Rabu, 09 April 2008

PGRI KKR Konferda ke-1

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Konferensi Daerah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Kubu Raya (KKR) menjadi sejarah baru bagi PGRI. Karena mesti kabupaten baru dan Konferensi yang pertama tapi berhasil memilih ketua yang berasal dari guru sebagai jabatan fungsional.
“Ini sejarah baru yang belum pernah terjadi. Di kabupaten baru, PGRI-nya juga baru tapi kita telah berhasil memilih ketua PGRI KKR yang bukan berasal dari pejabat struktural Dinas Pendidikan,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olahraga, Sunardi, Kamis (3/4) usai Konferda di Gedung Jambrut.
Ia mengatakan walau berasal dari pejabat struktural tapi pihaknya sangat mendukung jika ketua PGRI dari guru. Sudah saatnya PGRI sebagai organisasi profesi guru diurus oleh guru. Karena jika PGRI masih diurus orang-orang yang berasal dari pejabat struktural Dinas Pendidikan. Maka PGRI akan sulit memperjuangkan hak-hak guru. Pengalaman tahun-tahun sebelumnya, kepala PGRI malah bukan dari kalangan Guru, melainkan dari birokrat. Akibatnya, organisasi ini tidak dapat berkembang, bahkan terkesan mandul. Orang tersebut hanya menjadikan PGRI sebagai kepentingan praktis untuk tujuan politik
”Bagi saya tidak masalah ketua PGRI KKR ini berasal dari guru atau dari pejabat struktural Dinas Pendidikan yang terpenting dapat mengakomodir aspirasi seluruh anggotanya dan sanggup melanjutkan perjuangan-perjuangan PGRI untuk pendidikan,” ungkapnya.
Ketua Terpilih PGRI KKR, Iskandar mengatakan akan mengembalikan fungsi PGRI sebagai organisasi Guru yang independent. Selama ini dalam tubuh PGRI sudah terindikasi banyak kepentingan politik.
”Karena itu, saya akan membawa PGRI untuk tidak terlibat dalam politik praktis, berupaya menyatukan seluruh guru agar terlibat dalam PGRI, memperjuangkan aspirasi dan hak-hak guru terutama untuk kesejahteraan. Kita akan terus mendesak pemerintah KKR untuk memberikan tunjangan-tunjangan fungsional untuk kesejahteraan guru dan mendukung kerja-kerja Dinas Pendidikan KKR meningkatkan kualitas pendidikan,” jelasnya.
Program sertifikasi guru menjadi program utama pengurus PGRI KKR periode 2008-2012.
Ketua panitia Konferda PGRI KKR, Usman berharap figur terpilih berbuat banyak untuk guru. Dan mampu merangkul seluruh kepentingan PGRI di 9 kecamatan yang ada di KKR.
Apalagi saat ini KKR menjadi kabupaten yang primadona, PGRI KKR harus mengambil bagian dalam menjalankan fungsinya. Salah satu caranya dengan melaksanakan fungsi PGRI yang sebenarnya. Kepala PGRI terpilih harus mampu mengembalikan fungsi sesuai dengan pasal 41 UU Nomor 14 tahun 2005, tentang guru dan dosen. Dalam pasal tersebut, terdapat aturan tentang pengelolaan PGRI yang independent yang bertugas memajukan profesi guru, meningkatkan kompetensi guru, perlindungan profesi, peningkatan kesejahteraan dan pengabdian kepada masyarakat. Dari UU tersebut, sudah sangat jelas, tidak tercantum adanya kalimat yang mengatakan PGRI sebagai kendaraan politik.
”Siapa lagi yang dapat memahami guru, kalau bukan guru itu sendiri,” ujarnya.
Dari hasil Konferda, Iskandar memperoleh suara terbanyak yaitu 48 suara dari 159 suara.


Pusat Perbukuan Depdiknas Gelar Sayembara PNBP 2008

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Rendahnya motivasi guru di Kalbar menulis, terutama karya tulis ilmiah menjadi keprihatinan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Karena itu lembaga tersebut bekerja sama dengan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Kalbar melakukan sosialisasi sayembara penulisan naskah buku pengayaan 2008.
“Minat guru untuk menulis di Kalbar sangat kecil sekali, bayangkan saja setiap ada perlombaan karya tulis ilmiah, tidak sampai 10 orang se Kalbar yang mengirimkan naskah ke Pusat Perbukuan,” kata Kepala LPMP Kalbar, Abdul Hadi, Rabu (2/4) usai pembukaan acara.
Dampaknya di Kalbar sulit untuk naik pangkat. Syarat naik pangkat dari golongan IV A ke golongan IV B yaitu membuat karya tulis ilmiah. Dari data LPMP Kalbar, dari 7873 orang guru golongan IV A di Kalbar baru 30 orang yang bisa naik pangkat ke golongan IV B. Karya tulis yang mereka buat tidak sesuai bidang keahliannya dalam mengajar. Misalnya guru matematika tidak membuat karya tulis ilmiah tentang matematika.
Rendahnya jumlah keikutsertaan guru dalam berbagai perlombaan menulis, bisa karena kurangnya sosialisasi atau karena memang guru tidak dapat menulis karya ilmiah. Karena itu tujuan sosialisasi ini untuk membekali dan memotivasi para guru agar mau dan mampu menulis untuk mengembangkan profesionalismenya.
“Kita juga akan membantu Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional untuk mensosialisasikan sayembara ini ke seluruh sekolah yang ada di Kalbar,” ungkapnya.
Kegiatan ini juga wahana mengembangkan minat penelitian guru sehingga terwujud sosok guru yang berkompeten dengan mengajar sekaligus memiliki wawasan penelitian ilmiah yang memadai. Ini sangat diperlukan guru dalam rangka membimbing anak didik.
Hartami dari Pusat Perbukuan Depdiknas yang menjadi nara sumber sosialisasi mengatakan naskah yang disayembarakan adalah buku pengayaan. Yaitu buku yang memuat materi yang dapat memperkaya pengetahuan, pengembangan keterampilan dan membentuk kepribadian yang positif peserta didik untuk jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA.
Dibedakan dua kelompok yaitu fiksi dan nonfiksi. Naskah fiksi, naskah yang diciptakan terutama berdasarkan kreativitas dan imajinasi. Kelompok ini dibedakan tiga jenis, pertama prosa, berupa novel dan kumpulan cerpen. Kedua kumpulan puisi dan ketiga drama. Naskah nonfiksi berisi hasil observasi secara langsung atau melalui studi perpustakaan. Kelompok nonfiksi ada tiga juga. Pertama pengayaan pengetahuan alam, kedua pengayaan pengetahuan sosial dan ketiga pengayaan keterampilan.
Peserta adalah tenaga kependidikan baik yang masih aktif maupun pensiunan. Untuk informasi lebih lanjut tentang sayembara ini dapat menghubungi Pusat Perbukuan Depdiknas, Jalan Gunung Sahari Raya No 4 Jakarta Pusat, telpon (021)3804248 pesawat 275, Fax. (021) 3806229, atau melalui situs internet www.sibi.or.id , e-mail : pusbuk@sibi.or.id


Konfercab PGRI Kecamatan Pontianak Selatan Sukses

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Pengurus PGRI Kecamatan Pontianak Selatan sukses menyelenggarakan Konferensi Cabang (Konfercab), Senin (31/3) kemarin. Kegiatan dihadiri 250 guru dari TK, SD, SMP dan SMA.
Mantan Ketua Pengurus Cabang (PC) PGRI Kecamatan Pontianak Selatan, Syarial mengatakan kegiatan Konfercab mestinya dilaksanakan akhir November 2007. Tapi karena ada beberapa kendala, terutama kesibukan pengurus yang begitu padat sehingga baru bisa dilaksanakan saat ini.
“Selain menyampaikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) pengurus periode 2002-2007 juga dilakukan pemilihan PC PGRI kecamatan Pontianak Selatan,” katanya.
Ketua PGRI Kota Pontianak, Hatta Abduhaji mengatakan selain LPJ pengurus PGRI kecamatan Pontianak Selatan dan pemilihan pengurus baru, PGRI Kota Pontianak juga memberikan tugas pada PGRI Kecamatan Pontianak Selatan untuk membentuk PC PGRI Kecamatan Pontianak Tenggara.
Kegiatan Konfercab ini sangat penting bagi PGRI karena PC PGRI tingkat kecamatan menjadi ujung tombak perjuangan PGRI yang langsung berhubungan dengan anggotanya.
“Jadi saat para anggota PGRI ingin menyampaikan aspirasinya, maka mesti berhubungan langsung dengan PC PGRI tingkat kecamatan di mana guru tersebut menjadi anggota,” ujarnya.
Sampai saat ini, dari 5 PC PGRI tingkat kecamatan di kota Pontianak, 3 PC PGRI yang sudah melaksanakan Konfercab. Sedangkan untuk PC PGRI Kecamatan Pontianak Kota dan Pontianak Timur belum.
Karena itu pengurus PGRI Kota Pontianak memberikan batas waktu sampai 19 April mendatang kepada para PC PGRI di kedua kecamatan tersebut untuk segera melaksanakan Konfercab. Jika sampai batas waktu tersebut, tidak dilaksanakan maka pengurus PGRI Kota Pontianak akan mengambil alih.
Meski melalui perhelatan panjang, akhir kegiatan Konfercab kemarin berhasil memilih pengurus baru. Untuk PGRI Kecamatan Pontianak Selatan yang terpilih menjadi ketua yaitu Agus Tribowo, dari SMA Santo Petrus dan wakil ketua Sih Farmawati, Kepala SMTI Kota Pontianak sedangkan sekertarisnya Rahmani Mansyur, Kepala SDN 17 Pontianak Selatan.
Kepengurusan PGRI Kecamatan Pontianak Tenggara, baru dibentuk tim formatur yang berjumlah 7 orang diketuai oleh Ketua PGRI Kota Pontianak.
”Dua minggu ke depan, PC PGRI Kecamatan Pontianak Tenggara sudah akan kita tetapkan. Jumlahnya 15 orang sama dengan PC PGRI Kecamatan Pontianak Selatan,” kata Hatta.
Nantinya, lanjut Hatta para pengurus cabang diberi waktu satu bulan untuk membuat program kerja pengurus yang akan dibahas dengan anggota dalam rapat kerja pengurus (Raker).
Hatta berharap kepengurusan PGRI ke depan semuanya berasal dari para guru bukan lagi dijabat oleh pejabat struktural di tingkat Dinas Pendidikan. Sampai saat ini baru dua PC PGRI Kabupaten dan Kota yang pengurusnya berasal dari guru yaitu PGRI Kota Pontianak dan PGRI Kabupaten Sambas.


Musrembang Diknas Kalbar Digelar Hari Ini

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Musyawarah Perencanaan dan Pengembangan (Musrembang) Dinas Pendidikan Kalbar dilaksanakan hari ini. Jika tahun-tahun sebelumnya Musrembang bidang pendidikan di tingkat provinsi dilaksanakan bersama dengan Dinas-dinas lain. Tapi mulai tahun ini Musrembang Dinas Pendidikan Kalbar dilakukan sendiri. Demikian dikatakan Kepala Dinas Pendidikan Kalbar, Ngatman, Selasa (1/4).
”Kegiatan Musrembang ini untuk mengevaluasi program-program yang sudah disusun dan pencapaian hasilnya untuk seluruh Dinas Pendidikan Kabupaten dan Kota yang ada di Kalbar,” katanya.
Program-program yang selama ini sudah disusun oleh Dinas Pendidikan Kabupaten dan Kota seperti program perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh akses pendidikan bagi masyarakat. Akan dievaluasi sejauh mana keberhasilannya, apa kendala yang dihadapi masing-masing kabupaten dan kota. Semua kabupaten dan kota akan memberikan evaluasi dan masukan ke Dinas Pendidikan Kalbar. Tiap kabupaten dan kota diminta memberikan penjelasannya tentang perkembangan angka partisipasi kasar di daerahnya, program-program rehab sekolah, usulan bangunan sekolah baru dan formasi guru yang diperlukan. Sehingga Dinas Pendidikan dapat membuat perencanaan dan pengembangan untuk tahun ini.
“Apa saja yang harus direncanakan kedepannya, apa yang harus ditargetkan. Semua akan dibicarakan dalam Musrembang,” ujar Ngatman.
Diknas Kalbar minta penjelasan Departemen Agama tentang perkembangan sekolah Madrasah dan sekolah keagamaan non Islam.
Selain itu Dinas Pendidikan mengundang institusi-instusi yang berhubungan dengan pendidikan seperti Bapeda, DPRD dan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang ada di Kalbar untuk sama-sama membicarakan perencanaan dan pengembangan pendidikan Kalbar kedepannya.
Misalnya dengan LPTK FKIP, Diknas Kalbar ingin mengetahui bagaimana dengan ketersediaan lulusan FKIP yang siap menjadi guru. Karena jika semua pihak ingin pendidikan di Kalbar maju dan berkualitas. Maka persoalan kekurangan tenaga guru dan rendahnya kualitas guru harus diatasi.
“Guru merupakan faktor penentu bagi buruk baiknya kualitas pendidikan selain sarana prasarana dan kesejahteraan guru,” jelasnya.
Seluruh stakeholder pendidikan harus saling mendukung dan bekerja sama untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Kalbar. Caranya semua pihak jangan hanya bisa mengoreksi kinerja pihak lain. Tapi mesti instropeksi ke dalam dirinya, apakah sudah benar-benar memberikan perhatian yang besar bagi dunia pendidikan di Kalbar. Dan yang terpenting, mari duduk bersama untuk membuat perencanaan dan pengembangan pendidikan di Kalbar. Agar visi, misi dan program untuk pendidikan di Kalbar dapat dipikirkan bersama dan dikerjakan bersama.
“Mari masing-masing institusi pendidikan di Kalbar harus menata diri dan menyatukan langkah untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Kalbar,” ajaknya.


Standar Kelulusan SD/Sederajat di Kalbar akan diturunkan

Tantra Nur AndiBorneo Tribune, Pontianak
Nilai standar kelulusan siswa SD/Madrasah Ibtidaiyah dan SDLB di Kalimantan Barat akan diturunkan untuk menyesuaikan bobot soal pada ujian nasional yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan ujian akhir sekolah (UAS).Menurut Kepala Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Kalbar, Ngatman di Pontianak, Selasa (27/11), pertimbangan lain karena masih terbatasnya kondisi pendidikan di Kalbar seperti jumlah guru, sarana pendidikan, infrastruktur belum menyeluruh, rasio elektrisitas yang rendah."Dengan keterbatasan yang ada, kemungkinan nilai standar kelulusan siswa SD dan sederajat akan diturunkan dari sebelumnya rata-rata enam menjadi 4,5 atau 5,5," kata Ngatman. Ujian nasional untuk siswa SD dan sederajat meliputi tiga mata pelajaran yakni Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.Nilai kelulusan diserahkan ke pihak sekolah sementara pemerintah menyiapkan materi ujian. "Sekolah yang mengetahui kemampuan siswanya. Bisa saja nilai standar kelulusan di Kota Pontianak berbeda dengan Kapuas Hulu," katanya. Ngatman menambahkan, meski nilai standar kelulusan diturunkan namun tidak menunjukkan penurunan kualitas pendidikan."Karena sebagian soal yakni sekitar 25 persen dibuat oleh Pusat dan sisanya provinsi. Untuk soal yang dibuat provinsi juga harus memenuhi syarat yang ditetapkan sehingga soalnya akan lebih berbobot," katanya. Selain itu, untuk mengurangi kemungkinan tingginya angka siswa yang tidak memenuhi batas minimal nilai kelulusan, pengumuman hasil ujian akan dilakukan setelah nilai dari soal yang dibuat Pusat diketahui.Sedangkan terhadap pihak SMP dan sederajat, Ngatman mengharapkan dapat menampung lulusan SD dan sederajat meski nilai ujian siswa tidak seperti tahun sebelumnya. "Kecuali kalau sekolah itu diminati banyak lulusan SD, perlu diseleksi karena pertimbangan daya tampung," kata Ngatman. Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Prof Djemari Mardapi didampingi Kepala Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Balitbang Depdiknas, Burhanuddin Tola beberapa waktu lalu di Jakarta menyatakan bahwa ujian nasional siswa SD/sederajat akan dilaksanakan secara terintegrasi dengan UAS untuk SD/MI dan SDLB. Ujian nasional yang terintegrasi dengan ujian sekolah/madrasah (UNTUS) ini dilaksanakan satu kali pada minggu ketiga Mei 2008."Kriteria kelulusan UNTUS ditetapkan oleh setiap sekolah/madrasah. Kriteria itu ditetapkan melalui rapat dewan guru dengan mempertimbangkan nilai minimum setiap mata pelajaran yang diujikan dan nilai rata-rata ketiga mata pelajaran yang diujikan," kata Prof Djemari. Selain itu, sekolah juga diminta memperhatikan nilai sehari-sehari, perilaku dan akhlak siswa sehingga hasil ujian nasional tersebut tidak semata-mata diperoleh dari ujian saja, katanya.UNTUS tahun pelajaran 2007/2008 akan diikuti sekitar 5, 2 juta peserta yang berasal dari 184 ribu SD/MI/SDLB dan pada akhir kelulusan siswa akan menerima Surat Keterangan Hasil UNTUS yang diterbitkan oleh sekolah/madrasah


Rabu, 02 April 2008

Kekerasan pada Anak Masih Tinggi

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Kekerasan ibu terhadap anak masih tinggi saat ini. Hal itu dikarenakan semakin sulitnya kondisi ekonomi yang terjadi sekarang ini, sehingga membuat orang semakin stres dan tertekan. Akibatnya, ibu melampiaskan kekesalannya pada anak. Peneliti Untan, Ira Lestari, mengemukakan hal itu, Selasa (1/4).

Menurutnya, sekarang ini mengasuh anak bukan pekerjaan gampang. Apalagi dengan kemajuan teknologi informasi, dimana orang semakin mudah mengakses informasi, termasuk anak-anak. Mereka jadi semakin kritis menghadapi permasalahan di sekelilingnya.

Belum lagi persoalan hidup yang semakin kompleks, dan keadaan ekonomi makin sulit, membuat banyak ibu yang stres dan tertekan. Sehingga tanpa disadari, mereka melakukan tindak kekerasan terhadap anaknya, sebagai pelampiasan. Tindak kekerasan terhadap anak cenderung meningkat dari tahun-ke tahun.

“Yang menyedihkan kekerasan pada anak beberapa di antaranya berakhir pada kematian sang anak,” kata Ira.

Ia mengatakan, pelakunya tidak jauh, tapi orang terdekat, yaitu orang tua. 80 persen kekerasan dilakukan oleh ibu. Fenomena ini seperti gunung es, banyak yang belum terungkap. Banyak kasus yang sengaja dirahasiakan karena dianggap aib oleh korban, keluarga dan masyarakat.

Kekerasan pada anak tidak lepas dari pandangan yang salah tentang anak. Seolah-olah anak hak milik orang tua. Karena itu, atas nama pendidikan, disiplin dan masa depan, anak boleh diperlakukan apa saja.

Kekerasan itu, tentu berdampak buruk bagi perkembangan anak. Ada keyakinan bahwa anak yang sehat pun, tidak bisa mencapai perkembangan optimal, jika sering mengalami kekerasan.

Mantan menteri pemberdayaan perempuan, Khofifah Indar Parawangsa pernah mengatakan, tindak kekerasan yang dialami perempuan, sekitar 24 juta atau 11,4 persen dari total penduduk Indonesia, yang mengalami tidak kekerasan.
“Penyebab timbulnya kekerasan pada anak disebabkan masalah kemiskinan, gangguan mental, keretakan hubungan sosial yang dialami keluarga dan berbagai bentuk penyimpangan perilaku yang diabaikan oleh masalah psikologi sosial,” ujarnya.

Peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga, disebabkan mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat, melaporkan kasus yang terjadi di lingkungannya. Namun, banyak kasus yang telah dilaporkan ke pihak berwajib dicabut kembali. Penyebabnya, masih ada budaya berkembang di masyarakat, bahwa melaporkan kasus KDRT merupakan aib keluarga.
Tingkat pendidikan yang rendah, serta kurangnya informasi tentang Undang-undang PKDRT, sehingga korban menganggap kasus-kasus KDRT akan berakhir pada perceraian.

Menurut Ira, ada beberapa faktor untuk meningkatkan kualitas hubungan orang tua dan anak, yaitu secara fisik berdekatan dengan anak. Adanya kontak mata. Belaian dan komunikasi lisan.

Ada beberapa faktor yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan mental anak. Pertama, orang tua bersikap terlalu perhatian, akan mengakibatkan anak menjadi tidak mandiri atau selalu tergantung pada orang tuanya. Bahkan, ada yang menjadi anak pemberontak, karena ingin hidup bebas dari perhatian orang tua. Kedua, orang tua bersikap terlalu peduli, akan menyebabkan anak melakukan hal-hal yang negatif dengan tujuan ingin mendapat perhatian orang tuanya. Ketiga, depresi pada orang tua menyebabkan orang tua bersikap tidak bijak terhadap kelakuan anak. Misalnya mudah marah, mudah tersinggung dan melakukan kekerasan terhadap anak.

Orang tua yang ideal mempunyai kesabaran, toleransi, pengertian dan flexibilities dalam membimbing anak. Diungkapkan Ira, menurut psikologi Patricia Lalitha, ada sepuluh kesalahan umum yang dibuat orang tua dalam mendisiplinkan anak, yaitu membentak, menuntut tindakan segera, mengomel, menggurui, memaksa, marah berlebihan, meremehkan atau memberi cap, menjebak dan mencari kambing hitam.

Ira Lestari dan Eny Enawaty, melakukan penelitian studi kasus tindak kekerasan ibu terhadap anak dalam rumah tangga di Kota Pontianak. Mereka melakukannya pada 50 responden dari siswa TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Masing-masing 10 responden.

Jawaban dari responden diketahui, bentuk kekerasan yang terjadi di Kota Pontianak, sebagai besar kekerasan fisik dan psikis, yaitu marah dan memukul dengan tangan. Akibat tindak kekerasan psikis tersebut, mereka menjadi takut pada ibunya, dan kurang percaya diri. Sedangkan kekerasan fisik membuat membuat mereka agak benci dan kesal sama ibunya.

“Apa yang ibu mereka lakukan waktu kecil mereka teringat sampai mereka dewasa. Sehingga mereka sulit berkomunikasi dengan ibunya terutama anak laki-laki,” paparnya.

Eny Enawaty menambahkan, berdasarkan data responden yang diperoleh, mereka yang dimarahi umumnya karena nakal dan tidak menurut kehendak orang tua. Ibu yang melakukan tindak kekerasan fisik, umumnya berpendidikan rendah. Ada yang tidak tamat SD, atau tamat SD. Sedangkan ibu yang tidak melakukan tindak kekerasan, umumnya berpendidikan lebih tinggi, minimal SMP bahkan ada yang perguruan tinggi.

Dari hasil wawancara para responden ditemukan, umumnya yang melakukan tindak kekerasan dengan fisik, mereka yang ekonominya menengah kebawah. Sedangkan mereka yang ekonominya menengah dan tinggi jarang yang melakukan tindak kekerasan fisik.
“Untuk itu, pemerintah perlu meningkatkan pemberdayaan ekonomi rumah tangga,” katanya.

Jumlah anak dalam keluarga juga memengaruhi tindak kekerasan yang dilakukan ibu. Rata-rata keluarga yang memiliki anak lebih dari 2, sering melakukan tindak kekerasan dengan marah dan pukul.

Menurut Eny, dari hasil observasinya, ada bermacam sikap orang tua yang keliru. Orang tua yang selalu khawatir dan melindungi. Anak yang diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang dan selalu dilindungi, akan tumbuh menjadi anak penakut, tidak mempunyai kepercayaan diri dan sulit mandiri. Untuk mengatasi akibat tersebut, si anak suka berontak dan berbuat sesuatu yang sangat dikhawatirkan dan dilarang orang tua.

Ada orang tua yang terlalu menuntut. Misalnya, dileskan bahasa Inggris, matematika dan IPA. Bila anak tidak mau akan terjadi pemaksaan orang tua yang berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak. Seperti, sering dimarahi dulu sebelum pergi les.
Orang tua terlalu keras. Anak yang diperlakukan demikian, cenderung tumbuh dan berkembang menjadi anak penurut, namun penakut. Anak menjadi kurang mandiri, misalnya ke mana-mana sering minta ditemani. Hal ini membuat ibu kadang-kadang kesal yang berakibatkan marah dan ada yang berakhir dengan memukul.

Bagi Eny, cara untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan ibu terhadap anak dalam keluarga, dengan memperluas pendidikan dan pengetahuan orang tua, khususnya ibu. “Harus membangun keluarga yang demokratis dan membangun komunikasi yang efektif dalam keluarga,” kata Eny.□


Belajar Bahasa Indonesia yang Menyenangkan

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Pengembangan media sangat diperlukan untuk mengembangkan pembelajaran bahasa Indonesia. Media yang perlu digunakan untuk pengembangan pelajaran bahasa Indonesia yaitu media pandang–dengar (audio visual) seperti kamera, poster, gambar, OHP, slide.
“Dengan mengembangkan media pandang-dengar dalam pembelajaran bahasa Indonesia ada tiga aspek yang dapat diamati, yaitu sikap mental, kemampuan mengemukakan pendapat dengan penalaran atau logika yang logis dan penggunaan bahasa yang kreatif,” kata peneliti Untan, Nanang Heryana, Senin (1/4).
Menurut Nanang, dari hasil kajian penelitiannya sikap mental dalam berbicara merupakan unsur kejiwaan pembicara dalam mempengaruhi baik atau tidaknya pembicara saat berbicara. Unsur kejiwaan ini dibedakan atas rasa komunikasi, rasa humor, dan rasa percaya diri.
Sedangkan penalaran merupakan proses berpikir dalam menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan. Penalaran atau kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran. Saat bicara, penalaran sangatlah penting agar kegiatan berbicara dapat berjalan secara efektif dan komunikatif.
Kreativitas dalam kegiatan berbicara di depan umum juga sangatlah penting. Pembicara tidak cukup hanya menyampaikan fakta atau informasi tapi bagaimana caranya agar fakta atau informasi tersebut sampai pada pendengar. Dan disampaikan dengan menarik, tidak membosankan.
“Pembicara diharapkan dapat kreatif, missal mengeluarkan joke-joke segar, memberikan contoh-contoh,” ungkapnya.
Dikatakan Nanang ada tiga langkah pokok yang perlu diperhatikan dalam pengembangan media, yaitu mengaitkan pengembangan media dengan karakteristik pembelajaran, tujuan dan materi pembelajaran, mengaitkan kegiatan pada langkah pertama dengan kegiatan belajar mengajar, menyeleksi alat Bantu mengajar yang selaras dengan kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan.
Dari hasil penelitian Nanang Heryana dan Laurensius Salem di SMA Katolik Gembala Baik Pontianak. Untuk mengetahui layak tidaknya media terutama audio visual dilakukan uji coba pada pembicara. Dan hasil uji coba yang dilakukan pembicara dari guru SMA Katolik Gembala Baik Pontianak, Donata Simu menyatakan media yang dibuat dinyatakan sesuai dengan pembelajaran bahasa Indonesia.
Tapi Donata Simu masih meragukan apakah media tersebut dapat meningkatkan mental positif siswa dan meningkatkan logika berbicara. Ia juga berpendapat media audio visual yang digunakan dapat meningkatkan kreativitas siswa dalam berbicara khususnya dalam menggunakan bahasa.
“Karena siswa dapat meniru para tokoh dalam mengolah bahasa dan media cukup menarik untuk digunakan sebagai media dalam pembelajaran keterampilan berbicara,” jelasnya.
Diungkapkan Nanang, dari 42 siswa yang dimintai pendapat tentang media yang digunakan ternyata 41 siswa atau 97,61 persen menyatakan sesuai dengan materi atau mata pelajaran yang sedang dipelajari dan hanya 1 siswa atau 2,39 persen menyatakan kurang sesuai dengan mata pelajaran yang sedang dipelajari.
Dari 42 siswa itu, diketahui bahwa 14 siswa 33,33 persen menyatakan dapat meningkatkan sikap mental positif. Ada 24 siswa 57,14 persen menyatakan cukup. Artinya cukup dapat meningkatkan sikap mental positif. Dan 4 siswa 9,52 persen menyatakan kurang dapat meningkatkan mental positif.
Saat ditanya, sebagian besar menjawab cukup atau kurang yakin dapat meningkatkan sikap mental mereka.
26 orang atau 61,90 persen menyatakan media dapat meningkatkan logika berbicara. Sedangkan dalam hal meningkatkan kreativitas dalam menggunakan bahasa. Hanya 4 siswa 9,52 persen menjawab yakin media dapat meningkatkan kreativitas dalam mengunakan bahasa. Sebagian besar, 37 siswa atau 88,09 persen menyatakan media hanya cukup meningkatkan kreativitas menggunakan bahasa. Sedangkan para guru berpendapat melihat penampilan para pembicara seharusnya para siswa dapat meniru bagaimana cara mengolah bahasa. Misalnya kadang berbicara keras, kadang lembut dan seterusnya.
31 siswa dari 42 responden menyatakan media tersebut menarik, 10 siswa menyatakan media cukup menarik dan 1 orang menyatakan kurang menarik. Alasan siswa menyatakan menarik karena selama ini guru yang mengajarkan keterampilan berbicara tidak pernah menggunakan media audio visual.
”Penggunaan media audio visual menurut para siswa lebih menarik dibandingkan dengan penggunaan media audio yang berupa tape recorder,” katanya.