Rabu, 26 Maret 2008

Berikan Pemahaman yang Benar Soal Gender

Tantra Nur AndiBorneo Tribune, Pontianak.
Isu gender merupakan isu yang relatif baru bagi masyarakat, sehingga sering kali menimbulkan berbagai menafsirkan dan tanggapan yang kurang tepat tentang gender. Pemahaman mengenai gender menjadi sesuatu yang sangat penting. Artinya, bagi semua kalangan, baik dalam pemerintahan, swasta, masyarakat maupun keluarga.
Melalui pemahaman yang benar mengenai gender, diskriminasi perlakuan terhadap perempuan dapat diperkecil. Sehingga perempuan dapat memanfaatkan kesempatan dan peluang yang diberikan, untuk berperan lebih besar dalam berbagai aspek kehidupan. Demikian diungkapkan Ketua Lembaga Pemberdayaan Hati Nurani Rakyat, Tuti Hanurita Sabtu (8/3) di ruang kerjanya.
Dikatakannya, sering kali gender disamaartikan dengan seks. Yaitu, jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Sehingga peran dan tanggung jawabnya juga dibedakan sesuai jenis kelamin ini.
Sebenarnya gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial. Kebiasaan yang tumbuh dan disepakati dalam masyarakat dan dapat diubah sesuai perkembangan zaman. Sementara seks adalah perbedaan organ biologis antara laki-laki dan perempuan, terutama pada bagian-bagian reproduksi.
“Gender bukan kodrat atau ketentuan Tuhan, sehingga gender berkaitan dengan proses keyakinan, bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai, ketentuan social dan budaya masyarakatnya. Sedangkan Seks merupakan kodrat Tuhan, sehingga tidak dapat ditukar atau diubah,” ujarnya.
Menurut Laily, implikasi dari perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terletak pada sifat dan karakter. Kalau perempuan dianggap memiliki sifat dan karakter yang lemah-lembutnya, penurut, emosional, tidak pintar irasional dan pasif. Sedangkan laki-laki dianggap memiliki karakter yang kuat, rasional, aktif mengambil keputusan dan bersifat memimpin.
Selama ini, ada lima ketidakadilan gender. Pertama, marjinalisasi perempuan, seperti upah perempuan lebih kecil. Izin usaha perempuan harus diketahui ayah/suami. Permohonan kredit harus seizin suami. Pembatasan kesempatan dalam pekerjaan terhadap perempuan. Kemajuan teknologi industri meminggirkan peran serta perempuan. Kedua, subordinasi (penomorduaan). Seperti, perempuan sebagai “konco wingking” (teman belakang). Hak kawin perempuan dinomorduakan.

Bagian warisan untuk perempuan lebih kecil. Perempuan dinomor duakan dalam peluang di bidang politik, jabatan, karir dan pendidikan. Ketiga, perempuan memiliki beban ganda. Contohnya, perempuan bekerja di luar dan di dalam rumah. Perempuan sebagai perawat dan pendidik anak, sekaligus pendamping suami dan pencari nafkah tambahan. Perempuan pencari nafkah utama dan mengurus rumah tangga. Keempat, kekerasan terhadap perempuan. Seperti, eksploitasi terhadap perempuan. Pelecehan seksual terhadap perempuan. Perkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga.
“Terakhir adanya pelabelan negatif (citra baku/ stereotype) pada perempuan. Seperti, perempuan sama dengan sumur-dapur-dan kasur, perempuan sama dengan masak, berhias dan melahirkan,” ujarnya.

Lebih lanjut Laily mengungkapkan, kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan, untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia. Agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan seperti politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan keamanan nasional serta menikmati hasil pembangunan tersebut.
Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan, terutama terhadap perempuan. Sedangkan keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Ketidakadilan dirasakan sebagai diskriminasi yang menempatkan perempuan dalam status dibelakang kaum laki-laki, telah memacu kaum perempuan untuk berjuang memperbaiki status, peranan dan kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat. Penolakan terhadap masuknya perempuan dalam bidang profesi dan pekerjaan, lebih disebabkan karena dia seorang perempuan, bukan karena kemampuannya yang kurang dari kaum laki-laki.
Kondisi semacam ini terjadi karena adanya citra baku (stereotype) mengenai perempuan dan laki-laki. Masyarakat menempatkan perempuan lebih banyak kepada peran dalam sektor domestik (rumah tangga) dan laki-laki bekerja di sektor publik yang produktif (bukan reproduktif), untuk menopang ekonomi rumah tangga. Karena pembakuan peran inilah, maka laki-laki lebih diutamakan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan dibandingkan kaum perempuan.
”Keadilan dan kesetaraan gender dapat dipenuhi jika undang-undang dan hukum menjamin. Problem sekarang adalah tidak adanya jaminan dari negara untuk memperoleh kebebasan setiap insan, tumbuh secara maksmal. Relasi gender tidak semata lahir dari kesadaran individu, tetapi juga bergantung pada faktor ekonomi, sosial dan lingkungan yang sehat dan dinamis,” ungkapnya.
Dikatakannya juga, gender di era global berkaitan dengan kesadaran, tanggung jawab laki-laki, pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan termasuk hak reproduksi. Tantangan yang dihadapi adalah, bagaimana menghubungkan semua konsep gender untuk tujuan kesehatan dan kesejahteraan bersama.
Pendirian gender perlu diterjemahkan dalam aksi nyata berupa gerakan pembebasan yang bertanggung jawab. Mendorong laki-laki dan perempuan untuk mengubah tradisi pencerahan, yaitu sikap yang didasarkan pada akal, alam, manusia, agar diperoleh persamaan, kebebasan dan kemajuan bersama, tanpa membedakan jenis kelamin.■


0 komentar: