, Sigit. Dua orang dari Polres Kapuas Hulu, Heri E. dan Matheus A.

Kedatangan mereka secara baik-baik dan mau mengungkapkan identitasnya. Ketika ditanya dan diminta mengisi buku tamu pribadi, keempat polisi itu, menanyakan mengenai kebenaran penandatanganan masyarakat terhadap lampiran surat Pernyataan Sikap Penolakan terhadap PT KRBB, dan masalah keabsahan forum yang belum ada AD dan ART, serta Badan Hukumnya. Mereka juga mengatakan, bahwa jika keterangan darinya dibutuhkan lagi nanti, akan ada panggilan dari Polres, dan diminta untuk datang.

Pada 19 April 2007, Nasir, warga Dusun Pelanjau menghadap Polsek dengan surat panggilan tanggal sebelumnya. Berdasarkan laporan warga, Nasir pernah mengancam polisi yang selalu berada di Camp perusahaan. Saat meminta keterangan dari Nasir, salah satu personel Polsek, Edyanta Sembiring mengancam Nasir. Dengan ucapan, agar Nasir mengakui pernah berbicara kerasa kepada polisi yang selalu berada di camp perusahaan (PT KRBB).

Melihat tidak adanya perubahan yang dilakukan pihak managemen perusahaan, masyarakat di Perjuk kembali melakukan pertemuan pada 23 April 2007. Ada kesepakatan untuk melakukan demo ke camp perusahaan yang dilakukan pada 30 April 2007.

Pada 24 April 2007, datang ke Perjuk 2 orang polisi, Edyanta Sembiring dan Moradarma Sinaga. Keduanya menyampaikan surat panggilan yang ditandatangani Kapolsek dengan No. Pol: S. Pgl./04/IV/2007. Isinya meminta kepada empat masyarakat, Dat, Anggah, Temiang dan Sidal, untuk datang ke Polsek, pada Kamis 26 April 2007, pukul 10.00 Wib. Keempatnya diminta keterangan, berkaitan dengan adanya surat pernyataan penolakan masyarakat terhadap PT KRBB.

Surat yang sama datang lagi sebagai surat panggilan kedua, pada 27 April 2007, agar menghadap pada Minggu, 29 April 2007, pukul 09.00 Wib. Disertai dengan selembar kertas yang berisi peringatan, agar mengindahkan surat panggilan, sebelum surat panggilan ke tiga, sekaligus surat penangkapan sesuai pasal 216 KUHP.

Tetapi yang bersangkutan tidak menghadap ke Kapolsek, dikarenakan yang bersangkutan sudah tua dan tidak bisa membaca dan menulis. Selain itu, sudah ada kesepakatan antara pengurus kampung, jika ada panggilan berkaitan dengan surat penolakan, maka yang menghadap polisi adalah pengurus kampung, bukan orang yang bersangkutan.(bersambung)□

Pada 30 April 2007, masyarakat melakukan demo ke basecamp perusahaan yang melibatkan 153 orang, dan mewakili 6 kampung dengan tuntutan. Masyarakat Perjuk, Pelanjau, Pengga Putih, Merambang dan Dusun Nanga Tapang membuktikan, bahwa penolakan masyarakat terhadap PT KRBB adalah murni, dan bukan rekayasa seseorang atau organisasi tertentu.
PT KRBB dianggap merugikan masyarakat Adat Silat Hulu, karena telah meresahkan masyarakat, mengadu domba antarmasyarakat, serta mencemari lingkungan, terutama daerah aliran sungai yang menjadi sumber air minum bagi masyarakat.
Masyarakat menganggap PT KRKB merampas hak masyarakat adat dengan menggusur jalan, menebang atau mengambil kayu dan hasil hutan lainnya, tanpa sepengetahuan dan persetujuan masyarakat.
Juga melecehkan adat istiadat setempat dengan menggusur tanaman dan tumbuh tanpa musyawarah sebelumnya. Menggusur tempat-tempat ’MALI” seperti Kuburan dan Kerbah, terjadi di Dusun Pelanjau.
Atas dasar tersebut, masyarakat mendesak agar dalam waktu seminggu, sejak 30 April 2007- 7 Mei 2007, PT KRBB harus segera angkat kaki dari wilayah itu.
PT. KRBB harus bertanggung jawab atas kerugian dan kerusakan yang diakibatkan beroperasinya PT KRBB.
“Kami akan tetap mempertahankan wilayah kami, hutan dan adat istiadat kami, walau sampai titik darah terakhir,“ kata Ujang.
Apabila pihak perusahaan tidak mengindahkan tuntutan mereka, jangan salahkan masyarakat, apabila terpaksa mereka mempertahankan haknya dengan caranya sendiri, kata Ujang, saat memimpin demontrasi.
Pada saat demo ini juga, dihadiri Kapolsek Silat Hulu dan anggotanya berjumlah 5 personel. Kemudian anggota Polres Kapuas Hulu 6 personel, serta pihak perusahaan diwakili Humas Kamarudin dan Darmansyah.
Sebagai solusi dari aksi yang dilakukan, membuat pernyataan dari pihak perusahaan yang ditandatangani Kamarudin sebagai Humas Perusahaan, dan diketahui Kapolsek Silat Hulu, AKP Suprianto. Isi dari surat pernyataan tersebut adalah, pihak perusahaan bersedia mentaati aspirasi yang disampaikan masyarakat. Bahwa dalam waktu satu Minggu, sejak 30 April 2007 - 7 Mei 2007, menghentikan pekerjaan atau operasi PT. KRBB, atau segera angkat kaki dari bumi Silat Hulu. Apabila mengingkari pernyataan ini, siap ditindak sesuai tuntutan masyarakat.
Pada kenyataannya, selama tenggang waktu yang diberikan oleh masyarakat, aktifitas perusahaan tetap berjalan. Bahkan, menjelang 7 Mei 2007, tepatnya pada Minggu malam 6 Mei 2007, perusahaan mendatangkan 3 truk satuan Brimob yang diperkirakan berjumlah 80-an personil dan ditempatkan di basecamp Nanga Ngeri.
7 Mei 2007, operasional kegiatan pembangunan jalan yang dilakukan perusahaan dikawal oleh anggota Brimob. Pada hari ini juga diisukan oleh pihak perusahaan, bahwa Ujang sebagai ketua Forum sudah ditangkap. Isu ini membuat semangat orang kampung menjadi turun dan takut serta resah.
Sore 8 mei 2007, satu orang wakil perusahaan, Bujang Arifin yang dikawal oleh 20 personil Brimob, datang dan minta diadakannya pertemuan di Perjuk.
Diantara Brimob yang didatangkan dari Polres Kapuas Hulu, bernama Hasan Djamil, Yohanes, Hindra, Heri, Yusuf, dan kawan-kawannya. Dari Polsek Silat Hulu, Kapolseknya AKP Supriyanto datang bersama Ediyanto, Sigit, Moradarma Sinaga.
Kedatangan ini tanpa pemberitahuan sebelumnya, dan datang sekitar pukul 17.30 Wib dan langsung mendesak, agar diadakan pertemuan pada pukul 20.00 Wib.
Pertemuan ini pertama kali disampaikan oleh Kapolres, sebenarnya hanya utusan dari Kapolres. Ia mengatakan, PT KRBB sudah memiliki izin resmi dari pemerintah desa, kecamatan, kabupaten, gubernur, menteri kehutanan dan tingkat pusat. Maka dari itu, polisi beserta pasukannya, melindungi kepentingan perusahaan sampai selesai. Iuran PT sudah dibayar sekaligus kepada pemerintah.
Dia mengatakan, PT KRBB belum beroperasi baru menggarap jalan dan masyarakat. Diharapkan tidak menghambat jalannya perusahaan, dikarenakan hasutan orang luar. Jika melakukan demo tidak diizinkan Kapolsek, dan bisa diproses berdasarkan UU No 9 Tahun 1999.
Dari Kapolsek Silat Hulu menyampaikan, PT KRBB merupakan perusahaan yang sudah memperoleh izin menteri kehutanan RI. Beroperasinya PT KRBB merupakan kebijakan dari pemerintah.
Yohanes, anggota Polres Kapuas Hulu mengatakan, kehadiran mereka di perusahaan dalam rangka pengamanan. Perusahaan jarang merugikan masyarakat. Maka dalam sosialisasi harus hati-hati, agar tidak menimbulkan penyesalan. Perusahaan jarang tidak memberikan bantuan kepada masyarakat. Namun masyarakat yang harus mengajukan proposal. Seperti jalan, air bersih dan lain-lain.
“Jangan ada yang percaya, jika ada provokator yang mengatakan itu dan ini,“ kata Yohanes.
Yohanes mendesak, masyarakat segera mengajukan proposal ke perusahaan. Masyarakat diminta mengambil keputusan saat itu juga.
Humas PT KRBB, Bujang Arifin menjelaskan, keberadaan perusahaan sudah jelas, karena sudah mendapat izin dari pemerintah. Ia menanyakan, apa yang menjadi latar belakang, masyarakat berani melakukan unjuk rasa ke perusahaan. “Mungkinkah ada kompensasi lain? Sedangkan kompensasi diatur oleh pemerintah,“ kata Bujang. Seperti, program Bina Desa. Bina Desa sekarang tidak seperti dulu, harus kerja dulu baru masyarakat mengusulkan keinginannya. PT. KRBB belum melakukan sosialisasi, karena belum beroperasi, meskipun sudah 6 bulan berada di lapangan, hanya mengarap jalan.
Hendra, anggota Polres Kapuas Hulu menyatakan, bahwa demo harus dilakukan sesuai dengan jalur. Dia berharap masyarakat jangan demo lagi, jika tidak memberitahukan sebelumnya. Jika melakukan demo, harus mengusulkan 3 x 24 jam sebelumnya kepada Kapolsek.
”Apabila terjadi anarkis, kami berhak melindungi pihak perusahaan yang merasa terancam. Jangan dikarenakan awam, masyarakat dimanfaatkan oleh orang lain untuk kepentingan pribadi,“ katanya.
9 Mei 2007, Ujang Sulaiman menceritakan dirinya didatangi 8 personel polisi. Salah satunya, Kapolsek Silat Hulu, AKP Suprianto. Sedangkan yang lainnya dari Polres Kapuas Hulu. Yang tidak mau menyebutkan dan menuliskan identitasnya di buku tamu pribadi Ujang. Adapun poin-poin yang dipertanyakan kepadanya
Mengapa Ujang berani mengirim surat ke menteri kehutanan, sementara organisasi atau Forum yang dipimpinnya, tidak mendapat pengesahan dari pemerintah. Aparat kepolisian menanyakan hal itu, kepada Ujang.
Mereka juga mempertanyakan tentang keterlibatan LSM dari Pontianak, yang turut mempengaruhi pikiran masyarakat. Sehingga berani melakukan hal bertentangan dengan aturan yang sudah ditetapkan menteri kehutanan, tentang izin IUPHHK PT KRBB.
Polisi juga menjelaskan pada Ujang, resiko-resiko yang akan terimanya, jika terjadi sesuatu sebagai dampak dari surat, yang sudah ditandatanganinya.
Puncak dari pemojokan pada dirinya, Polisi minta Ujang menandatangani surat pernyataan yang dibuat. Karena berada dalam tekanan dan tak punya pilihan lain, Ujang meneken surat itu.
Isi dari surat pernyataan yang Ujang tanda tangani tersebut berisi, Ujang akan bertanggung jawab bilamana terjadi permasalahan dan gejolak di masyarakat yang bernama Forum Komunikasi Masyarakat Pemilik Hutan (FKMPH), sesuai surat pernyataan sikap. Ia tidak akan memberikan kepada masyarakat, melakukan penyampaian aspirasi yang bersifat anarkis dan bisa merugikan kepentingan umum.
Ia juga akan mempertanggungjawabkan surat atau dokumen tentang penolakan keberadaan PT. KRBB yang telah dibuat dan dikirim ke Menteri Kehutanan Republik Indonesia maupun ke instansi terkait lainnya.
Apabila dia melanggar surat pernyataan ini, bersedia dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.
Isi dari surat pernyataan yang Ujang tanda tangani berisi, Ujang akan bertanggung jawab bilamana terjadi permasalahan dan gejolak di masyarakat yang bernama Forum Komunikasi Masyarakat Pemilik Hutan (FKMPH), sesuai surat pernyataan sikap. Ia tidak akan memberikan kepada masyarakat, melakukan penyampaian aspirasi yang bersifat anarkis dan bisa merugikan kepentingan umum.

Ia juga mempertanggungjawabkan surat atau dokumen tentang penolakan keberadaan PT. KRBB yang telah dibuat dan dikirim ke Menteri Kehutanan Republik Indonesia maupun ke instansi terkait lainnya. Apabila dia melanggar surat pernyataan ini, bersedia dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Ujang bercerita, pada 10 Mei 2007, ia dijemput pihak kepolisian dan bersama-sama ke base camp PT KRBB, untuk menyampaikan atau mensosialisasikan surat pernyataan yang dia tanda tangani sebelumnya. Di base camp ia dihadapkan kepada pengurus PT KRBB, dan banyak anggota Brimob dari Polres Kapuas Hulu. Kemudian Ujang diminta oleh Kapolsek, untuk menjelaskan isi dari surat pernyataan tersebut.

Pada kesempatan itu, dirinya dipaksa menyatakan siap untuk membantu menjaga sikap dan tindakan masyarakat. Masyarakat juga diminta tidak berbuat anarkis dan melanggar aturan, serta adat istiadat yang berlaku.

Realisasi atas tanggung jawab untuk ketertiban masyarakat itu, Ujang disuruh membuat surat edaran yang isinya, tidak membenarkan tindakan-tindakan bersifat anarkis dalam melakukan penolakan terhadap PT. KRBB. Surat edaran tersebut harus disampaikan kepada semua anggota Forum.

Pada 7 Juni 2007, sekitar 124 orang masyarakat dari Kampung Perjuk, Pelanjau, Pengga Putih, Nanga Pengga, semua dari Kecamatan Silat Hulu. Kampung Beruak di Kecamatan Kayan Hulu. Serta dari Kampung Lubuk Besar, Sungai Buaya dari Kecamatan Kayan Hilir. Mereka mendatangi base camp PT. KRBB di hutan Kampung Perjuk, pada pukul 11 Wib. Masyarakat datang di Camp, untuk menyampaikan tuntutan kepada perusahaan dan menolak aktivitas dari PT. KRBB. Kedatangan masyarakat dihadang Aparat Keamanan. Yang siap dengan senjata lengkap, kurang lebih 10 orang.

Selang beberapa waktu kemudian, datang lagi dua orang Brimob. Salah satunya bernama Adrianus, dan satu orang dari perusahaan bernama Kamarudin. Begitu turun dari mobil, satu orang Brimob langsung mengumpulkan masyarakat.

Ia mengatakan bahwa kedatangan masyarakat salah, karena tidak memberitahukan kepada pihak keamanan. Perusahaan ini sudah mendapat ijin dari Pemerintah dan memberi keuntungan serta bina Desa kepada masyarakat, kenapa harus diganggu.
Masyarakat mengatakan, kenapa mereka tidak memberitahu pihak, karena selama ini pihak keamanan, Polsek dan Danramil berpihak kepada perusahaan. Keuntungan, Bina Desa atau apapun namanya, masyarakat tidak tahu, karena tidak ada sosialisasi dari Perusahaan. Perusahaan dianggap datang seperti pencuri dan penjajah.

Satu jam kemudian, datang Kapolsek Silat Hulu, AKP Suprianto. Camat Silat Hulu, M.Tahir beserta Danramil, Kapten Misiari bersama dengan pihak perusahaan, Ujang Arifin. Kemudian masyarakat diajak masuk ke dalam ruangan kecil untuk dialog. Sebanyak 10 orang berhadapan dengan pihak Muspika, bukan dengan pihak perusahaan.

Dalam dialog tersebut, masyarakat menyampaikan tuntutan, agar PT. KRBB segera menurunkan alat-alat dari lokasi. PT.KRBB segera angkat kaki dari wilayah masyarakat Pelanjau, Perjuk dan sekitarnya. Kehadiran perusahaan dianggap menjajah dan menindas. Merampas hak masyarakat serta mengadu domba atau intimidasi. Sementara itu, perusahaan tidak mau melakukan diaolog dengan masyarakat.

Masyarakat telah dirugikan atas aktivitas yang dilakukan perusahaan. Akibat penebangan kayu, hutan masyarakat di Perjuk ditebang hampir 3.000 batang. Pelajau sudah ditebang sekitar 1.000 batang dan kayu tersebut sekarang berada di sekitar pingir jalan. Kayu itu bahkan sudah diangkut ke Camp Nanga Ngeri sekitar 100 batang.

Akibat dari kegiatan tersebut, Sungai Bedak di Kampung Perjuk dan Sungai Pengga tercemar, karena aktivitas perusahaan. Sedangkan di Pelanjau lebih parah lagi, karena Sungai Ngeri airnya tidak dapat digunakan masyarakat. Namun, pihak perusahaan hanya mau berhenti bekerja, jika dilakukan diolog yang difasilitasi pihak Muspika yang belum ditentukan waktunya?

Tanggapan dari Muspika mengatakan, bahwa siap memfasilitasi dialog antara masyarakat dengan perusahaan. Dan, untuk sementara, aktifitas perusahaan dihentikan. Apabila pihak perusahaan tetap melakukan aktifitas sebelum dialog dilakukan, Danramil siap menangkap Ujang Arifin dari PT. KRBB, supaya dipecat dari jabatannya.

Masyarakat menolak apabila tuntutan tidak dipenuhi. Mereka memutuskan tetap berada di camp dan tidak akan pulang. Namun, sekitar pukul 18.00 wib, Adrianus, anggota kepolisian dan kawan-kawannya menembakkan senjatanya ke udara sebanyak 6 kali. Alasannya, kehilangan sepatu dan menuduh masyarakat mengambil. Ia mengatakan, apabila sampai pada hitungan kesepuluh tidak ditemukan, masyarakat akan ditembak semua.

Kemudian demi keamanan masyarakat membubarkan diri dan pulang ke kampungnya masing-masing. Ketika masyarakat pulang, masih ada tiga orang tertinggal. Yaitu, Yosua, Ating dan Ubing.

Tanggal 8 Juni 2007, Ludai dan Balai, Sari dan kawan 6 orang yang berpihak kepada perusahaan, datang ke camp perusahaan. Mereka mendapat berita, bahwa akan ada penambahan Brimob sebanyak 3 truk ke lokasi PT. KRBB di wilayah Desa Perjuk.
Pada 18 Juni 2007, terjadi dialog pembangunan di ruang pertemuan di kantor Camat Nanga Dangkan yang dihadiri Wakil Bupati Kapuas Hulu, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, DPRD Kapuas Hulu, Dinas Pendidikan, AMAN Kalbar, Borneo Tribune, PPSDAK, dan masyarakat.
Pertemuan membicarakan masalah PT. KRBB dengan masyarakat. Acaranya bersamaan dengan pelantikan kepala desa dan temenggung. Ada juga penyerahan bantuan untuk pembangunan gedung SD, dan peresmian rumah adat suku Dayak Suang Ensilat di Landau Rantau

Aktivitas HPH PT KRBB di Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu membuat warga Perjuk dan Pelanjau kecewa, karena perusahaan masih melakukan aktivitas. Padahal dalam kesepakatan dengan masyarakat, perusahaan belum boleh melakukan aktivitas, jika permintaan masyarakat tidak dipenuhi. Bahkan, tanpa sosialisasi, perusahaan melakukan penggusuran kebun karet, kuburan tua untuk jalan.

Hal ini membuat masyarakat melakukan aksi ritual bersama, dan memotong batang jembatan milik perusahaan, sebagai isyarat kekecewaan warga. Pemotongan jembatan tersebut masih bisa dilalui kendaraan milik perusahaan.

Melihat proses ritual tersebut, perusahaan mengerahkan polisi yang siap di Log pond perusahaan dan di Polsek Nanga Dangkan, untuk membubarkan aksi massa dengan peralatan penuh. Hingga terjadi penangkapan dan sweeping kampung untuk mencari tersangka. Anehnya, aksi ritual adat dan pemotongan tersebut dilakukan oleh massa, namun yang diburu dan ditangkap, hanya orang-orang tertentu di kepengurusan Forum Masyarakat Pemilik Hutan (FMPH).

Situasi di Kampung Pelanjau sangat menegangkan, sejak pelaksanaan ritual adat dan pemotongan 2 kayu jembatan perusahaan oleh sebagian besar warga yang menolak, serta pembubaran dan penangkapan yang dilakukan aparat kepolisian Polres Kapuas Hulu. Situasi itu mengakibatkan sebagian besar warga Kampung Pelanjau mengungsi ke kampung terdekat.

Jumlah pengungsi dari Desa Pelanjau ke Lubuk Besar, Kayan Hilir Sintang, hingga 1 Agustus 2007, ada 76 orang. Dari 76 orang tersebut, ada lelaki dewasa 11 orang. Perempuan dewasa 24 orang. Perempuan lanjut usia 1 orang. Anak laki-laki 20 orang. Anak perempuan 20 orang.

Sebagian besar warga mengungsi karena merasa takut dengan aparat Kepolisian yang masih terus melakukan sweeping atau pencarian, terhadap 3 orang dari 10 orang tersangka. Sedangkan 7 tersangka lainnya sudah tertangkap.

Kondisi warga Pelanjau yang mengungsi sangat memprihatinkan, karena hanya berbekal ’gembolan’ yang berisikan pakaian, beras, kopi, atau gula. Bekal itu hanya cukup untuk 3 hari.

“Dengan kondisi sekarang ini, kami kehilangan aktivitas seperti berladang, menoreh karet, sekolah, berumah tangga, hak hidup bebas merdeka di tanah kami sendiri,” kata Jaka, warga yang ikut mengungsi.

Situasi itu membuat warga benar-benar merasa ketakutan. Bahkan, sangking takutnya, sehabis makan malam, lampu langsung dimatikan, walaupun belum mengantuk.

Di Desa Pelanjau, hanya tinggal 3 orang yang menolak perusahaan bertahan di desa. Selebihnya, sekitar 18 KK menerima perusahaan. Bahkan, di tempat pengungsian tersebut, 8 Agustus 2007, Gentak istri Rindin, melahirkan anak perempuan di pengungsian. Anak itu diberi nama Regina Agustini.

Sementara itu, aktivitas HPH PT KRBB semakin menjadi-jadi, dengan melakukan penebangan di luar jalur konsesi. Perusahaan melakukan penebangan kayu di Kabupaten Sintang. Seperti di Kampung Lubuk Besar, Desa Sungai Buaya, Kecamatan Kayan Hilir, sebanyak 98 batang jenis kayu ’meranti’.

Kejadian ini menimbulkan reaksi masyarakat Lubuk Besar yang menuntut ganti rugi atas penebangan tersebut. Dengan melakukan survey ke lokasi yang dilakukan oleh masyarakat, Polsek Kayan Hilir dan Kayan Hulu, serta pihak perusahaan. Namun sampai sekarang, belum ada tindak lanjut dari perusahaan PT KRBB, untuk ganti rugi.

Menurut Mariam, seorang pengungsi, aparat kepolisian selama dua malam berturut-turut, tepatnya 3 dan 4 Agustus 2007, melakukan penyerangan dan penggeledahan serta mengobrak-abrik isi rumahnya, untuk mencari bapaknya yang bernama Jaka. Jumlah aparat yang melakukan penggeledahan rumahnya mencapai 12 orang.

“Polisi sempat berkata, kami sudah dua malam mencari bapakmu. Kalau sampai tiga malam tidak ada, awas bapakmu,” ujar Mariam, menirukan kata-kata polisi.

Mariam akhirnya memutuskan mengungsi, karena polisi yang melakukan penggeledahan ke rumahnya selalu membentak. Bahkan, sampai masuk ke dalam kamar dan memeriksa kelambu. ”Polisi naik ke rumah dengan keadaan mabuk, karena masih tercium bau minuman arak dari mulutnya,“ kata Mariam.

Sejak lari dari rumah, anak Mariam yang masih kecil terus menangis, karena sering kelaparan di pengungsian. Dirinya hanya bisa meminta belas kasihan dari orang lain, untuk sekedar makan. Anak Mariam yang baru berumur 4 tahun, harus kekurangan susu tambahan di pengungsian. Adik Mariam yang masih SD, tidak sekolah lagi, karena ia dan keluarga sudah lari mengungsi selama hampir 2 minggu.

Setelah kejadian tersebut, Ninti, ibu Mariam atau istri Jaka yang juga menjadi target penangkapan, memilih pergi. Bersama anak perempuannya, pada 5 Agustus 2007, mereka terpaksa tidur di bawah pohon durian, selanjutnya pergi ke Lubuk Besar.

“Selama mengungsi kami tidak mendapatkan penghasilan dari karet. Biasanya dapat 20 kg/hari, dan tidak dapat mengurus babi dan ayam,” katanya.

Selain Jaka, aparat Kepolisian juga mencari Nasir. Menurut istri Nasir, aparat Kepolisian menggunakan pakaian preman datang ke rumahnya, sambil menodongkan senjata. Mereka bahkan masuk ke kamar. Sampai sekarang, polisi belum dapat menemukan Nasir.

”Kabar Nasir juga belum diketahui sampai saat ini. Entah hidup atau sudah mati,“ kata istrinya.

Selama pencarian dan sebelum ditemukannya Nasir, ia sekeluarga tinggal numpang di tempat keluarga. Polisi sempat mengucapkan ancaman, jika Nasir tidak ditemukan, keluarganya bakal menanggung akibatnya.


Polisi melakukan penyisiran ke rumah-rumah warga tanpa didampingi Kepala Dusun. Bahkan, polisi tidak membawa surat tugas. Peristiwa itu terjadi pada 12 Agustus 2007. Polisi hanya memberitahukan kepada Kepala Dusun secara lisan.

Mariam, Kepala Dusun di Desa Pelanjau, menuturkan, kepala dusun bernama Cornelis Jantan, tidak terlalu peduli dengan keberadaan anggota masyarakatnya. Karena itu, kepala dusun tidak menemani pencarian dan penangkapan anggota masyarakat yang dilakukan aparat polisi.

Selain itu, Kepala Dusun tidak pernah mengunjungi warganya yang mengungsi ke Kampung Lubuk Besar, berada di penjara, atau kondisi Pak Madin yang terkena pukulan dari aparat polisi, saat dalam tahanan.

”Kepala Dusun hanya menerima informasi yang simpang siur saja,“ katanya.

Kepala Adat, Lorensius Linyang mengatakan, perusahaan masuk atas dasar penandatanganan kesepakatan warganya yang dipakai tahun 2004. Namun, berdasarkan informasi masyarakat, kesepakatan tersebut berisikan tentang pengandangan ternak babi. Saat itu alasannya ada permintaan dari Guru SD, Syahrir yang akan mengajar di Pelanjau.

Sebelum PT KRBB masuk, PT BUS juga sempat ditolak oleh warga, karena tidak membuat jalan kampung, tidak ada sarana maupun jaminan sumber air bersih, uang untuk kayu yang diminta masyarakat Rp. 50.000/kubik. Namun perusahaan hanya membayar Rp. 25.000/kubik. Itupun yang sampai di warga hanya Rp 20.000/kubik karena telah dipotong pengurus desa sebesar Rp 5.000/kubik.

Mengenai kondisi warga yang mengungsi dan ditahan, Lorensius menyatakan warga yang ditangkap bisa keluar, jika 3 orang yang dicari dapat ditangkap.

Sedangkan untuk kondisi air yang keruh akibat aktivitas perusahaan, pengurus desa telah membuat proposal kepada perusahaan, bagi penyediaan sarana air bersih. Tapi belum ada tanggapan dari perusahaan. Sehingga mengakibatkan sumber air bersih masyarakat yang berasal dari Sungai Ngeri menjadi semakin buruk.

Saat terjadi pencarian oleh aparat polisi yang datang dari arah Log pond, Nanga Dangkan dan Putussibau. Sejak 10 Agustus 2007, polisi tetap berjaga di Log pond.

Berbeda dengan pernyataan warganya, Kepala Dusun, Cornelis Jantan dan Kepala Adat, Lorensius mengatakan, pada saat kejadian aksi massa dan penangkapan warga oleh aparat polisi, tidak ada warga tidur di tanah kuburan, hutan, di bawah pohon durian.

Pada saat Tim Pencari Fakta (TPF) beranjak kembali ke kampung Lubuk Besar, 13 Agustus 2007, Pengurus Desa, Ketua RT 2 Jeragan yang sempat menerima keberadaan perusahaan, ternyata menyatakan pengunduran diri dan menolak perusahaan PT KRBB. Karena dari pihak pengurus desa lainnya, terutama Kepala Dusun dan Kepala Adat, hanya mau enaknya sendiri dan giliran susah mengajak ke yang lainnya. Contoh untuk hasil tebangan yang sudah menjadi kayu dan diberikan oleh perusahaan, bagi keluarga kurang mampu, ternyata diambil Kepala Adat dan Kepala Dusun.

Sejak kejadian eksodus yang dilakukan warga, aktivitas perusahaan HPH PT KRBB semakin leluasa dan menjadi-jadi. “Perusahaan melakukan aktivitas penebangan pada malam hari, dan siang harinya baru pengangkutan,“ kata Ujang.

Berbeda dengan di Pelanjau dan Penggak, tidak terjadi gejolak signifikan. Hanya ada kekecewaan masyarakat, karena saat berlangsungnya kegiatan ritual yang diusung warga Perjuk dan Pelanjau, dilanjutkan upaya pemotongan jembatan tidak memberitahu dan mengajak warga Penggak.

Dipastikan oleh sebagian warga, bahwa aktifitas PT KRBB memang tidak berada di wilayah Desa Nanga Penggak. Namun, wilayah desa ini masuk dalan areal konsesinya. Di Log pond terlihat oleh masyarakat beberapa polisi berjaga relatif banyak. Sebagian dari mereka juga sering terlihat

Tak adanya kepedulian dari pengurus desa, membuat warga berinisiatif mengumpulkan uang secara sukarela dari setiap warga, dan disumbangkan ke Bujang Sulaiman dan rekan-rekan dari Pelanjau yang sedang ditahan.

Dalam aktivitasnya, perusahaan selalu mengandalkan tenaga yang berasal dari luar desa. Di Manan terdapat 6 orang karyawan operasional. Di lapangan 2 orang yang berprofesi sebagai pengupas kulit dengan gaji Rp1200/m3. Dua orang berprofesi sebagai penebang dan pembantunya. Satu orang operator Zonder/Greder penarik log yang berasal dari Sulawesi. Satu orang berprofesi sebagai pembatu operator Zonder/Greder.

Aktifitas penebangan dilakukan pada tiga blok kerja dengan melibatkan 7 buah chainsaw yang menyebar. Produksi tebang bisa dilakukan penebang dalam situasi normal dengan kondisi cuaca maksimal mencapai 25 sampai 30 pohon perhari terutama pada daerah yang berpohon rapat.
Pada 13 Agustus 2007, sekitar pukul 19.30 Wib, masyarakat mengungsi bersama LSM–LSM dari Pontianak, kembali ke Kampung Pelanjau. Jumlah pengungsi mencapai 100 orang, 13 orang diantaranya sengaja datang dari Penggak Putih.

Menurut Madin, warga Desa Pelanjau, sebagaimana di Penggak, di Perjuk mereka menceritakan upaya-upaya yang sudah dilakukan. Penekanannya bahwa masyarakat pada prinsipnya tidak bergerak sendiri, tapi dibantu LSM-LSM dari Pontianak, dari Kapuas Hulu bahkan dari Jakarta. Yang berupaya meneruskan perjuangan masyarakat dalam mempertahankan wilayahnya. Dari masuknya Perusahaan PT KRBB yang diindikasikan proses mendapatkan izin hanya diatas meja saja, tanpa melibatkan persetujuan masyarakat setempat, termasuk proses Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) yang tidak diketahui masyarakat lokal.

Akibat dari aktivitas PT KRBB ini, air Sungai Peda’ yang April 2007 lalu masih jernih, sekarang sangat kotor.

Saat ini, kebetulan wilayah yang sedang dikerjakan masih termasuk wilayah Desa Perjuk. Namun mungkin sekitar sebulan kedepan, akan memasuki wilayah Penggak Putih. Wilayah itu, sampai sekarang air sungainya masih jernih. Sejernih namanya, Penggak Putih.

Dalam pertemuan 17 Agustus 2007, hadir 2 warga yang pro PT KRBB. Salah satunya Simpai, pendidikan S1 keagamaan. Dia mengutarakan tentang niat baik perusahaan. Namun karena penolakan masyarakat, maka semua niat baik tersebut tidak dikabulkan. Karena itu ia sangat menyesalkan penolakan yang diusung rekan-rekannya.

Menurutnya semua ini demi kemajuan masyarakat desa. Pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan untuk kemakmuran warga dan rakyatnya. Ia juga menyesalkan sekali, kalau PT KRBB dikatakan ilegal atau tidak sah. Menurutnya sudah sangat jelas bahwa PT KRBB sudah mendapatkan izin dari pemerintah, dan semua wilayah itu milik pemerintah.

“Jadi janganlah kita sebagai warga mau melawan pemerintah kita sendiri, ibarat penghianat, wajar saja ditangkap,” katanya.

Simpai juga mempertanyakan tentang ide pertemuan. Kenapa tidak melibatkan semua warga, dan kenapa tidak di tempat yang umum seperti pertemuan formal. Selain itu, ia juga mempertanyakan tentang kehadiran para anggota LSM, terutama mengenai identitas, status tugas yang diemban, dan asal lembaga.

Pertanyaan tersebut langsung dijawab oleh beberapa masyarakat, bahwa pertemuan tersebut bukan pertemuan resmi. Hanya mau mendengar seperti apa perkembangau upaya mengeluarkan Bujang Sulaiman, dan rekan-rekan dari Pelanjau yang sedang ditahan. Yang hadir juga tidak sengaja dikumpulkan, akan tetapi datang secara sukarela.

Beberapa masyarakat yang kontra PT KRBB menyatakan, dampak kongkrit dari aktivitas perusahaan tersebut. Seperti, kualitas air menjadi buruk. Pernyataan masyarakat yang kontra dijawab oleh Bujang Serah. Masyarakat yang pro perusahaan menyatakan, bahwa kalau aktivitas perusahaan merusak kualitas air, sementara warga kampung berladang merusak kualitas udara. Pertemuan tersebut belum mencapai kesepakatan dan bubar jam 24 malam.

Saban, Direktur Walhi, Kalbar mengatakan, dari temuan Tim Pencari Fakta ditemukan bahwa ketimpangan pengakuan secara de facto terhadap masyarakat adat inilah, menjadi awal terjadinya pelanggaran yang dilakukan pemerintah bersama dengan investor atau pemodal. Seperti yang terjadi pada Masyarakat Adat Silat Hulu, yang telah tinggal dan menempati wilayahnya secara turun temurun, dan menggantungkan hidupnya serta menjalankan sistem sosial, ekonomi dan hukum, berlandaskan pada kearifan masyarakat adat Silat Hulu.

Kasus yang menimpa masyarakat adat Semunying Jaya, akhirnya mengantarkan 10 orang, Bujang Sulaiman, Budang, Suprianus, Yohanes, Kada, Sikup, Jaka, Madin, Jemat, Sutrisno, mendekam di tahanan. Tiga orang menjadi buron, Majid, Jaka, Nasir. Kurang lebih 10 hari di Polres Bengkayang, karena diangap telah melakukan tindak pidana pengerusakan milik perusahaan, berupa jembatan jalan perusahaan, melalui laporan PT KRBB.

Padahal apa yang dilakukannya adalah mempertahankan eksistensi wilayah adatnya. Yang secara sepihak telah direngut dan digusur PT Karya Rekanan Bina Bersama. Tindakan tersebut hanya sebagai syarat pada perusahaan, agar tidak melakukan penebangan dan pengakutan kayu, sebelum permasalahan antara perusahaan dengan masyarakat selesai.

“Pelanggaran yang tejadi di wilayah Kampung Palanjau, Desa Nanga Ngeri dan Desa Perjuk, Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Konservasi, Kapuas Hulu, berupa
pelanggaran kehutanan,” kata Saban. Seperti, mendatangkan dan mengoperasikan alat berat operasional perusahaan. Perusahaan telah beroperasi namun belum ada RKT. Perusahaan melakukan pembangunan jalan dan jembatan, untuk sarana transportasi pengangkutan, dengan menggusur jenis tanam tumbuh masyarakat dan kuburan tua masyarakat adat. Perusahaan telah beroperasi melakukan pengangkutan kayu berdasarkan SK Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat. Penebangan pohon tengkawang dan penandaan berwarna merah jenis tanaman karet dan tengkawang di Kayan Hilir, Kabupaten Sintang.

Saban berkata, pelanggaran HAM juga terjadi, saat peristiwa penangkapan para tersangka demonstrasi warga dengan memotong 2 buah batang jembatan. Yang didahului dengan acara ritual adat. Aparat kepolisian Polres Kapuas Hulu melakukan pemukulan terhadap tersangka yang ditangkap. Akibatnya, Madin mengalami perawatan di RS Antonius – Pontianak, selama 7 hari, 15–22 Agustus 2007.

Penangkapan tidak secara prosedural dengan tidak disertai Surat Tugas Penangkapan dan Surat Penangkapan. Surat itu baru ada setelah tiga hari kejadian. Pelepasan Madin yang kena pemukulan paling parah dengan tidak bersyarat dalam keadaan sakit, nengindikasikan aparat kepolisian Polres Kapuas Hulu lepas tangan.

Aparat kepolisian melakukan penyisiran untuk mencari 3 orang tersangka yang belum di tangkap, dilakukan lewat tengah malam, sekitar pukul 2 malam. Penyisiran dilakukan selama 3 hari dengan memasuki ke rumah sampai masuk ke kamar, bahkan membuka kelambu. Akibat pencarian ini, masyarakat menjadi trauma dan ketakutan. Terutama masyarakat Kampung Pelanjau. Sehingga sebagian besar dari mereka mengungsi. Sebagian besar warga Pelanjau atau 73 orang ke Kampung Lubuk Besar di Desa Sungai Buaya, Kecamatan Kayan Hilir, Kabupaten Sintang.

Pengurus kampung, Kepala Dusun dan Ketua Adat Kampung Pelanjau, bersifat tidak tahu menahu tentang keberadaan warganya, tanpa pernah mengunjungi warganya di tahan, sakit dan mengungsi.

Pelanggaran lingkungan hidup terjadi. Seperti proses dan izin AMDAL, perusahaan belum jelas keberadaannya. Hal ini mengakibatkan sumber air bersih di Sungai Ngeri, yang biasa dipergunakan warga Pelanjau dan Perjuk, berubah menjadi keruh dan berwarna cokelat tanah. Juga terjadi pendangkalan Lumpur.

Pelanggaran sosial dan budaya mengakibatkan trauma berkepanjangan dari warga yang mengungsi. Mereka merasa ketakutan akibat intimidasi yang dilakukan aparat kepolisian maupun pengurus kampung. Selain itu terjadi perbedaan secara terbuka di masyarakat, antara yang menolak dan menerima keberadaan perusahaan.

Masyarakat juga kehilangan aktivitas dan pendapatan sehari-hari. Ladang tak terurus. Tak bisa menoreh. Begitu juga dengan ternak selama sekitar dua minggu di pengungsian. Hal ini berdampak pada kehilangan pendapatan rata-rata penduduk yang menoreh per harinya. Bila dalam sehari bisa memperoleh sekitar 10 kg karet dengan harga 1 kg karet Rp 6000. Ada penghilangan badan jalan tua yang menjadi penghubung warga antarkampung Pelanjau dan Perjuk. Hilangnya nilai-nilai ritual dan adat masyarakat dengan penggusuran kuburan tua, untuk pembangunan jalan pengangkutan perusahaan.

Ada pelanggaran tata ruang. Kawasan di Silat Hulu berdasarkan Rencana Tata Ruang Provinsi Kalimantan Barat yang telah direvisi tahun 2005 dan Peta Paduserasi RTRWP – TGHK Provinsi Kalimantan Barat, merupakan kawasan Hutan Lindung. Serta tidak sesuai dengan semangat SK Bupati No. 144 Tahun 2003, yang mencanangkan wilayah Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi. Artinya, di dalam SK tersebut di bagian Menimbang, memberikan peringatan kepada aktivitas pengerusakan kawasan hutan di Kabupaten Kapuas Hulu. Yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati.
Pelanggaran atas wilayah masyarakat adat Silat Hulu terjadi berawal dari kebijakan pemerintah dengan mengeluarkan izin untuk investasi PT. Karya Rekanan Bina Bersama (KRBB) di sektor kehutanan jenis HPH di Kabupaten Kapuas Hulu, dengan berpedoman Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 263/MenHut-II/2004, tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam seluas sekitar 43.810 Ha. Atas Hutan Produksi di Kabupaten Kapuas Hulu, kepada PT KRBB tertanggal 21 Juli 2004.

Dengan adanya permasalahan antara PT KRBB Base Camp Silat Hulu dengan sebagian masyarakat Dusun Pelanjau Desa Nanga Ngeri dan Desa Perjuk, Silat Hulu, keluarlah Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, Nomor 82/Kpts-II/APK/2007 tanggal 2 Maret 2007, tentang Penetapan Perpanjangan Bagan Kerja Tahunan/Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Alam Tahun 2006.

Dengan mengandalkan surat keputusan ini, PT KRBB langsung melayangkan surat pemberitahuan kepada Camat Silat Hulu. Dengan perihal pemberitahuan pengangkutan kayu yang telah ditebang. Selain itu juga PT KRBB telah melakukan penebangan di luar wilayah izin konsesi yang diberikannya di Kecamatan Silat Hulu. Karena telah ada penebangan sebanyak 98 batang kayu jenis Meranti di wilayah Kecamatan Kayan Hilir, Sintang. Ini merupakan suatu tindakan illegal logging yang telah dilakukan oleh aktivitas PT KRBB di luar wilayah izin konsesinya.

“Jika kita merujuk berkaitan dengan pengaturan masyarakat adat pada konstitusi maupun Tap MPR IX/2002, sangatlah jelas pengakuannya untuk melindunginya,” kata Saban.

Hal ini semakin diperjelas lagi dengan UUPA, UU HAM. Dalam hukum di Indonesia ada suatu norma hukum yang berlaku, bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum diatasnya, karena setiap produk hukum mempunyai hirarkie. Artinya, apabila peraturan tersebut bertentangan dengan produk hukum diatasnya, maka peraturan tersebut batal demi hukum. Dengan demikian peraturan tersebut tidak berlaku atau tidak dapat diterapkan sebagai landasan hukum.

“Berarti yang dilakukan oleh PT. Karya Rekanan Bina Bersama dengan menggunakan produk hukum yang cacat secara prosedural telah melanggar hukum,” kata Kaban.□