Rabu, 02 April 2008

Kekerasan pada Anak Masih Tinggi

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Kekerasan ibu terhadap anak masih tinggi saat ini. Hal itu dikarenakan semakin sulitnya kondisi ekonomi yang terjadi sekarang ini, sehingga membuat orang semakin stres dan tertekan. Akibatnya, ibu melampiaskan kekesalannya pada anak. Peneliti Untan, Ira Lestari, mengemukakan hal itu, Selasa (1/4).

Menurutnya, sekarang ini mengasuh anak bukan pekerjaan gampang. Apalagi dengan kemajuan teknologi informasi, dimana orang semakin mudah mengakses informasi, termasuk anak-anak. Mereka jadi semakin kritis menghadapi permasalahan di sekelilingnya.

Belum lagi persoalan hidup yang semakin kompleks, dan keadaan ekonomi makin sulit, membuat banyak ibu yang stres dan tertekan. Sehingga tanpa disadari, mereka melakukan tindak kekerasan terhadap anaknya, sebagai pelampiasan. Tindak kekerasan terhadap anak cenderung meningkat dari tahun-ke tahun.

“Yang menyedihkan kekerasan pada anak beberapa di antaranya berakhir pada kematian sang anak,” kata Ira.

Ia mengatakan, pelakunya tidak jauh, tapi orang terdekat, yaitu orang tua. 80 persen kekerasan dilakukan oleh ibu. Fenomena ini seperti gunung es, banyak yang belum terungkap. Banyak kasus yang sengaja dirahasiakan karena dianggap aib oleh korban, keluarga dan masyarakat.

Kekerasan pada anak tidak lepas dari pandangan yang salah tentang anak. Seolah-olah anak hak milik orang tua. Karena itu, atas nama pendidikan, disiplin dan masa depan, anak boleh diperlakukan apa saja.

Kekerasan itu, tentu berdampak buruk bagi perkembangan anak. Ada keyakinan bahwa anak yang sehat pun, tidak bisa mencapai perkembangan optimal, jika sering mengalami kekerasan.

Mantan menteri pemberdayaan perempuan, Khofifah Indar Parawangsa pernah mengatakan, tindak kekerasan yang dialami perempuan, sekitar 24 juta atau 11,4 persen dari total penduduk Indonesia, yang mengalami tidak kekerasan.
“Penyebab timbulnya kekerasan pada anak disebabkan masalah kemiskinan, gangguan mental, keretakan hubungan sosial yang dialami keluarga dan berbagai bentuk penyimpangan perilaku yang diabaikan oleh masalah psikologi sosial,” ujarnya.

Peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga, disebabkan mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat, melaporkan kasus yang terjadi di lingkungannya. Namun, banyak kasus yang telah dilaporkan ke pihak berwajib dicabut kembali. Penyebabnya, masih ada budaya berkembang di masyarakat, bahwa melaporkan kasus KDRT merupakan aib keluarga.
Tingkat pendidikan yang rendah, serta kurangnya informasi tentang Undang-undang PKDRT, sehingga korban menganggap kasus-kasus KDRT akan berakhir pada perceraian.

Menurut Ira, ada beberapa faktor untuk meningkatkan kualitas hubungan orang tua dan anak, yaitu secara fisik berdekatan dengan anak. Adanya kontak mata. Belaian dan komunikasi lisan.

Ada beberapa faktor yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan mental anak. Pertama, orang tua bersikap terlalu perhatian, akan mengakibatkan anak menjadi tidak mandiri atau selalu tergantung pada orang tuanya. Bahkan, ada yang menjadi anak pemberontak, karena ingin hidup bebas dari perhatian orang tua. Kedua, orang tua bersikap terlalu peduli, akan menyebabkan anak melakukan hal-hal yang negatif dengan tujuan ingin mendapat perhatian orang tuanya. Ketiga, depresi pada orang tua menyebabkan orang tua bersikap tidak bijak terhadap kelakuan anak. Misalnya mudah marah, mudah tersinggung dan melakukan kekerasan terhadap anak.

Orang tua yang ideal mempunyai kesabaran, toleransi, pengertian dan flexibilities dalam membimbing anak. Diungkapkan Ira, menurut psikologi Patricia Lalitha, ada sepuluh kesalahan umum yang dibuat orang tua dalam mendisiplinkan anak, yaitu membentak, menuntut tindakan segera, mengomel, menggurui, memaksa, marah berlebihan, meremehkan atau memberi cap, menjebak dan mencari kambing hitam.

Ira Lestari dan Eny Enawaty, melakukan penelitian studi kasus tindak kekerasan ibu terhadap anak dalam rumah tangga di Kota Pontianak. Mereka melakukannya pada 50 responden dari siswa TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Masing-masing 10 responden.

Jawaban dari responden diketahui, bentuk kekerasan yang terjadi di Kota Pontianak, sebagai besar kekerasan fisik dan psikis, yaitu marah dan memukul dengan tangan. Akibat tindak kekerasan psikis tersebut, mereka menjadi takut pada ibunya, dan kurang percaya diri. Sedangkan kekerasan fisik membuat membuat mereka agak benci dan kesal sama ibunya.

“Apa yang ibu mereka lakukan waktu kecil mereka teringat sampai mereka dewasa. Sehingga mereka sulit berkomunikasi dengan ibunya terutama anak laki-laki,” paparnya.

Eny Enawaty menambahkan, berdasarkan data responden yang diperoleh, mereka yang dimarahi umumnya karena nakal dan tidak menurut kehendak orang tua. Ibu yang melakukan tindak kekerasan fisik, umumnya berpendidikan rendah. Ada yang tidak tamat SD, atau tamat SD. Sedangkan ibu yang tidak melakukan tindak kekerasan, umumnya berpendidikan lebih tinggi, minimal SMP bahkan ada yang perguruan tinggi.

Dari hasil wawancara para responden ditemukan, umumnya yang melakukan tindak kekerasan dengan fisik, mereka yang ekonominya menengah kebawah. Sedangkan mereka yang ekonominya menengah dan tinggi jarang yang melakukan tindak kekerasan fisik.
“Untuk itu, pemerintah perlu meningkatkan pemberdayaan ekonomi rumah tangga,” katanya.

Jumlah anak dalam keluarga juga memengaruhi tindak kekerasan yang dilakukan ibu. Rata-rata keluarga yang memiliki anak lebih dari 2, sering melakukan tindak kekerasan dengan marah dan pukul.

Menurut Eny, dari hasil observasinya, ada bermacam sikap orang tua yang keliru. Orang tua yang selalu khawatir dan melindungi. Anak yang diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang dan selalu dilindungi, akan tumbuh menjadi anak penakut, tidak mempunyai kepercayaan diri dan sulit mandiri. Untuk mengatasi akibat tersebut, si anak suka berontak dan berbuat sesuatu yang sangat dikhawatirkan dan dilarang orang tua.

Ada orang tua yang terlalu menuntut. Misalnya, dileskan bahasa Inggris, matematika dan IPA. Bila anak tidak mau akan terjadi pemaksaan orang tua yang berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak. Seperti, sering dimarahi dulu sebelum pergi les.
Orang tua terlalu keras. Anak yang diperlakukan demikian, cenderung tumbuh dan berkembang menjadi anak penurut, namun penakut. Anak menjadi kurang mandiri, misalnya ke mana-mana sering minta ditemani. Hal ini membuat ibu kadang-kadang kesal yang berakibatkan marah dan ada yang berakhir dengan memukul.

Bagi Eny, cara untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan ibu terhadap anak dalam keluarga, dengan memperluas pendidikan dan pengetahuan orang tua, khususnya ibu. “Harus membangun keluarga yang demokratis dan membangun komunikasi yang efektif dalam keluarga,” kata Eny.□


0 komentar: