Rabu, 09 April 2008

PGRI KKR Konferda ke-1

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Konferensi Daerah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Kubu Raya (KKR) menjadi sejarah baru bagi PGRI. Karena mesti kabupaten baru dan Konferensi yang pertama tapi berhasil memilih ketua yang berasal dari guru sebagai jabatan fungsional.
“Ini sejarah baru yang belum pernah terjadi. Di kabupaten baru, PGRI-nya juga baru tapi kita telah berhasil memilih ketua PGRI KKR yang bukan berasal dari pejabat struktural Dinas Pendidikan,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olahraga, Sunardi, Kamis (3/4) usai Konferda di Gedung Jambrut.
Ia mengatakan walau berasal dari pejabat struktural tapi pihaknya sangat mendukung jika ketua PGRI dari guru. Sudah saatnya PGRI sebagai organisasi profesi guru diurus oleh guru. Karena jika PGRI masih diurus orang-orang yang berasal dari pejabat struktural Dinas Pendidikan. Maka PGRI akan sulit memperjuangkan hak-hak guru. Pengalaman tahun-tahun sebelumnya, kepala PGRI malah bukan dari kalangan Guru, melainkan dari birokrat. Akibatnya, organisasi ini tidak dapat berkembang, bahkan terkesan mandul. Orang tersebut hanya menjadikan PGRI sebagai kepentingan praktis untuk tujuan politik
”Bagi saya tidak masalah ketua PGRI KKR ini berasal dari guru atau dari pejabat struktural Dinas Pendidikan yang terpenting dapat mengakomodir aspirasi seluruh anggotanya dan sanggup melanjutkan perjuangan-perjuangan PGRI untuk pendidikan,” ungkapnya.
Ketua Terpilih PGRI KKR, Iskandar mengatakan akan mengembalikan fungsi PGRI sebagai organisasi Guru yang independent. Selama ini dalam tubuh PGRI sudah terindikasi banyak kepentingan politik.
”Karena itu, saya akan membawa PGRI untuk tidak terlibat dalam politik praktis, berupaya menyatukan seluruh guru agar terlibat dalam PGRI, memperjuangkan aspirasi dan hak-hak guru terutama untuk kesejahteraan. Kita akan terus mendesak pemerintah KKR untuk memberikan tunjangan-tunjangan fungsional untuk kesejahteraan guru dan mendukung kerja-kerja Dinas Pendidikan KKR meningkatkan kualitas pendidikan,” jelasnya.
Program sertifikasi guru menjadi program utama pengurus PGRI KKR periode 2008-2012.
Ketua panitia Konferda PGRI KKR, Usman berharap figur terpilih berbuat banyak untuk guru. Dan mampu merangkul seluruh kepentingan PGRI di 9 kecamatan yang ada di KKR.
Apalagi saat ini KKR menjadi kabupaten yang primadona, PGRI KKR harus mengambil bagian dalam menjalankan fungsinya. Salah satu caranya dengan melaksanakan fungsi PGRI yang sebenarnya. Kepala PGRI terpilih harus mampu mengembalikan fungsi sesuai dengan pasal 41 UU Nomor 14 tahun 2005, tentang guru dan dosen. Dalam pasal tersebut, terdapat aturan tentang pengelolaan PGRI yang independent yang bertugas memajukan profesi guru, meningkatkan kompetensi guru, perlindungan profesi, peningkatan kesejahteraan dan pengabdian kepada masyarakat. Dari UU tersebut, sudah sangat jelas, tidak tercantum adanya kalimat yang mengatakan PGRI sebagai kendaraan politik.
”Siapa lagi yang dapat memahami guru, kalau bukan guru itu sendiri,” ujarnya.
Dari hasil Konferda, Iskandar memperoleh suara terbanyak yaitu 48 suara dari 159 suara.


Pusat Perbukuan Depdiknas Gelar Sayembara PNBP 2008

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Rendahnya motivasi guru di Kalbar menulis, terutama karya tulis ilmiah menjadi keprihatinan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Karena itu lembaga tersebut bekerja sama dengan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Kalbar melakukan sosialisasi sayembara penulisan naskah buku pengayaan 2008.
“Minat guru untuk menulis di Kalbar sangat kecil sekali, bayangkan saja setiap ada perlombaan karya tulis ilmiah, tidak sampai 10 orang se Kalbar yang mengirimkan naskah ke Pusat Perbukuan,” kata Kepala LPMP Kalbar, Abdul Hadi, Rabu (2/4) usai pembukaan acara.
Dampaknya di Kalbar sulit untuk naik pangkat. Syarat naik pangkat dari golongan IV A ke golongan IV B yaitu membuat karya tulis ilmiah. Dari data LPMP Kalbar, dari 7873 orang guru golongan IV A di Kalbar baru 30 orang yang bisa naik pangkat ke golongan IV B. Karya tulis yang mereka buat tidak sesuai bidang keahliannya dalam mengajar. Misalnya guru matematika tidak membuat karya tulis ilmiah tentang matematika.
Rendahnya jumlah keikutsertaan guru dalam berbagai perlombaan menulis, bisa karena kurangnya sosialisasi atau karena memang guru tidak dapat menulis karya ilmiah. Karena itu tujuan sosialisasi ini untuk membekali dan memotivasi para guru agar mau dan mampu menulis untuk mengembangkan profesionalismenya.
“Kita juga akan membantu Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional untuk mensosialisasikan sayembara ini ke seluruh sekolah yang ada di Kalbar,” ungkapnya.
Kegiatan ini juga wahana mengembangkan minat penelitian guru sehingga terwujud sosok guru yang berkompeten dengan mengajar sekaligus memiliki wawasan penelitian ilmiah yang memadai. Ini sangat diperlukan guru dalam rangka membimbing anak didik.
Hartami dari Pusat Perbukuan Depdiknas yang menjadi nara sumber sosialisasi mengatakan naskah yang disayembarakan adalah buku pengayaan. Yaitu buku yang memuat materi yang dapat memperkaya pengetahuan, pengembangan keterampilan dan membentuk kepribadian yang positif peserta didik untuk jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA.
Dibedakan dua kelompok yaitu fiksi dan nonfiksi. Naskah fiksi, naskah yang diciptakan terutama berdasarkan kreativitas dan imajinasi. Kelompok ini dibedakan tiga jenis, pertama prosa, berupa novel dan kumpulan cerpen. Kedua kumpulan puisi dan ketiga drama. Naskah nonfiksi berisi hasil observasi secara langsung atau melalui studi perpustakaan. Kelompok nonfiksi ada tiga juga. Pertama pengayaan pengetahuan alam, kedua pengayaan pengetahuan sosial dan ketiga pengayaan keterampilan.
Peserta adalah tenaga kependidikan baik yang masih aktif maupun pensiunan. Untuk informasi lebih lanjut tentang sayembara ini dapat menghubungi Pusat Perbukuan Depdiknas, Jalan Gunung Sahari Raya No 4 Jakarta Pusat, telpon (021)3804248 pesawat 275, Fax. (021) 3806229, atau melalui situs internet www.sibi.or.id , e-mail : pusbuk@sibi.or.id


Konfercab PGRI Kecamatan Pontianak Selatan Sukses

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Pengurus PGRI Kecamatan Pontianak Selatan sukses menyelenggarakan Konferensi Cabang (Konfercab), Senin (31/3) kemarin. Kegiatan dihadiri 250 guru dari TK, SD, SMP dan SMA.
Mantan Ketua Pengurus Cabang (PC) PGRI Kecamatan Pontianak Selatan, Syarial mengatakan kegiatan Konfercab mestinya dilaksanakan akhir November 2007. Tapi karena ada beberapa kendala, terutama kesibukan pengurus yang begitu padat sehingga baru bisa dilaksanakan saat ini.
“Selain menyampaikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) pengurus periode 2002-2007 juga dilakukan pemilihan PC PGRI kecamatan Pontianak Selatan,” katanya.
Ketua PGRI Kota Pontianak, Hatta Abduhaji mengatakan selain LPJ pengurus PGRI kecamatan Pontianak Selatan dan pemilihan pengurus baru, PGRI Kota Pontianak juga memberikan tugas pada PGRI Kecamatan Pontianak Selatan untuk membentuk PC PGRI Kecamatan Pontianak Tenggara.
Kegiatan Konfercab ini sangat penting bagi PGRI karena PC PGRI tingkat kecamatan menjadi ujung tombak perjuangan PGRI yang langsung berhubungan dengan anggotanya.
“Jadi saat para anggota PGRI ingin menyampaikan aspirasinya, maka mesti berhubungan langsung dengan PC PGRI tingkat kecamatan di mana guru tersebut menjadi anggota,” ujarnya.
Sampai saat ini, dari 5 PC PGRI tingkat kecamatan di kota Pontianak, 3 PC PGRI yang sudah melaksanakan Konfercab. Sedangkan untuk PC PGRI Kecamatan Pontianak Kota dan Pontianak Timur belum.
Karena itu pengurus PGRI Kota Pontianak memberikan batas waktu sampai 19 April mendatang kepada para PC PGRI di kedua kecamatan tersebut untuk segera melaksanakan Konfercab. Jika sampai batas waktu tersebut, tidak dilaksanakan maka pengurus PGRI Kota Pontianak akan mengambil alih.
Meski melalui perhelatan panjang, akhir kegiatan Konfercab kemarin berhasil memilih pengurus baru. Untuk PGRI Kecamatan Pontianak Selatan yang terpilih menjadi ketua yaitu Agus Tribowo, dari SMA Santo Petrus dan wakil ketua Sih Farmawati, Kepala SMTI Kota Pontianak sedangkan sekertarisnya Rahmani Mansyur, Kepala SDN 17 Pontianak Selatan.
Kepengurusan PGRI Kecamatan Pontianak Tenggara, baru dibentuk tim formatur yang berjumlah 7 orang diketuai oleh Ketua PGRI Kota Pontianak.
”Dua minggu ke depan, PC PGRI Kecamatan Pontianak Tenggara sudah akan kita tetapkan. Jumlahnya 15 orang sama dengan PC PGRI Kecamatan Pontianak Selatan,” kata Hatta.
Nantinya, lanjut Hatta para pengurus cabang diberi waktu satu bulan untuk membuat program kerja pengurus yang akan dibahas dengan anggota dalam rapat kerja pengurus (Raker).
Hatta berharap kepengurusan PGRI ke depan semuanya berasal dari para guru bukan lagi dijabat oleh pejabat struktural di tingkat Dinas Pendidikan. Sampai saat ini baru dua PC PGRI Kabupaten dan Kota yang pengurusnya berasal dari guru yaitu PGRI Kota Pontianak dan PGRI Kabupaten Sambas.


Musrembang Diknas Kalbar Digelar Hari Ini

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Musyawarah Perencanaan dan Pengembangan (Musrembang) Dinas Pendidikan Kalbar dilaksanakan hari ini. Jika tahun-tahun sebelumnya Musrembang bidang pendidikan di tingkat provinsi dilaksanakan bersama dengan Dinas-dinas lain. Tapi mulai tahun ini Musrembang Dinas Pendidikan Kalbar dilakukan sendiri. Demikian dikatakan Kepala Dinas Pendidikan Kalbar, Ngatman, Selasa (1/4).
”Kegiatan Musrembang ini untuk mengevaluasi program-program yang sudah disusun dan pencapaian hasilnya untuk seluruh Dinas Pendidikan Kabupaten dan Kota yang ada di Kalbar,” katanya.
Program-program yang selama ini sudah disusun oleh Dinas Pendidikan Kabupaten dan Kota seperti program perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh akses pendidikan bagi masyarakat. Akan dievaluasi sejauh mana keberhasilannya, apa kendala yang dihadapi masing-masing kabupaten dan kota. Semua kabupaten dan kota akan memberikan evaluasi dan masukan ke Dinas Pendidikan Kalbar. Tiap kabupaten dan kota diminta memberikan penjelasannya tentang perkembangan angka partisipasi kasar di daerahnya, program-program rehab sekolah, usulan bangunan sekolah baru dan formasi guru yang diperlukan. Sehingga Dinas Pendidikan dapat membuat perencanaan dan pengembangan untuk tahun ini.
“Apa saja yang harus direncanakan kedepannya, apa yang harus ditargetkan. Semua akan dibicarakan dalam Musrembang,” ujar Ngatman.
Diknas Kalbar minta penjelasan Departemen Agama tentang perkembangan sekolah Madrasah dan sekolah keagamaan non Islam.
Selain itu Dinas Pendidikan mengundang institusi-instusi yang berhubungan dengan pendidikan seperti Bapeda, DPRD dan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang ada di Kalbar untuk sama-sama membicarakan perencanaan dan pengembangan pendidikan Kalbar kedepannya.
Misalnya dengan LPTK FKIP, Diknas Kalbar ingin mengetahui bagaimana dengan ketersediaan lulusan FKIP yang siap menjadi guru. Karena jika semua pihak ingin pendidikan di Kalbar maju dan berkualitas. Maka persoalan kekurangan tenaga guru dan rendahnya kualitas guru harus diatasi.
“Guru merupakan faktor penentu bagi buruk baiknya kualitas pendidikan selain sarana prasarana dan kesejahteraan guru,” jelasnya.
Seluruh stakeholder pendidikan harus saling mendukung dan bekerja sama untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Kalbar. Caranya semua pihak jangan hanya bisa mengoreksi kinerja pihak lain. Tapi mesti instropeksi ke dalam dirinya, apakah sudah benar-benar memberikan perhatian yang besar bagi dunia pendidikan di Kalbar. Dan yang terpenting, mari duduk bersama untuk membuat perencanaan dan pengembangan pendidikan di Kalbar. Agar visi, misi dan program untuk pendidikan di Kalbar dapat dipikirkan bersama dan dikerjakan bersama.
“Mari masing-masing institusi pendidikan di Kalbar harus menata diri dan menyatukan langkah untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Kalbar,” ajaknya.


Standar Kelulusan SD/Sederajat di Kalbar akan diturunkan

Tantra Nur AndiBorneo Tribune, Pontianak
Nilai standar kelulusan siswa SD/Madrasah Ibtidaiyah dan SDLB di Kalimantan Barat akan diturunkan untuk menyesuaikan bobot soal pada ujian nasional yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan ujian akhir sekolah (UAS).Menurut Kepala Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Kalbar, Ngatman di Pontianak, Selasa (27/11), pertimbangan lain karena masih terbatasnya kondisi pendidikan di Kalbar seperti jumlah guru, sarana pendidikan, infrastruktur belum menyeluruh, rasio elektrisitas yang rendah."Dengan keterbatasan yang ada, kemungkinan nilai standar kelulusan siswa SD dan sederajat akan diturunkan dari sebelumnya rata-rata enam menjadi 4,5 atau 5,5," kata Ngatman. Ujian nasional untuk siswa SD dan sederajat meliputi tiga mata pelajaran yakni Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.Nilai kelulusan diserahkan ke pihak sekolah sementara pemerintah menyiapkan materi ujian. "Sekolah yang mengetahui kemampuan siswanya. Bisa saja nilai standar kelulusan di Kota Pontianak berbeda dengan Kapuas Hulu," katanya. Ngatman menambahkan, meski nilai standar kelulusan diturunkan namun tidak menunjukkan penurunan kualitas pendidikan."Karena sebagian soal yakni sekitar 25 persen dibuat oleh Pusat dan sisanya provinsi. Untuk soal yang dibuat provinsi juga harus memenuhi syarat yang ditetapkan sehingga soalnya akan lebih berbobot," katanya. Selain itu, untuk mengurangi kemungkinan tingginya angka siswa yang tidak memenuhi batas minimal nilai kelulusan, pengumuman hasil ujian akan dilakukan setelah nilai dari soal yang dibuat Pusat diketahui.Sedangkan terhadap pihak SMP dan sederajat, Ngatman mengharapkan dapat menampung lulusan SD dan sederajat meski nilai ujian siswa tidak seperti tahun sebelumnya. "Kecuali kalau sekolah itu diminati banyak lulusan SD, perlu diseleksi karena pertimbangan daya tampung," kata Ngatman. Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Prof Djemari Mardapi didampingi Kepala Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Balitbang Depdiknas, Burhanuddin Tola beberapa waktu lalu di Jakarta menyatakan bahwa ujian nasional siswa SD/sederajat akan dilaksanakan secara terintegrasi dengan UAS untuk SD/MI dan SDLB. Ujian nasional yang terintegrasi dengan ujian sekolah/madrasah (UNTUS) ini dilaksanakan satu kali pada minggu ketiga Mei 2008."Kriteria kelulusan UNTUS ditetapkan oleh setiap sekolah/madrasah. Kriteria itu ditetapkan melalui rapat dewan guru dengan mempertimbangkan nilai minimum setiap mata pelajaran yang diujikan dan nilai rata-rata ketiga mata pelajaran yang diujikan," kata Prof Djemari. Selain itu, sekolah juga diminta memperhatikan nilai sehari-sehari, perilaku dan akhlak siswa sehingga hasil ujian nasional tersebut tidak semata-mata diperoleh dari ujian saja, katanya.UNTUS tahun pelajaran 2007/2008 akan diikuti sekitar 5, 2 juta peserta yang berasal dari 184 ribu SD/MI/SDLB dan pada akhir kelulusan siswa akan menerima Surat Keterangan Hasil UNTUS yang diterbitkan oleh sekolah/madrasah


Rabu, 02 April 2008

Kekerasan pada Anak Masih Tinggi

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Kekerasan ibu terhadap anak masih tinggi saat ini. Hal itu dikarenakan semakin sulitnya kondisi ekonomi yang terjadi sekarang ini, sehingga membuat orang semakin stres dan tertekan. Akibatnya, ibu melampiaskan kekesalannya pada anak. Peneliti Untan, Ira Lestari, mengemukakan hal itu, Selasa (1/4).

Menurutnya, sekarang ini mengasuh anak bukan pekerjaan gampang. Apalagi dengan kemajuan teknologi informasi, dimana orang semakin mudah mengakses informasi, termasuk anak-anak. Mereka jadi semakin kritis menghadapi permasalahan di sekelilingnya.

Belum lagi persoalan hidup yang semakin kompleks, dan keadaan ekonomi makin sulit, membuat banyak ibu yang stres dan tertekan. Sehingga tanpa disadari, mereka melakukan tindak kekerasan terhadap anaknya, sebagai pelampiasan. Tindak kekerasan terhadap anak cenderung meningkat dari tahun-ke tahun.

“Yang menyedihkan kekerasan pada anak beberapa di antaranya berakhir pada kematian sang anak,” kata Ira.

Ia mengatakan, pelakunya tidak jauh, tapi orang terdekat, yaitu orang tua. 80 persen kekerasan dilakukan oleh ibu. Fenomena ini seperti gunung es, banyak yang belum terungkap. Banyak kasus yang sengaja dirahasiakan karena dianggap aib oleh korban, keluarga dan masyarakat.

Kekerasan pada anak tidak lepas dari pandangan yang salah tentang anak. Seolah-olah anak hak milik orang tua. Karena itu, atas nama pendidikan, disiplin dan masa depan, anak boleh diperlakukan apa saja.

Kekerasan itu, tentu berdampak buruk bagi perkembangan anak. Ada keyakinan bahwa anak yang sehat pun, tidak bisa mencapai perkembangan optimal, jika sering mengalami kekerasan.

Mantan menteri pemberdayaan perempuan, Khofifah Indar Parawangsa pernah mengatakan, tindak kekerasan yang dialami perempuan, sekitar 24 juta atau 11,4 persen dari total penduduk Indonesia, yang mengalami tidak kekerasan.
“Penyebab timbulnya kekerasan pada anak disebabkan masalah kemiskinan, gangguan mental, keretakan hubungan sosial yang dialami keluarga dan berbagai bentuk penyimpangan perilaku yang diabaikan oleh masalah psikologi sosial,” ujarnya.

Peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga, disebabkan mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat, melaporkan kasus yang terjadi di lingkungannya. Namun, banyak kasus yang telah dilaporkan ke pihak berwajib dicabut kembali. Penyebabnya, masih ada budaya berkembang di masyarakat, bahwa melaporkan kasus KDRT merupakan aib keluarga.
Tingkat pendidikan yang rendah, serta kurangnya informasi tentang Undang-undang PKDRT, sehingga korban menganggap kasus-kasus KDRT akan berakhir pada perceraian.

Menurut Ira, ada beberapa faktor untuk meningkatkan kualitas hubungan orang tua dan anak, yaitu secara fisik berdekatan dengan anak. Adanya kontak mata. Belaian dan komunikasi lisan.

Ada beberapa faktor yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan mental anak. Pertama, orang tua bersikap terlalu perhatian, akan mengakibatkan anak menjadi tidak mandiri atau selalu tergantung pada orang tuanya. Bahkan, ada yang menjadi anak pemberontak, karena ingin hidup bebas dari perhatian orang tua. Kedua, orang tua bersikap terlalu peduli, akan menyebabkan anak melakukan hal-hal yang negatif dengan tujuan ingin mendapat perhatian orang tuanya. Ketiga, depresi pada orang tua menyebabkan orang tua bersikap tidak bijak terhadap kelakuan anak. Misalnya mudah marah, mudah tersinggung dan melakukan kekerasan terhadap anak.

Orang tua yang ideal mempunyai kesabaran, toleransi, pengertian dan flexibilities dalam membimbing anak. Diungkapkan Ira, menurut psikologi Patricia Lalitha, ada sepuluh kesalahan umum yang dibuat orang tua dalam mendisiplinkan anak, yaitu membentak, menuntut tindakan segera, mengomel, menggurui, memaksa, marah berlebihan, meremehkan atau memberi cap, menjebak dan mencari kambing hitam.

Ira Lestari dan Eny Enawaty, melakukan penelitian studi kasus tindak kekerasan ibu terhadap anak dalam rumah tangga di Kota Pontianak. Mereka melakukannya pada 50 responden dari siswa TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Masing-masing 10 responden.

Jawaban dari responden diketahui, bentuk kekerasan yang terjadi di Kota Pontianak, sebagai besar kekerasan fisik dan psikis, yaitu marah dan memukul dengan tangan. Akibat tindak kekerasan psikis tersebut, mereka menjadi takut pada ibunya, dan kurang percaya diri. Sedangkan kekerasan fisik membuat membuat mereka agak benci dan kesal sama ibunya.

“Apa yang ibu mereka lakukan waktu kecil mereka teringat sampai mereka dewasa. Sehingga mereka sulit berkomunikasi dengan ibunya terutama anak laki-laki,” paparnya.

Eny Enawaty menambahkan, berdasarkan data responden yang diperoleh, mereka yang dimarahi umumnya karena nakal dan tidak menurut kehendak orang tua. Ibu yang melakukan tindak kekerasan fisik, umumnya berpendidikan rendah. Ada yang tidak tamat SD, atau tamat SD. Sedangkan ibu yang tidak melakukan tindak kekerasan, umumnya berpendidikan lebih tinggi, minimal SMP bahkan ada yang perguruan tinggi.

Dari hasil wawancara para responden ditemukan, umumnya yang melakukan tindak kekerasan dengan fisik, mereka yang ekonominya menengah kebawah. Sedangkan mereka yang ekonominya menengah dan tinggi jarang yang melakukan tindak kekerasan fisik.
“Untuk itu, pemerintah perlu meningkatkan pemberdayaan ekonomi rumah tangga,” katanya.

Jumlah anak dalam keluarga juga memengaruhi tindak kekerasan yang dilakukan ibu. Rata-rata keluarga yang memiliki anak lebih dari 2, sering melakukan tindak kekerasan dengan marah dan pukul.

Menurut Eny, dari hasil observasinya, ada bermacam sikap orang tua yang keliru. Orang tua yang selalu khawatir dan melindungi. Anak yang diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang dan selalu dilindungi, akan tumbuh menjadi anak penakut, tidak mempunyai kepercayaan diri dan sulit mandiri. Untuk mengatasi akibat tersebut, si anak suka berontak dan berbuat sesuatu yang sangat dikhawatirkan dan dilarang orang tua.

Ada orang tua yang terlalu menuntut. Misalnya, dileskan bahasa Inggris, matematika dan IPA. Bila anak tidak mau akan terjadi pemaksaan orang tua yang berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak. Seperti, sering dimarahi dulu sebelum pergi les.
Orang tua terlalu keras. Anak yang diperlakukan demikian, cenderung tumbuh dan berkembang menjadi anak penurut, namun penakut. Anak menjadi kurang mandiri, misalnya ke mana-mana sering minta ditemani. Hal ini membuat ibu kadang-kadang kesal yang berakibatkan marah dan ada yang berakhir dengan memukul.

Bagi Eny, cara untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan ibu terhadap anak dalam keluarga, dengan memperluas pendidikan dan pengetahuan orang tua, khususnya ibu. “Harus membangun keluarga yang demokratis dan membangun komunikasi yang efektif dalam keluarga,” kata Eny.□


Belajar Bahasa Indonesia yang Menyenangkan

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Pengembangan media sangat diperlukan untuk mengembangkan pembelajaran bahasa Indonesia. Media yang perlu digunakan untuk pengembangan pelajaran bahasa Indonesia yaitu media pandang–dengar (audio visual) seperti kamera, poster, gambar, OHP, slide.
“Dengan mengembangkan media pandang-dengar dalam pembelajaran bahasa Indonesia ada tiga aspek yang dapat diamati, yaitu sikap mental, kemampuan mengemukakan pendapat dengan penalaran atau logika yang logis dan penggunaan bahasa yang kreatif,” kata peneliti Untan, Nanang Heryana, Senin (1/4).
Menurut Nanang, dari hasil kajian penelitiannya sikap mental dalam berbicara merupakan unsur kejiwaan pembicara dalam mempengaruhi baik atau tidaknya pembicara saat berbicara. Unsur kejiwaan ini dibedakan atas rasa komunikasi, rasa humor, dan rasa percaya diri.
Sedangkan penalaran merupakan proses berpikir dalam menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan. Penalaran atau kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran. Saat bicara, penalaran sangatlah penting agar kegiatan berbicara dapat berjalan secara efektif dan komunikatif.
Kreativitas dalam kegiatan berbicara di depan umum juga sangatlah penting. Pembicara tidak cukup hanya menyampaikan fakta atau informasi tapi bagaimana caranya agar fakta atau informasi tersebut sampai pada pendengar. Dan disampaikan dengan menarik, tidak membosankan.
“Pembicara diharapkan dapat kreatif, missal mengeluarkan joke-joke segar, memberikan contoh-contoh,” ungkapnya.
Dikatakan Nanang ada tiga langkah pokok yang perlu diperhatikan dalam pengembangan media, yaitu mengaitkan pengembangan media dengan karakteristik pembelajaran, tujuan dan materi pembelajaran, mengaitkan kegiatan pada langkah pertama dengan kegiatan belajar mengajar, menyeleksi alat Bantu mengajar yang selaras dengan kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan.
Dari hasil penelitian Nanang Heryana dan Laurensius Salem di SMA Katolik Gembala Baik Pontianak. Untuk mengetahui layak tidaknya media terutama audio visual dilakukan uji coba pada pembicara. Dan hasil uji coba yang dilakukan pembicara dari guru SMA Katolik Gembala Baik Pontianak, Donata Simu menyatakan media yang dibuat dinyatakan sesuai dengan pembelajaran bahasa Indonesia.
Tapi Donata Simu masih meragukan apakah media tersebut dapat meningkatkan mental positif siswa dan meningkatkan logika berbicara. Ia juga berpendapat media audio visual yang digunakan dapat meningkatkan kreativitas siswa dalam berbicara khususnya dalam menggunakan bahasa.
“Karena siswa dapat meniru para tokoh dalam mengolah bahasa dan media cukup menarik untuk digunakan sebagai media dalam pembelajaran keterampilan berbicara,” jelasnya.
Diungkapkan Nanang, dari 42 siswa yang dimintai pendapat tentang media yang digunakan ternyata 41 siswa atau 97,61 persen menyatakan sesuai dengan materi atau mata pelajaran yang sedang dipelajari dan hanya 1 siswa atau 2,39 persen menyatakan kurang sesuai dengan mata pelajaran yang sedang dipelajari.
Dari 42 siswa itu, diketahui bahwa 14 siswa 33,33 persen menyatakan dapat meningkatkan sikap mental positif. Ada 24 siswa 57,14 persen menyatakan cukup. Artinya cukup dapat meningkatkan sikap mental positif. Dan 4 siswa 9,52 persen menyatakan kurang dapat meningkatkan mental positif.
Saat ditanya, sebagian besar menjawab cukup atau kurang yakin dapat meningkatkan sikap mental mereka.
26 orang atau 61,90 persen menyatakan media dapat meningkatkan logika berbicara. Sedangkan dalam hal meningkatkan kreativitas dalam menggunakan bahasa. Hanya 4 siswa 9,52 persen menjawab yakin media dapat meningkatkan kreativitas dalam mengunakan bahasa. Sebagian besar, 37 siswa atau 88,09 persen menyatakan media hanya cukup meningkatkan kreativitas menggunakan bahasa. Sedangkan para guru berpendapat melihat penampilan para pembicara seharusnya para siswa dapat meniru bagaimana cara mengolah bahasa. Misalnya kadang berbicara keras, kadang lembut dan seterusnya.
31 siswa dari 42 responden menyatakan media tersebut menarik, 10 siswa menyatakan media cukup menarik dan 1 orang menyatakan kurang menarik. Alasan siswa menyatakan menarik karena selama ini guru yang mengajarkan keterampilan berbicara tidak pernah menggunakan media audio visual.
”Penggunaan media audio visual menurut para siswa lebih menarik dibandingkan dengan penggunaan media audio yang berupa tape recorder,” katanya.


Satu Dasawarsa, KAMMI Membangun Khatulistiwa

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Pemuda menjadi tonggak perubahan besar bagi bangsa ini. Para pemuda yang sebagian besar berstatus mahasiswa diharapkan merupakan orang-orang yang kritis dalam berfikir dan bertindak berdasarkan logika bukan sekadar emosi belaka. Karena pemuda merupakan bagian penting dari masyarakat yang membawa masyarakat ke arah perubahan.
Pemuda tidak boleh melupakan kualitas dirinya, kesadaran masyarakat terhadap pendidikan pemuda menjadi keharusan. Karena gelombang pergerakan pemuda lah yang akan membawa bangsa ini bangkit dari tidur panjang, tapi disayangkan, pemuda saat ini masih lembek, masih mampu terprovokasi oleh isu politik kalangan atas dan termakan oleh tangan-tangan pemegang kekuasaan. ”Pemuda bukan orang yang bungkam akan kenyataan, ia akan bergerak dan mengkritisi yang tidak sesuai dengan idealismenya,” kata Pembantu Rektor III Untan, Eddy Suratman, Sabtu (29/3) usai talkshow KAMMI bertema Kaum Muda Membangun Khatulistiwa di gedung Islamic Centre Masjid Mujahidin Pontianak.
Dikatakannya kondisi pemuda di Kalbar saat ini sekitar 5 persen pemuda yang tidak bisa baca tulis, 14 persen pemuda yang benar-benar pengangguran, 30 persen pemuda yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan 79 persen pemuda di Kalbar tidak ada dalam bangku sekolah.
Karena itu pemuda harus memperbaiki kualitas diri. Tidak hanya dibangku pendidikan namun harus turun langsung melihat kondisi masyarakat. Yang terpenting pemuda harus dapat membantu masyarakat paling tidak dengan menyuarakan hak-hak masyarakat pada pemerintah.
Ketua MUI Kalimantan Barat, Abdul Zaim mengatakan pemuda harus terus berjuang melakukan perubahan moral di masyarakat. Pemuda juga harus dapat memberikan contoh bagi masyarakat dalam segala tindakannya. Jangan sampai pemuda justru terjerumus ke perilaku amoral seperti seks bebas, pornografi dan narkoba.
Ketua Panitia Hari Lahir (Milad) KAMMI ke X, Nurbani mengatakan (29/3) ini tepat satu dasawarsa usia KAMMI. Diusianya yang ke X KAMMI mencoba memberikan yang terbaik bagi kebangkitan kota khatulistiwa. Sesuai jargonnya Menuju Muslim Negarawan, KAMMI mencoba membangun kultur membaca, menulis dan diskusi. Kata Negarawan, merujuk pada kualitas pemimpin puncak suatu negara.
“KAMMI ingin melahirkan kader-kader pemimpin yang memiliki basis ideologi Islam yang mengakar, pengetahuan dan pemikiran yang mapan, idealis, konsisten, dan berkontribusi pada pemecahan problematika umat dan bangsa. Serta mampu menjadi perekat komponen bangsa untuk upaya perbaikan,” katanya.
KAMMI menyadari pemuda memiliki potensi luar biasa yang seharusnya lebih diutamakan jika ingin Kota khatulistiwa maju. Sebagai pemuda setidaknya memiliki 2 peran. Pertama, sebagai agent of change (agen perubahan). Kedua, sebagai iron stock (sumber daya bangsa masa depan).
Generasi muda adalah generasi bersifat idealis pada cita-cita bangsanya. Generasi muda generasi yang selalu kritis terhadap kondisi yang stagnan (status quo). Maka KAMMI bekerjasama dengan seluruh elemen gerakan mahasiswa dan pemuda dalam kesamaan prinsip komitmen kebangsaan yang tulus, bukan karena kepentingan politik pragmatis. Di usianya yang ke -X KAMMI mengadakan acara dengan tema besar Satu Dasawarsa KAMMI Membangun Khatulistiwa.
Acara MILAD KAMMI Ke-X antara lain KAMMI road show to campus, seminar politik, training politik, kajian gender dan feminisme, lomba menulis artikel, pawai keliling kota Pontianak, dan talkshow yang dihadiri oleh pelajar se-kota Pontianak, JPRMI (Jaringan Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia), OKP dan Mahasiswa.
Setelah talkshow, panitia mengumumkan pemenang lomba menulis artikel. Juara I Imran Ramadhan, siswa MAN 2 Pontianak, Juara II Mahmuda, siswi SMA Muhammadiyah 2 Pontianak, dan juara III Rhomadon, mahasiswa Fakultas Kedokteran Untan.
Selain talk show, KAMMI akan menggagas berdirinya Komunitas Pemuda Khatulistiwa (KOMPAK) yang menyatukan pemuda, pelajar dan mahasiswa. KAMMI berharap dengan adanya komunitas seperti ini, pemuda akan lebih terberdayakan potensinya. Karena banyak sekali kompetensi yang harusnya dimiliki seorang pemuda jika ingin memajukan kota Khatulistiwa.


Merebut Peluang dalam Pilkada

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Merebut peluang dalam Pilkada bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Seorang kontestan Pilkada harus memiliki strategi yang cerdas untuk merebut pemilih.
Langkah pertama yang harus dilakukan calon ialah, memetakan masyarakat berdasarkan segmen demografis.
“Segmen demografis membagi masyarakat dalam kategori masyarakat yang didominasi oleh adat istiadat suku, didominasi oleh unsur keyakinan dalam agama dan kategori tingkat pendidikan, pekerjaan dan pendapatan,” kata Koordinator Wilayah Lembaga Survei Indonesia (LSI) Kalbar, Johnny Rudwin, Sabtu (29/3) di kediamannya.
Menurutnya, setelah calon dapat memetakan kondisi demokrasi masyarakat di semua daerah pemilihan, calon harus segera melakukan proses pendidikan pada masyarakat. Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui apa keinginan rakyat terhadap pemimpinnya. Program-progam apa saja yang mesti dibuat di daerah tersebut.
“Calon harus benar-benar mengetahui aspirasi rakyatnya, karena satu suara sangat berarti dalam Pilkada,” ujarnya.
Proses pendekatan ke masyarakat akan berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Masing-masing daerah, etnis dan agama akan berbeda cara melakukan pendekatannya.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk melakukan pendekatan. Salah satunya merangkul patron atau tokoh masyarakat yang berpengaruh dan dapat memengaruhi masyarakat di daerah tersebut.
Selain faktor demografis, masyarakat juga dipengaruhi faktor psikologis, yaitu adanya keaktifan masyarakat dalam organisasi sosial. Kalau masyarakat di suatu daerah begitu aktif dalam organisasi sosial, maka ormas harus dijadikan tempat komunikasi merebut hati rakyat. Calon mesti mulai melakukan pendekatan pada ormas-ormas di daerah tersebut. “Jadikan setiap kegiatan ormas itu sebagai media komunikasi dengan rakyat,” kata Johnny.
Sikap rasionalitas masyarakat juga menjadi faktor penting untuk menentukan peluang calon dalam Pilkada. Masyarakat yang memiliki sikap rasionalitas, adalah masyarakat yang telah mampu menilai visi, misi dan program dari para calon.
Masyarakat telah berkalkulasi untung dan ruginya, jika ia memilih calon tersebut. Jika calon telah dapat memetakan tiga karakter yang ada di masyarakat, langkah selanjutnya membuat strategi dan menentukan media apa yang efektif untuk berkomunikasi dengan rakyat di masing-masing daerah. Tokoh kunci mana yang bisa dijadikan patron untuk berkomunikasi dengan rakyat. Strategi apa yang harus digunakan untuk memenangkan Pilkada.
Dalam berkomunikasi dengan rakyat, calon mesti dapat membaca tingkat peluang keterpilihan dia di masyarakat. Caranya bisa dengan menanyakan, apakah ia popular atau tidak di masyarakat. Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap dirinya.
“Memenangkan Pilkada bukan mengandalkan popularitas di media massa tapi yang terpenting popular di masyarakat,” jelasnya.
Setelah ia tahu tingkat ke populerannya di masyarakat, baru calon memperhitungkan apakah ia berpeluang besar untuk memang atau tidak. Jika tidak lebih baik mundur sebelum miskin mendadak karena kehabisan uang untuk Pilkada.
Selain membaca peluangnya, calon juga harus membaca peluang dari lawan. Perlu melakukan analisis baik kekuatan, kelemahan, tantangan dan peluang baik dirinya maupun lawan politik. Jika ada calon incumbent, langkah yang harus dilakukan adalah mengevaluasi kepemimpinan incumbent. Apa kesuksesan calon incumbent dimata masyarakat dan apa kegagalannya. Semuanya bisa ditanyakan ke masyarakat. Untuk kegagalan dari kepemimpinan incumbent, maka perlu ditanyakan ke masyarakat apa solusi yang dikehendaki oleh masyarakat.
Upaya mengukur tingkat popularitasnya di masyarakat, dapat dilakukan dengan calon turun langsung ke masyarakat atau minta bantuan tim independent yang bekerja berdasarkan data yang akurat. Misalnya perguruan tinggi, lembaga survey, ormas dan LSM yang paham dengan survey.
Upaya terakhir yang mesti dilakukan calon adalah bagaimana melaksanakan kampanye yang efektif. Calon harus cerdas memilih model kampanye, kapan ia harus menggunakan kampanye konvensional dan kapan ia harus menggunakan kampanye dialogis. Contoh kampanye konvensional ialah kampanye dengan menghadirkan artis dalam kampanye. Sedangkan kampanye dialogis adalah kampanye lewat pendekatan budaya dan kultur masyarakat.
“Calon jangan menoton dalam menggunakan metode kampanye, karena tidak semua masyarakat menyukai kampanye yang bersifat konvensional,” ungkapnya.□


Pilkada Menguras Uang Rakyat

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Pilkada yang menguras uang rakyat justru sering menimbulkan konflik horizontal di masyarakat itu sendiri. Biaya Pilkada tidak murah. Perlu puluhan miliar rupiah. Bahkan beberapa provinsi menghabiskan berkarung-karung duit untuk satu kali Pilkada. Apalagi jika sampai dilakukan sampai dua putaran. Bisa dibayangkan betapa rakyat bisa bangkrut hanya untuk memilih kepala daerah dari 465 kabupaten kota dan 33 provinsi yang ada. Pilkada baik untuk berdemokrasi, tapi biayanya yang besar pasti menguras APBD. Padahal jika anggaran itu digunakan untuk pembangunan, patsi akan tampak hasilnya. “Tapi hasil dari Pilkada itu sendiri tidak berkualitas, karena Pilkada belum mampu melahirkan kepala daerah yang betul-betul komitmen membela kepentingan rakyat,” kata Dosen Komunikasi Politik FISIP Untan, Wijaya Kusuma, Sabtu (29/3).
Menurutnya dari pelaksanaan Pilkada ke Pilkada, protes atas kecurangan masih tetap berlangsung, pengerusakan—ungkapan ketidakpuasan—masih saja muncul, ancaman perpecahan sebagai akibat Pilkadal masih mengkhawatirkan. Demikian juga nada permusuhan antar pihak yang bersaing, potensi konflik sosial dan pertikaian antar masyarakat yang mempertentangkan suku dan agama semakin terbuka. Uang yang dihabiskan untuk Pilkada akan jauh lebih besar jika ditambahkan biaya para bakal calon untuk mendapatkan partai politik sebagai perahunya. Biaya kampanye serta kegiatan para tim suksesnya, biaya sosialisasi, biaya saksi di TPS, serta berbagai biaya lainnya yang susah untuk memperkirakan.
“Pilkada sangat rumit, menimbulkan banyak persoalan dan kasus, serta membutuhkan banyak biaya, sehingga sangat mahal harga yang harus dibayar bangsa ini. Padahal hasilnya tidak memberikan pemimpin yang lebih baik,” ujarnya.Membangun demokrasi sesungguhnya bukan dengan tiada hari tanpa Pilkada. Tapi bagaimana mengikutsertakan partisipasi rakyat dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pilkada sebenarnya baik untuk mengikutsertakan partisipasi rakyat berpolitik. Melalui Pilkada diharapkan dapat mengurangi arogansi lembaga DPRD yang selama ini sering kali mengklaim dirinya sebagai satu-satunya institusi pemegang mandat rakyat yang representatif, membatasi kekuasaan dan kewenangan DPRD yang terlalu besar seperti memegang fungsi memilih, meminta pertanggungjawaban dan menghentikan kepada daerah, menghasilkan kepala daerah yang lebih bermutu, menghasilkan pemerintahan daerah yang stabil, produktif dan efektif, serta menghentikan praktik politik uang. Melalui Pilkada, masyarakat banyak berharap implikasi penguatan kehidupan politik masyarakat lokal. Setidaknya akan memajukan lembaga kemasyarakatan dan menyehatkan perilaku politik masyarakat daerah, terutama meningkatkan kesadaran politik masyarakat daerah dalam proses penyelenggaraan Pilkada, memacu aktivitas politik masyarakat yang memberikan kesempatan lebih besar pada tiap orang untuk berpartispasi dan mengembangkan masyarakat madani, memperluas akses masyarakat lokal untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat, memotivasi media lokal agar lebih aktif menyuarakan proses Pilkadal, dan mendorong berkembangnya kemandirian dalam tubuh Parpol. Karena itu melalui Pilkada diharapkan muncul kepala daerah yang lebih baik.Tapi yang terjadi justru konflik yang disertai kekerasan di masyarakat. Aibatnya daerah harus mengeluarkan ongkos yang besar untuk menyelesaikan konflik sosial.
“Kita mesti berpikir ulang untuk terus menyelenggarakan Pilkada karena negara harus terus menerus mengeluarkan ongkos ekonomis untuk Pilkada dan ongkos sosial untuk menyelesaikan konflik akibat Pilkada,” kata Wijaya.
Yang sangat disesalkan, penyelenggaraan Pilkada demi demokrasi tapi dilaksanakan dengan cara yang tidak demokratis. Dari pada harus menghabiskan uang rakyat lebih baik uang tersebut digunakan untuk meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan, kesehatan ataupun mendapat makanan yang lebih baik. Apalagi banyak rakyat Indonesia yang mati akibat kelaparan dan sangat banyak anak Indonesia yang mengalami gizi buruk.


Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan, Pemerintah Harus Duduk Satu Meja

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Hasil UAN tingkat SLTP Kalbar 2007 terendah di Kalimantan dan ini menunjukkan mutu pendidikan di Kalbar masih sangat rendah. Permasalahan ini menimbulkan respon dari berbagai pihak, baik dari kalangan akademisi, maupun birokrat mulai bersuara.
Permasalahan pendidikan yang selalu berkutat pada persoalan yang tidak berujung, menimbulkan kejenuhan masyarakat. Dekan FKIP Untan, Dr Aswandi mengatakan, untuk mengobati kejenuhan yang terjadi dalam pendidikan Kalbar, pemda Kalbar mesti mengganti wajah pendidikan di daerah ini. “Saat ini Kalbar membutuhkan pemimpin baru, dengan wajah-wajah segar. Selain membutuhkan wajah baru dalam kepemimpinan pendidikan, setiap stakeholder yang bersentuhan langsung dengan pendidikan, perlu duduk satu meja untuk merumuskan pemecahan masalah yang ada,” pungkas Aswandi, saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (26/3) kemarin.Pakar pendidikan Kalbar ini mengatakan, keseriusan pemprov dan dinas terkait dirasakan kurang dalam menangani keterpurukan pendidikan di provinsi ini.Tidak ada upaya atau inovasi yang dilakukan oleh pemprov untuk melakukan perubahan guna meningkatkan mutu pendidikan yang kian terpuruk dalam tiga tahunini. Hal ini mengakibatkan tidak adanya rasa semangat dari siswa, guru dan sekolah untuk meningkatkan prestasinya. Aswandi mengungkapkan, di antara empat provinsi Kalbar, Kalimantan menduduki peringkat terendah. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah harus bersama-samamencari solusi untuk memecahkan permasalahan ini.Selama ini masih belum ada yang mampu mencari jalan keluar terbaik untuk merubah paradigma pendidikan di Indonesia terutama Kalbar yang kian terpuruk. “Jika permasalahan ini hanya dipendam sendiri, tanpa melibatkan stick holder pendidikan, seperti LPTK, BMPS, dan sebagainya, tentunya permasalahan pendidikan tidak dapat diselesaikan. Dengan demikian upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, tidak akan dapat dicapai,” tegas Aswandi. Kepala PGRI kota Pontianak, Drs Hatta Abduhaji, memaparkan, berkaitan dengan masalah mutu pendidikan di Kalbar sudah berapa tahun ini masih stagnan. Dari pengamatannya, kegagalan yang pertama adalah kurangnya komitmen pemerintah dalam pembinaan pendidikan. “Dapat di simpulkan kinerja dinas pendidikan belum maksimal.Dalam artian mereka bekerja hanya terfokus pada proyek, sehingga tidak ada kegiatan yang difokuskan untuk meningkatkan mutu pendidikan,” jelas Hatta, saat ditemui di SD Muhammadiyah 2 Pontianak, Rabu kemarin. Hatta mengatakan, seharusnya dinas pendidikan Kalbar melibatkan seluruh stakeholder yang terlibat dalam pendidikan. Selama ini, dinas pendidikan tidak pernahmelibatkan PGRI, BMPS, Dewan Pendidikan, LPTK (Stain, STKIP, FKIP), dalam merancang pendidikan yang ada di Kalbar. Ia menyarankan, sebaiknya setiap triwulan dina pendidikan Kalbar mengadakan pertemuan dengan stakeholder, guna membahas masalah pendidikan yang ada. “Jika semua stick holder ini melakukan pertemuan untuk membahas berbagai permasalahan dalam pendidikan, kemungkinan masalah rendahnya mutu pendidikan diKalbar dapat teratasi,” pungkas Hatta yang juga menjabat sebagai kepala SD Muhammadiyah.Permasalahan lainnya, pemprov kurang menghargai pendidik dan siswa yang berprestasi. Dengan penghargaan yang diberikan pemerintah, apakah itu berupa piagam, hadiah atau sejenisnya, dapat menimbulkan motivasi, baik bagi siswa, guru maupun sekolah untuk berlomba-lomba meningkatkan prestasinya.“Salah satu contoh, jika melihat kabupaten Sambas yang memberikan reword bagi siswa yang berprestasi, hal tersebut tentunya memberikan motivasi bagi siswa untukberlomba-lomba meningkatkan prestasinya. Di Kota Pontianak yang menjadi barometer pendidikan di Kalbar, sama sekali belum pernah berpikiran untuk arah itu”kata dia.Dalam kesempatan ini, Hatta mengimbau kepada pemerintah agar dapat konsisten untuk memenuhi peraturan dalam UUD 1945 khususnya dalam pemenuhananggaran pendidikan. “Jika ingin meningkatkan mutu pendidikan daerah ini, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan harus dipenuhi. Termasukdukungan dana dari APBD. Jika selama ini pemda hanya mengharapkan APBN, namun kurang meningkatkan anggaran pendidikan dalam APBD. Untuk itu, jika pemda Kalbarmau memperbaiki mutu pendidikan, diharapkan dapat lebih memperhatikan permasalahan yang ada dan segera melakukan tindakan,” imbau Hatta.Sementara itu, Ketua Komisi D DPRD Kota Pontianak, Firdaus Zar’in, saat dimintai keterangannya mengatakan, usaha yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan Kalbar, sudah cukup banyak. Sebut saja misalnya, pengembangan kurikulum, peningkatan kompetensi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, penyediaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, juga peningkatan kualitas manajemen sekolah. Hanya saja semua itu, masih dirasakan belum maksimal.Anggota legislatif yang paling vokal dengan permasalahan pendidikan ini mengungkapkan, untuk kota Pontianak sendiri, anggaran pendidikan terus mengalamipeningkatan setiap tahunnya. Meski belum mencapai 20 persen, untuk tahun 2008, anggaran pendidikan kota Pontianak telah mencapai 14 persen. Meski anggarantersebut, jauh dari 20 persen namun upaya peningkatan anggaran pendidikan telah ada.“Untuk mencapai kekurangan tersebut, baik pemerintah kota maupun provinsi memang harus menambah anggaran pendidikannya. Jika ingin memperbaiki mutu pendidikanyang ada, maka harus ada upaya untuk mencapainya,” papar dia.■