Rabu, 26 Maret 2008

*Mempertahankan Hutan Adat

Masuknya Perambah Hutan

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Kapuas Hulu
Cerita ini bermula dari perusahaan HPH PT Bumi Uncak Selatan (PT BUS) yang mendapatkan konsesi penguasaan hutan. Konsesi diberikan melalui SK HPH/IUPHHK No. 17/2002, seluas 28.100 Ha pada 20 Februari 2002. Sejak itu, PT BUS beraktifitas mengeluarkan kayu di Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu.

Berbagai LSM yang peduli membentuk persekutuan, untuk merespons hal tersebut. Anggotanya terdiri dari Walhi, AMAN Kalbar, PPSDK, PPSHK, KAIL.

Melalui direktur Walhi, Saban, pada Selasa (19/2) mengatakan, dari hasil temuan invetigasi tim yang dibentuk, bahwa kehadiran perusahaan ini telah membawa dampak negatif bagi kehidupan sosial masyarakat. Konflik horisontal akibat adanya pihak yang pro dan kontra terhadap kehadiran perusahaan mulai terlihat. Kondisi ini mendorong masyarakat membentuk sebuah wadah yang berfungsi mengkonsolidasikan masyarakat. Tujuannya, mempertahankan hutan dan sumberdaya alam yang ada, terhadap serobotan perusahaan HPH.

Masuknya PT. BUS yang beroperasi tahun 2003, sejak dulu Bumi Uncak Kapuas (BUS), perusahaan penebang kayu ini, tidak diterima secara umum oleh masyarakat. Tapi, aktifitas perusahaan tetap jalan sendiri melalui jalur lain. Yaitu, dari wilayah Kecamatan Kayan Hilir, tepatnya di Sungai Keraya di wilayah Desa Sungai Buaya Kabupaten Sintang.

Sementara perusahaan PT. BUS masih beraktifitas dan mengeluarkan kayu, masyarakat mengadakan pertemuan di Perjuk yang dihadiri perwakilan dari Kampung Perjuk, Pengga Putih, Nanga Pengga dan Pelanjau. Pertemuan pada 14 Novemver 2003, dihadiri 18 orang. Hasil dari pertemuan tersebut, akan membentuk sebuah forum. Lalu ada kesepakatan mengadakan pertemuan lanjutan di Nanga Pengga.

Pada 3 Mei 2004, diadakan pertemuan di Kecamatan Silat Hulu. Perusahaan, PT BUS, mengadakan sosialisasi. Masyarakat hadir dan menyampaikan pernyataan, bahwa perusahaan dibolehkan beroperasi dengan syarat, memberikan fee sebesar 50 ribu setiap meter kubik kayu yang diproduksi. Selain itu, harus ada pembangunan sarana prasarana. Seperti, jalan antarkampung, air bersih, rumah ibadah, lapangan bola, penerangan dan fasilitas kendaraan yang dapat dimanfaatkan masyarakat.

Pada saat itu, pihak PT BUS tidak menyanggupi persyaratan yang diajukan masyarakat sepenuhnya. Perusahaan hanya menyanggupi fee sebesar 25 ribu. Pembuatan sarana jalan bakal dilakukan, apabila perusahaan hendak meninggalkan kampung yang bersangkutan. Karena itu, masyarakat menolak kehadiran PT. BUS.

Setelah sosialisasi yang dilakukan pihak perusahaan di kecamatan, pihak perusahaan melakukan pendekatan terhadap pengurus-pengurus kampung. Seperti, kepala desa, kepala dusun, serta pemuka masyarakat. Terjadilah kesimpangsiuran informasi. Ada yang mengisukan, bahwa sebagian besar masyarakat mau menerima kehadiran perusahaan. Ada juga isu, sebagian besar masyarakat menolak. Dengan demikian terjadilah silang pendapat yang sangat tajam, antara masyarakat yang menyatakan menerima dan menolak.

Pada 19 September 2004, sebanyak 48 orang menghadiri pertemuan. Mereka perwakilan masyarakat dari Kampung Riam Tapang, Bagan Baru, Selangkai, Landau Rantau, Nanga Suang, Merambang, Nanga Lungu, Gedabang, Perjuk, Selimu, Pengga Putih, Pelanjau, Nanga Pengga, dan Inggut.

Pertemuan bertujuan meluruskan informasi yang simpangsiur antara masyarakat, dan pembentukan forum secara organisatoris. Dalam pertemuan ini, semua utusan kampung menyatakan penolakan terhadap keberadaan dan aktifitas PT. BUS. Untuk menyalurkan aspirasi penolakan tersebut, disepakati membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Pinggir Hutan (FKMPH). Ketuanya, Ujang Sulaiman.

Melalui Forum ini, masyarakat adat Silat Hulu telah membuat pernyataan bersama secara tertulis. Isinya, menolak segala bentuk eksploitasi hutan. Pernyataan bersama itu dikirim ke berbagai instansi pemerintah. Surat ini ternyata berhasil menghentikan aktivitas PT. BUS. ”Dengan berhentinya aktivitas PT. BUS, untuk sementara masyarakat adat di Silat Hulu merasa aman,“ kata Saban.

10 Oktober 2004 di Nanga Pengga, terjadi pertemuan. Salah satu hasil keputusannya adalah surat pernyataan sikap, menolak keberadaan HPH PT. BUS. Pernyataan tertuang dalam surat bernomor 10/FKMPH/2004. Surat ditujukan kepada Dinas Kehutanan dan ke semua instansi terkait, termasuk ke perusahaan sendiri.

Tidak lama setelah surat pernyataan dikirimkan, aktifitas PT. BUS terhenti. Namun basecamp-nya tetap ada yang jaga, serta beberapa armada kendaraan alat beratnya masih di sana. Selang hampir 2 tahun tidak ada aktifitas perusahaan, tiba-tiba di akhir Nopember 2006, aktifitas perusahaan kembali dengan memasukkan beberapa alat berat. Seperti Dumptruck, Loggingtruck, dan Escavator baru. Jumlahnya ada beberapa unit.

Dengan alat itu, perusahaan langsung melakukan pembenahan jalan. Aktifitas lain, mereka juga mulai survey potensi kayu yang melibatkan beberapa masyarakat, tanpa melakukan sosialisasi ke kampung-kampung. Alasannya, sosialisasi sudah dilakukan pada masa PT BUS.

”Ternyata hasrat pihak luar untuk mengambil keuntungan tidak pernah berhenti,“ kata Saban.

Hal ini terbukti dengan masuknya perusahaan HPH baru, yaitu PT. Karya Rekanan Bina Bersama (KRBB), melalui SK 263 Menhut-11/2004, dengan luas areal 43.810 Ha. PT KRBB diduga merupakan kelanjutan dari PT. BUS. Karyawan yang ada, sama dengan karyawan PT BUS yang lalu, kata Saban.

Ketua FKPH, Ujang Sulaiman mengatakan, perusahaan KRBB mulai melakukan pembuatan jalan dan penebangan kayu, terutama untuk membuat jembatan. Masuknya perusahaan ini, jelas dipaksakan. Semua pihak, termasuk pihak pemerintah, sudah mengetahui kalau masyarakat adat di Silat Hulu, pasti menolak kehadiran perusahaan yang melakukan penebangan kayu di hutan adat mereka. Aktifitas pembangunan jalan juga melewati kebun karet masyarakat Dusun Pelanjau, tanpa pemberitahuan dan tanpa ganti rugi. Bahkan, tidak saja kebun tergusur, tetapi sebagian wilayah perkuburan, dan tanaman tumbuh milik masyarakat lainnya.

Ketika ada beberapa masyarakat Dusun Pelanjau dan Dusun Lubuk Besar mempertanyakan tentang status dan perizinan perusahaan, pihak perusahaan yang diwakili Humas, Bujang Arifin menjawab, bahwa masalah perizinan masyarakat tidak perlu tahu. Camat dan bupati saja tidak mempermasalahkannya, karena izin perusahaan adalah urusan pusat. “Jika ingin tahu tentang perusahaan, silakan tanya ke Jakarta,“ kata Ujang menirukan omongan Bujang Arifin.

Menanggapi beberapa kritik dan pertanyaan masyarakat, pada akhir Desember 2006, namun tidak diketahui secara detil tanggal berapa, perusahaan membuat dan memasang plang nama perusahaan. Pada plang nama tertera, PT. Karya Rekanan Bina Bersama (KRBB), IUPHHK diterbitkan Menteri Kehutanan dengan SK Nomor 263 Menhut-11/2004 dengan luas areal 43.810 Ha.

Hal lain yang dilakukan perusahaan adalah, mendatangi setiap pemuka masyarakat untuk menawarkan uang pelaksanaan ”Puja Tanah”. Itu istilah ritual upacara minta izin, mulai aktivitas pembukaan lahan kepada leluhur, sesuai kepercayaan masyarakat setempat. Besarnya Rp 7,5 juta untuk setiap kampung. Tapi tidak ada orang yang bersedia melaksanakannya.

Kemudian pihak perusahaan juga mengirim surat pemberitahuan, tertanggal 6 Februari 2007, ditujukan ke Kepala Dusun Perjuk. Isinya pemberitahuan tentang pembangunan jalan yang akan memasuki wilayah Dusun Perjuk, Pelanjau dan Lubuk Besar. Surat ditandatangani Humas, Bujang Arifin dan diketahui manager perusahaannya.

Melihat kondisi seperti itu, pihak FPKP berinisiatif mengadakan pertemuan lagi, tepatnya 14 Maret 2007. Pertemuan dilakukan di Perjuk dengan dihadiri perwakilan dari berbagai kampung. Antara lain, Kampung Perjuk, Nanga Pengga, Pengga Putih, Merambang, Pelanjau, dan Inggut.

Setiap kampung membawa hasil kesepakatan di kampungnya, dan sikap mereka terhadap perusahaan. Dengan suara bulat semua menolak. Maka disusun surat pernyataan sikap, penolakan terhadap keberadaan PT KRBB. Yang kemudian disampaikan kepada Menteri Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten, Polda, DPRD Tingkat I dan II, Gubernur dan Bupati, Camat, semua kepala Desa sekecamatan Silat Hulu, serta ke pihak perusahaan PT. KRBB.

Alasan penolakan, selain yang tercantum dalam surat pernyataan sikap nomor 12/FKMPH/2007, juga untuk memelihara sumber air, karena dikhawatirkan akibat aktivitas perusahaan, sumber dan kualitas air akan menurun. Akan ada pendangkalan sungai sebagai akibat erosi dari wilayah kerja perusahaan. Karena selama ini jalur sungai masih dimanfaatkan, sebagai satu satunya jalur transportasi yang murah dan mudah.

Kalaupun pihak perusahaan membangun jalan, akan banyak melewati tanah perkebunan masyarakat. Yang sudah barang tentu, masyarakat tidak mau dilewati dengan cuma-cuma. Akibat lain, adanya musibah banjir yang datang tiba-tiba, sebagai akibat dari habisnya hutan sebagai daerah resapan air. Potensi berkurangnya sumber kayu, sebagai bahan baku pembangunan rumah masyarakat. Permasalahan sosial, berdasarkan pengalaman PT DRM dan PT Alas Kusuma yang banyak melakukan penelantaran kaum perempuan (janda), serta pengrusakan tatanan norma dan budaya adat setempat.

Diceritakannya, khusus pada waktu mengantarkan surat pernyataan sikap masyarakat ke perusahaan yang dilakukan tanggal 5 April 2007 dengan diikuti 44 orang masyarakat dari Dusun Perjuk dan Dusun Pelanjau, mereka diterima dengan sikap baik oleh pihak perusahaan yang diwakili Humas PT KRBB, Bujang Arifin.

Pada kesempatan ini, juga disampaikan masyarakat, sebaiknya perusahaan melakukan sosialisasi terlebih dahulu sebelum melakukan aktivitasnya.

Permintaan ini dijawab Bujang Arifin, bahwa pihak perusahaan akan tetap berjalan sesuai rencana dan target. Terutama pembangunan jalan menuju ke arah Perjuk. (bersambung)

Kemudian pihak perusahaan juga mengirim surat pemberitahuan, tertanggal 6 Februari 2007, ditujukan ke Kepala Dusun Perjuk. Isinya pemberitahuan tentang pembangunan jalan yang akan memasuki wilayah Dusun Perjuk, Pelanjau dan Lubuk Besar. Surat ditandatangani Humas, Bujang Arifin dan diketahui manager perusahaannya.

Melihat kondisi seperti itu, pihak FPKP berinisiatif mengadakan pertemuan lagi, tepatnya 14 Maret 2007. Pertemuan dilakukan di Perjuk dengan dihadiri perwakilan dari berbagai kampung. Antara lain, Kampung Perjuk, Nanga Pengga, Pengga Putih, Merambang, Pelanjau, dan Inggut.

Setiap kampung membawa hasil kesepakatan di kampungnya, dan sikap mereka terhadap perusahaan. Dengan suara bulat semua menolak. Maka disusun surat pernyataan sikap, penolakan terhadap keberadaan PT KRBB. Yang kemudian disampaikan kepada Menteri Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten, Polda, DPRD Tingkat I dan II, Gubernur dan Bupati, Camat, semua kepala Desa sekecamatan Silat Hulu, serta ke pihak perusahaan PT. KRBB.

Alasan penolakan, selain yang tercantum dalam surat pernyataan sikap nomor 12/FKMPH/2007, juga untuk memelihara sumber air, karena dikhawatirkan akibat aktivitas perusahaan, sumber dan kualitas air akan menurun. Akan ada pendangkalan sungai sebagai akibat erosi dari wilayah kerja perusahaan. Karena selama ini jalur sungai masih dimanfaatkan, sebagai satu satunya jalur transportasi yang murah dan mudah.

Kalaupun pihak perusahaan membangun jalan, akan banyak melewati tanah perkebunan masyarakat. Yang sudah barang tentu, masyarakat tidak mau dilewati dengan cuma-cuma. Akibat lain, adanya musibah banjir yang datang tiba-tiba, sebagai akibat dari habisnya hutan sebagai daerah resapan air. Potensi berkurangnya sumber kayu, sebagai bahan baku pembangunan rumah masyarakat. Permasalahan sosial, berdasarkan pengalaman PT DRM dan PT Alas Kusuma yang banyak melakukan penelantaran kaum perempuan (janda), serta perusakan tatanan norma dan budaya adat setempat.

Diceritakannya, khusus pada waktu mengantarkan surat pernyataan sikap masyarakat ke perusahaan yang dilakukan tanggal 5 April 2007 dengan diikuti 44 orang masyarakat dari Dusun Perjuk dan Dusun Pelanjau, mereka diterima dengan sikap baik oleh pihak perusahaan yang diwakili Humas PT KRBB, Bujang Arifin.

Pada kesempatan ini, juga disampaikan masyarakat, sebaiknya perusahaan melakukan sosialisasi terlebih dahulu sebelum melakukan aktivitasnya.

Permintaan ini dijawab Bujang Arifin, bahwa pihak perusahaan akan tetap berjalan sesuai rencana dan target. Terutama pembangunan jalan menuju ke arah Perjuk.

Pada 14 April 2007, rumah Ujang di Nanga Dangkan didatangi 4 personel Polisi. Dua diantaranya dari Polsek Silat Hulu, Kapolsek Suprianto, dan anggotanya, Sigit. Dua orang dari Polres Kapuas Hulu, Heri E. dan Matheus A.

Kedatangan mereka secara baik-baik dan mau mengungkapkan identitasnya. Ketika ditanya dan diminta mengisi buku tamu pribadi, keempat polisi itu, menanyakan mengenai kebenaran penandatanganan masyarakat terhadap lampiran surat Pernyataan Sikap Penolakan terhadap PT KRBB, dan masalah keabsahan forum yang belum ada AD dan ART, serta Badan Hukumnya. Mereka juga mengatakan, bahwa jika keterangan darinya dibutuhkan lagi nanti, akan ada panggilan dari Polres, dan diminta untuk datang.

Pada 19 April 2007, Nasir, warga Dusun Pelanjau menghadap Polsek dengan surat panggilan tanggal sebelumnya. Berdasarkan laporan warga, Nasir pernah mengancam polisi yang selalu berada di Camp perusahaan. Saat meminta keterangan dari Nasir, salah satu personel Polsek, Edyanta Sembiring mengancam Nasir. Dengan ucapan, agar Nasir mengakui pernah berbicara kerasa kepada polisi yang selalu berada di camp perusahaan (PT KRBB).

Melihat tidak adanya perubahan yang dilakukan pihak managemen perusahaan, masyarakat di Perjuk kembali melakukan pertemuan pada 23 April 2007. Ada kesepakatan untuk melakukan demo ke camp perusahaan yang dilakukan pada 30 April 2007.

Pada 24 April 2007, datang ke Perjuk 2 orang polisi, Edyanta Sembiring dan Moradarma Sinaga. Keduanya menyampaikan surat panggilan yang ditandatangani Kapolsek dengan No. Pol: S. Pgl./04/IV/2007. Isinya meminta kepada empat masyarakat, Dat, Anggah, Temiang dan Sidal, untuk datang ke Polsek, pada Kamis 26 April 2007, pukul 10.00 Wib. Keempatnya diminta keterangan, berkaitan dengan adanya surat pernyataan penolakan masyarakat terhadap PT KRBB.

Surat yang sama datang lagi sebagai surat panggilan kedua, pada 27 April 2007, agar menghadap pada Minggu, 29 April 2007, pukul 09.00 Wib. Disertai dengan selembar kertas yang berisi peringatan, agar mengindahkan surat panggilan, sebelum surat panggilan ke tiga, sekaligus surat penangkapan sesuai pasal 216 KUHP.

Tetapi yang bersangkutan tidak menghadap ke Kapolsek, dikarenakan yang bersangkutan sudah tua dan tidak bisa membaca dan menulis. Selain itu, sudah ada kesepakatan antara pengurus kampung, jika ada panggilan berkaitan dengan surat penolakan, maka yang menghadap polisi adalah pengurus kampung, bukan orang yang bersangkutan.(bersambung)□

Pada 30 April 2007, masyarakat melakukan demo ke basecamp perusahaan yang melibatkan 153 orang, dan mewakili 6 kampung dengan tuntutan. Masyarakat Perjuk, Pelanjau, Pengga Putih, Merambang dan Dusun Nanga Tapang membuktikan, bahwa penolakan masyarakat terhadap PT KRBB adalah murni, dan bukan rekayasa seseorang atau organisasi tertentu.
PT KRBB dianggap merugikan masyarakat Adat Silat Hulu, karena telah meresahkan masyarakat, mengadu domba antarmasyarakat, serta mencemari lingkungan, terutama daerah aliran sungai yang menjadi sumber air minum bagi masyarakat.
Masyarakat menganggap PT KRKB merampas hak masyarakat adat dengan menggusur jalan, menebang atau mengambil kayu dan hasil hutan lainnya, tanpa sepengetahuan dan persetujuan masyarakat.
Juga melecehkan adat istiadat setempat dengan menggusur tanaman dan tumbuh tanpa musyawarah sebelumnya. Menggusur tempat-tempat ’MALI” seperti Kuburan dan Kerbah, terjadi di Dusun Pelanjau.
Atas dasar tersebut, masyarakat mendesak agar dalam waktu seminggu, sejak 30 April 2007- 7 Mei 2007, PT KRBB harus segera angkat kaki dari wilayah itu.
PT. KRBB harus bertanggung jawab atas kerugian dan kerusakan yang diakibatkan beroperasinya PT KRBB.
“Kami akan tetap mempertahankan wilayah kami, hutan dan adat istiadat kami, walau sampai titik darah terakhir,“ kata Ujang.
Apabila pihak perusahaan tidak mengindahkan tuntutan mereka, jangan salahkan masyarakat, apabila terpaksa mereka mempertahankan haknya dengan caranya sendiri, kata Ujang, saat memimpin demontrasi.
Pada saat demo ini juga, dihadiri Kapolsek Silat Hulu dan anggotanya berjumlah 5 personel. Kemudian anggota Polres Kapuas Hulu 6 personel, serta pihak perusahaan diwakili Humas Kamarudin dan Darmansyah.
Sebagai solusi dari aksi yang dilakukan, membuat pernyataan dari pihak perusahaan yang ditandatangani Kamarudin sebagai Humas Perusahaan, dan diketahui Kapolsek Silat Hulu, AKP Suprianto. Isi dari surat pernyataan tersebut adalah, pihak perusahaan bersedia mentaati aspirasi yang disampaikan masyarakat. Bahwa dalam waktu satu Minggu, sejak 30 April 2007 - 7 Mei 2007, menghentikan pekerjaan atau operasi PT. KRBB, atau segera angkat kaki dari bumi Silat Hulu. Apabila mengingkari pernyataan ini, siap ditindak sesuai tuntutan masyarakat.
Pada kenyataannya, selama tenggang waktu yang diberikan oleh masyarakat, aktifitas perusahaan tetap berjalan. Bahkan, menjelang 7 Mei 2007, tepatnya pada Minggu malam 6 Mei 2007, perusahaan mendatangkan 3 truk satuan Brimob yang diperkirakan berjumlah 80-an personil dan ditempatkan di basecamp Nanga Ngeri.
7 Mei 2007, operasional kegiatan pembangunan jalan yang dilakukan perusahaan dikawal oleh anggota Brimob. Pada hari ini juga diisukan oleh pihak perusahaan, bahwa Ujang sebagai ketua Forum sudah ditangkap. Isu ini membuat semangat orang kampung menjadi turun dan takut serta resah.
Sore 8 mei 2007, satu orang wakil perusahaan, Bujang Arifin yang dikawal oleh 20 personil Brimob, datang dan minta diadakannya pertemuan di Perjuk.
Diantara Brimob yang didatangkan dari Polres Kapuas Hulu, bernama Hasan Djamil, Yohanes, Hindra, Heri, Yusuf, dan kawan-kawannya. Dari Polsek Silat Hulu, Kapolseknya AKP Supriyanto datang bersama Ediyanto, Sigit, Moradarma Sinaga.
Kedatangan ini tanpa pemberitahuan sebelumnya, dan datang sekitar pukul 17.30 Wib dan langsung mendesak, agar diadakan pertemuan pada pukul 20.00 Wib.
Pertemuan ini pertama kali disampaikan oleh Kapolres, sebenarnya hanya utusan dari Kapolres. Ia mengatakan, PT KRBB sudah memiliki izin resmi dari pemerintah desa, kecamatan, kabupaten, gubernur, menteri kehutanan dan tingkat pusat. Maka dari itu, polisi beserta pasukannya, melindungi kepentingan perusahaan sampai selesai. Iuran PT sudah dibayar sekaligus kepada pemerintah.
Dia mengatakan, PT KRBB belum beroperasi baru menggarap jalan dan masyarakat. Diharapkan tidak menghambat jalannya perusahaan, dikarenakan hasutan orang luar. Jika melakukan demo tidak diizinkan Kapolsek, dan bisa diproses berdasarkan UU No 9 Tahun 1999.
Dari Kapolsek Silat Hulu menyampaikan, PT KRBB merupakan perusahaan yang sudah memperoleh izin menteri kehutanan RI. Beroperasinya PT KRBB merupakan kebijakan dari pemerintah.
Yohanes, anggota Polres Kapuas Hulu mengatakan, kehadiran mereka di perusahaan dalam rangka pengamanan. Perusahaan jarang merugikan masyarakat. Maka dalam sosialisasi harus hati-hati, agar tidak menimbulkan penyesalan. Perusahaan jarang tidak memberikan bantuan kepada masyarakat. Namun masyarakat yang harus mengajukan proposal. Seperti jalan, air bersih dan lain-lain.
“Jangan ada yang percaya, jika ada provokator yang mengatakan itu dan ini,“ kata Yohanes.
Yohanes mendesak, masyarakat segera mengajukan proposal ke perusahaan. Masyarakat diminta mengambil keputusan saat itu juga.
Humas PT KRBB, Bujang Arifin menjelaskan, keberadaan perusahaan sudah jelas, karena sudah mendapat izin dari pemerintah. Ia menanyakan, apa yang menjadi latar belakang, masyarakat berani melakukan unjuk rasa ke perusahaan. “Mungkinkah ada kompensasi lain? Sedangkan kompensasi diatur oleh pemerintah,“ kata Bujang. Seperti, program Bina Desa. Bina Desa sekarang tidak seperti dulu, harus kerja dulu baru masyarakat mengusulkan keinginannya. PT. KRBB belum melakukan sosialisasi, karena belum beroperasi, meskipun sudah 6 bulan berada di lapangan, hanya mengarap jalan.
Hendra, anggota Polres Kapuas Hulu menyatakan, bahwa demo harus dilakukan sesuai dengan jalur. Dia berharap masyarakat jangan demo lagi, jika tidak memberitahukan sebelumnya. Jika melakukan demo, harus mengusulkan 3 x 24 jam sebelumnya kepada Kapolsek.
”Apabila terjadi anarkis, kami berhak melindungi pihak perusahaan yang merasa terancam. Jangan dikarenakan awam, masyarakat dimanfaatkan oleh orang lain untuk kepentingan pribadi,“ katanya.
9 Mei 2007, Ujang Sulaiman menceritakan dirinya didatangi 8 personel polisi. Salah satunya, Kapolsek Silat Hulu, AKP Suprianto. Sedangkan yang lainnya dari Polres Kapuas Hulu. Yang tidak mau menyebutkan dan menuliskan identitasnya di buku tamu pribadi Ujang. Adapun poin-poin yang dipertanyakan kepadanya
Mengapa Ujang berani mengirim surat ke menteri kehutanan, sementara organisasi atau Forum yang dipimpinnya, tidak mendapat pengesahan dari pemerintah. Aparat kepolisian menanyakan hal itu, kepada Ujang.
Mereka juga mempertanyakan tentang keterlibatan LSM dari Pontianak, yang turut mempengaruhi pikiran masyarakat. Sehingga berani melakukan hal bertentangan dengan aturan yang sudah ditetapkan menteri kehutanan, tentang izin IUPHHK PT KRBB.
Polisi juga menjelaskan pada Ujang, resiko-resiko yang akan terimanya, jika terjadi sesuatu sebagai dampak dari surat, yang sudah ditandatanganinya.
Puncak dari pemojokan pada dirinya, Polisi minta Ujang menandatangani surat pernyataan yang dibuat. Karena berada dalam tekanan dan tak punya pilihan lain, Ujang meneken surat itu.
Isi dari surat pernyataan yang Ujang tanda tangani tersebut berisi, Ujang akan bertanggung jawab bilamana terjadi permasalahan dan gejolak di masyarakat yang bernama Forum Komunikasi Masyarakat Pemilik Hutan (FKMPH), sesuai surat pernyataan sikap. Ia tidak akan memberikan kepada masyarakat, melakukan penyampaian aspirasi yang bersifat anarkis dan bisa merugikan kepentingan umum.
Ia juga akan mempertanggungjawabkan surat atau dokumen tentang penolakan keberadaan PT. KRBB yang telah dibuat dan dikirim ke Menteri Kehutanan Republik Indonesia maupun ke instansi terkait lainnya.
Apabila dia melanggar surat pernyataan ini, bersedia dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.
Isi dari surat pernyataan yang Ujang tanda tangani berisi, Ujang akan bertanggung jawab bilamana terjadi permasalahan dan gejolak di masyarakat yang bernama Forum Komunikasi Masyarakat Pemilik Hutan (FKMPH), sesuai surat pernyataan sikap. Ia tidak akan memberikan kepada masyarakat, melakukan penyampaian aspirasi yang bersifat anarkis dan bisa merugikan kepentingan umum.

Ia juga mempertanggungjawabkan surat atau dokumen tentang penolakan keberadaan PT. KRBB yang telah dibuat dan dikirim ke Menteri Kehutanan Republik Indonesia maupun ke instansi terkait lainnya. Apabila dia melanggar surat pernyataan ini, bersedia dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Ujang bercerita, pada 10 Mei 2007, ia dijemput pihak kepolisian dan bersama-sama ke base camp PT KRBB, untuk menyampaikan atau mensosialisasikan surat pernyataan yang dia tanda tangani sebelumnya. Di base camp ia dihadapkan kepada pengurus PT KRBB, dan banyak anggota Brimob dari Polres Kapuas Hulu. Kemudian Ujang diminta oleh Kapolsek, untuk menjelaskan isi dari surat pernyataan tersebut.

Pada kesempatan itu, dirinya dipaksa menyatakan siap untuk membantu menjaga sikap dan tindakan masyarakat. Masyarakat juga diminta tidak berbuat anarkis dan melanggar aturan, serta adat istiadat yang berlaku.

Realisasi atas tanggung jawab untuk ketertiban masyarakat itu, Ujang disuruh membuat surat edaran yang isinya, tidak membenarkan tindakan-tindakan bersifat anarkis dalam melakukan penolakan terhadap PT. KRBB. Surat edaran tersebut harus disampaikan kepada semua anggota Forum.

Pada 7 Juni 2007, sekitar 124 orang masyarakat dari Kampung Perjuk, Pelanjau, Pengga Putih, Nanga Pengga, semua dari Kecamatan Silat Hulu. Kampung Beruak di Kecamatan Kayan Hulu. Serta dari Kampung Lubuk Besar, Sungai Buaya dari Kecamatan Kayan Hilir. Mereka mendatangi base camp PT. KRBB di hutan Kampung Perjuk, pada pukul 11 Wib. Masyarakat datang di Camp, untuk menyampaikan tuntutan kepada perusahaan dan menolak aktivitas dari PT. KRBB. Kedatangan masyarakat dihadang Aparat Keamanan. Yang siap dengan senjata lengkap, kurang lebih 10 orang.

Selang beberapa waktu kemudian, datang lagi dua orang Brimob. Salah satunya bernama Adrianus, dan satu orang dari perusahaan bernama Kamarudin. Begitu turun dari mobil, satu orang Brimob langsung mengumpulkan masyarakat.

Ia mengatakan bahwa kedatangan masyarakat salah, karena tidak memberitahukan kepada pihak keamanan. Perusahaan ini sudah mendapat ijin dari Pemerintah dan memberi keuntungan serta bina Desa kepada masyarakat, kenapa harus diganggu.
Masyarakat mengatakan, kenapa mereka tidak memberitahu pihak, karena selama ini pihak keamanan, Polsek dan Danramil berpihak kepada perusahaan. Keuntungan, Bina Desa atau apapun namanya, masyarakat tidak tahu, karena tidak ada sosialisasi dari Perusahaan. Perusahaan dianggap datang seperti pencuri dan penjajah.

Satu jam kemudian, datang Kapolsek Silat Hulu, AKP Suprianto. Camat Silat Hulu, M.Tahir beserta Danramil, Kapten Misiari bersama dengan pihak perusahaan, Ujang Arifin. Kemudian masyarakat diajak masuk ke dalam ruangan kecil untuk dialog. Sebanyak 10 orang berhadapan dengan pihak Muspika, bukan dengan pihak perusahaan.

Dalam dialog tersebut, masyarakat menyampaikan tuntutan, agar PT. KRBB segera menurunkan alat-alat dari lokasi. PT.KRBB segera angkat kaki dari wilayah masyarakat Pelanjau, Perjuk dan sekitarnya. Kehadiran perusahaan dianggap menjajah dan menindas. Merampas hak masyarakat serta mengadu domba atau intimidasi. Sementara itu, perusahaan tidak mau melakukan diaolog dengan masyarakat.

Masyarakat telah dirugikan atas aktivitas yang dilakukan perusahaan. Akibat penebangan kayu, hutan masyarakat di Perjuk ditebang hampir 3.000 batang. Pelajau sudah ditebang sekitar 1.000 batang dan kayu tersebut sekarang berada di sekitar pingir jalan. Kayu itu bahkan sudah diangkut ke Camp Nanga Ngeri sekitar 100 batang.

Akibat dari kegiatan tersebut, Sungai Bedak di Kampung Perjuk dan Sungai Pengga tercemar, karena aktivitas perusahaan. Sedangkan di Pelanjau lebih parah lagi, karena Sungai Ngeri airnya tidak dapat digunakan masyarakat. Namun, pihak perusahaan hanya mau berhenti bekerja, jika dilakukan diolog yang difasilitasi pihak Muspika yang belum ditentukan waktunya?

Tanggapan dari Muspika mengatakan, bahwa siap memfasilitasi dialog antara masyarakat dengan perusahaan. Dan, untuk sementara, aktifitas perusahaan dihentikan. Apabila pihak perusahaan tetap melakukan aktifitas sebelum dialog dilakukan, Danramil siap menangkap Ujang Arifin dari PT. KRBB, supaya dipecat dari jabatannya.

Masyarakat menolak apabila tuntutan tidak dipenuhi. Mereka memutuskan tetap berada di camp dan tidak akan pulang. Namun, sekitar pukul 18.00 wib, Adrianus, anggota kepolisian dan kawan-kawannya menembakkan senjatanya ke udara sebanyak 6 kali. Alasannya, kehilangan sepatu dan menuduh masyarakat mengambil. Ia mengatakan, apabila sampai pada hitungan kesepuluh tidak ditemukan, masyarakat akan ditembak semua.

Kemudian demi keamanan masyarakat membubarkan diri dan pulang ke kampungnya masing-masing. Ketika masyarakat pulang, masih ada tiga orang tertinggal. Yaitu, Yosua, Ating dan Ubing.

Tanggal 8 Juni 2007, Ludai dan Balai, Sari dan kawan 6 orang yang berpihak kepada perusahaan, datang ke camp perusahaan. Mereka mendapat berita, bahwa akan ada penambahan Brimob sebanyak 3 truk ke lokasi PT. KRBB di wilayah Desa Perjuk.
Pada 18 Juni 2007, terjadi dialog pembangunan di ruang pertemuan di kantor Camat Nanga Dangkan yang dihadiri Wakil Bupati Kapuas Hulu, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, DPRD Kapuas Hulu, Dinas Pendidikan, AMAN Kalbar, Borneo Tribune, PPSDAK, dan masyarakat.
Pertemuan membicarakan masalah PT. KRBB dengan masyarakat. Acaranya bersamaan dengan pelantikan kepala desa dan temenggung. Ada juga penyerahan bantuan untuk pembangunan gedung SD, dan peresmian rumah adat suku Dayak Suang Ensilat di Landau Rantau

Aktivitas HPH PT KRBB di Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu membuat warga Perjuk dan Pelanjau kecewa, karena perusahaan masih melakukan aktivitas. Padahal dalam kesepakatan dengan masyarakat, perusahaan belum boleh melakukan aktivitas, jika permintaan masyarakat tidak dipenuhi. Bahkan, tanpa sosialisasi, perusahaan melakukan penggusuran kebun karet, kuburan tua untuk jalan.

Hal ini membuat masyarakat melakukan aksi ritual bersama, dan memotong batang jembatan milik perusahaan, sebagai isyarat kekecewaan warga. Pemotongan jembatan tersebut masih bisa dilalui kendaraan milik perusahaan.

Melihat proses ritual tersebut, perusahaan mengerahkan polisi yang siap di Log pond perusahaan dan di Polsek Nanga Dangkan, untuk membubarkan aksi massa dengan peralatan penuh. Hingga terjadi penangkapan dan sweeping kampung untuk mencari tersangka. Anehnya, aksi ritual adat dan pemotongan tersebut dilakukan oleh massa, namun yang diburu dan ditangkap, hanya orang-orang tertentu di kepengurusan Forum Masyarakat Pemilik Hutan (FMPH).

Situasi di Kampung Pelanjau sangat menegangkan, sejak pelaksanaan ritual adat dan pemotongan 2 kayu jembatan perusahaan oleh sebagian besar warga yang menolak, serta pembubaran dan penangkapan yang dilakukan aparat kepolisian Polres Kapuas Hulu. Situasi itu mengakibatkan sebagian besar warga Kampung Pelanjau mengungsi ke kampung terdekat.

Jumlah pengungsi dari Desa Pelanjau ke Lubuk Besar, Kayan Hilir Sintang, hingga 1 Agustus 2007, ada 76 orang. Dari 76 orang tersebut, ada lelaki dewasa 11 orang. Perempuan dewasa 24 orang. Perempuan lanjut usia 1 orang. Anak laki-laki 20 orang. Anak perempuan 20 orang.

Sebagian besar warga mengungsi karena merasa takut dengan aparat Kepolisian yang masih terus melakukan sweeping atau pencarian, terhadap 3 orang dari 10 orang tersangka. Sedangkan 7 tersangka lainnya sudah tertangkap.

Kondisi warga Pelanjau yang mengungsi sangat memprihatinkan, karena hanya berbekal ’gembolan’ yang berisikan pakaian, beras, kopi, atau gula. Bekal itu hanya cukup untuk 3 hari.

“Dengan kondisi sekarang ini, kami kehilangan aktivitas seperti berladang, menoreh karet, sekolah, berumah tangga, hak hidup bebas merdeka di tanah kami sendiri,” kata Jaka, warga yang ikut mengungsi.

Situasi itu membuat warga benar-benar merasa ketakutan. Bahkan, sangking takutnya, sehabis makan malam, lampu langsung dimatikan, walaupun belum mengantuk.

Di Desa Pelanjau, hanya tinggal 3 orang yang menolak perusahaan bertahan di desa. Selebihnya, sekitar 18 KK menerima perusahaan. Bahkan, di tempat pengungsian tersebut, 8 Agustus 2007, Gentak istri Rindin, melahirkan anak perempuan di pengungsian. Anak itu diberi nama Regina Agustini.

Sementara itu, aktivitas HPH PT KRBB semakin menjadi-jadi, dengan melakukan penebangan di luar jalur konsesi. Perusahaan melakukan penebangan kayu di Kabupaten Sintang. Seperti di Kampung Lubuk Besar, Desa Sungai Buaya, Kecamatan Kayan Hilir, sebanyak 98 batang jenis kayu ’meranti’.

Kejadian ini menimbulkan reaksi masyarakat Lubuk Besar yang menuntut ganti rugi atas penebangan tersebut. Dengan melakukan survey ke lokasi yang dilakukan oleh masyarakat, Polsek Kayan Hilir dan Kayan Hulu, serta pihak perusahaan. Namun sampai sekarang, belum ada tindak lanjut dari perusahaan PT KRBB, untuk ganti rugi.

Menurut Mariam, seorang pengungsi, aparat kepolisian selama dua malam berturut-turut, tepatnya 3 dan 4 Agustus 2007, melakukan penyerangan dan penggeledahan serta mengobrak-abrik isi rumahnya, untuk mencari bapaknya yang bernama Jaka. Jumlah aparat yang melakukan penggeledahan rumahnya mencapai 12 orang.

“Polisi sempat berkata, kami sudah dua malam mencari bapakmu. Kalau sampai tiga malam tidak ada, awas bapakmu,” ujar Mariam, menirukan kata-kata polisi.

Mariam akhirnya memutuskan mengungsi, karena polisi yang melakukan penggeledahan ke rumahnya selalu membentak. Bahkan, sampai masuk ke dalam kamar dan memeriksa kelambu. ”Polisi naik ke rumah dengan keadaan mabuk, karena masih tercium bau minuman arak dari mulutnya,“ kata Mariam.

Sejak lari dari rumah, anak Mariam yang masih kecil terus menangis, karena sering kelaparan di pengungsian. Dirinya hanya bisa meminta belas kasihan dari orang lain, untuk sekedar makan. Anak Mariam yang baru berumur 4 tahun, harus kekurangan susu tambahan di pengungsian. Adik Mariam yang masih SD, tidak sekolah lagi, karena ia dan keluarga sudah lari mengungsi selama hampir 2 minggu.

Setelah kejadian tersebut, Ninti, ibu Mariam atau istri Jaka yang juga menjadi target penangkapan, memilih pergi. Bersama anak perempuannya, pada 5 Agustus 2007, mereka terpaksa tidur di bawah pohon durian, selanjutnya pergi ke Lubuk Besar.

“Selama mengungsi kami tidak mendapatkan penghasilan dari karet. Biasanya dapat 20 kg/hari, dan tidak dapat mengurus babi dan ayam,” katanya.

Selain Jaka, aparat Kepolisian juga mencari Nasir. Menurut istri Nasir, aparat Kepolisian menggunakan pakaian preman datang ke rumahnya, sambil menodongkan senjata. Mereka bahkan masuk ke kamar. Sampai sekarang, polisi belum dapat menemukan Nasir.

”Kabar Nasir juga belum diketahui sampai saat ini. Entah hidup atau sudah mati,“ kata istrinya.

Selama pencarian dan sebelum ditemukannya Nasir, ia sekeluarga tinggal numpang di tempat keluarga. Polisi sempat mengucapkan ancaman, jika Nasir tidak ditemukan, keluarganya bakal menanggung akibatnya.


Polisi melakukan penyisiran ke rumah-rumah warga tanpa didampingi Kepala Dusun. Bahkan, polisi tidak membawa surat tugas. Peristiwa itu terjadi pada 12 Agustus 2007. Polisi hanya memberitahukan kepada Kepala Dusun secara lisan.

Mariam, Kepala Dusun di Desa Pelanjau, menuturkan, kepala dusun bernama Cornelis Jantan, tidak terlalu peduli dengan keberadaan anggota masyarakatnya. Karena itu, kepala dusun tidak menemani pencarian dan penangkapan anggota masyarakat yang dilakukan aparat polisi.

Selain itu, Kepala Dusun tidak pernah mengunjungi warganya yang mengungsi ke Kampung Lubuk Besar, berada di penjara, atau kondisi Pak Madin yang terkena pukulan dari aparat polisi, saat dalam tahanan.

”Kepala Dusun hanya menerima informasi yang simpang siur saja,“ katanya.

Kepala Adat, Lorensius Linyang mengatakan, perusahaan masuk atas dasar penandatanganan kesepakatan warganya yang dipakai tahun 2004. Namun, berdasarkan informasi masyarakat, kesepakatan tersebut berisikan tentang pengandangan ternak babi. Saat itu alasannya ada permintaan dari Guru SD, Syahrir yang akan mengajar di Pelanjau.

Sebelum PT KRBB masuk, PT BUS juga sempat ditolak oleh warga, karena tidak membuat jalan kampung, tidak ada sarana maupun jaminan sumber air bersih, uang untuk kayu yang diminta masyarakat Rp. 50.000/kubik. Namun perusahaan hanya membayar Rp. 25.000/kubik. Itupun yang sampai di warga hanya Rp 20.000/kubik karena telah dipotong pengurus desa sebesar Rp 5.000/kubik.

Mengenai kondisi warga yang mengungsi dan ditahan, Lorensius menyatakan warga yang ditangkap bisa keluar, jika 3 orang yang dicari dapat ditangkap.

Sedangkan untuk kondisi air yang keruh akibat aktivitas perusahaan, pengurus desa telah membuat proposal kepada perusahaan, bagi penyediaan sarana air bersih. Tapi belum ada tanggapan dari perusahaan. Sehingga mengakibatkan sumber air bersih masyarakat yang berasal dari Sungai Ngeri menjadi semakin buruk.

Saat terjadi pencarian oleh aparat polisi yang datang dari arah Log pond, Nanga Dangkan dan Putussibau. Sejak 10 Agustus 2007, polisi tetap berjaga di Log pond.

Berbeda dengan pernyataan warganya, Kepala Dusun, Cornelis Jantan dan Kepala Adat, Lorensius mengatakan, pada saat kejadian aksi massa dan penangkapan warga oleh aparat polisi, tidak ada warga tidur di tanah kuburan, hutan, di bawah pohon durian.

Pada saat Tim Pencari Fakta (TPF) beranjak kembali ke kampung Lubuk Besar, 13 Agustus 2007, Pengurus Desa, Ketua RT 2 Jeragan yang sempat menerima keberadaan perusahaan, ternyata menyatakan pengunduran diri dan menolak perusahaan PT KRBB. Karena dari pihak pengurus desa lainnya, terutama Kepala Dusun dan Kepala Adat, hanya mau enaknya sendiri dan giliran susah mengajak ke yang lainnya. Contoh untuk hasil tebangan yang sudah menjadi kayu dan diberikan oleh perusahaan, bagi keluarga kurang mampu, ternyata diambil Kepala Adat dan Kepala Dusun.

Sejak kejadian eksodus yang dilakukan warga, aktivitas perusahaan HPH PT KRBB semakin leluasa dan menjadi-jadi. “Perusahaan melakukan aktivitas penebangan pada malam hari, dan siang harinya baru pengangkutan,“ kata Ujang.

Berbeda dengan di Pelanjau dan Penggak, tidak terjadi gejolak signifikan. Hanya ada kekecewaan masyarakat, karena saat berlangsungnya kegiatan ritual yang diusung warga Perjuk dan Pelanjau, dilanjutkan upaya pemotongan jembatan tidak memberitahu dan mengajak warga Penggak.

Dipastikan oleh sebagian warga, bahwa aktifitas PT KRBB memang tidak berada di wilayah Desa Nanga Penggak. Namun, wilayah desa ini masuk dalan areal konsesinya. Di Log pond terlihat oleh masyarakat beberapa polisi berjaga relatif banyak. Sebagian dari mereka juga sering terlihat

Tak adanya kepedulian dari pengurus desa, membuat warga berinisiatif mengumpulkan uang secara sukarela dari setiap warga, dan disumbangkan ke Bujang Sulaiman dan rekan-rekan dari Pelanjau yang sedang ditahan.

Dalam aktivitasnya, perusahaan selalu mengandalkan tenaga yang berasal dari luar desa. Di Manan terdapat 6 orang karyawan operasional. Di lapangan 2 orang yang berprofesi sebagai pengupas kulit dengan gaji Rp1200/m3. Dua orang berprofesi sebagai penebang dan pembantunya. Satu orang operator Zonder/Greder penarik log yang berasal dari Sulawesi. Satu orang berprofesi sebagai pembatu operator Zonder/Greder.

Aktifitas penebangan dilakukan pada tiga blok kerja dengan melibatkan 7 buah chainsaw yang menyebar. Produksi tebang bisa dilakukan penebang dalam situasi normal dengan kondisi cuaca maksimal mencapai 25 sampai 30 pohon perhari terutama pada daerah yang berpohon rapat.
Pada 13 Agustus 2007, sekitar pukul 19.30 Wib, masyarakat mengungsi bersama LSM–LSM dari Pontianak, kembali ke Kampung Pelanjau. Jumlah pengungsi mencapai 100 orang, 13 orang diantaranya sengaja datang dari Penggak Putih.

Menurut Madin, warga Desa Pelanjau, sebagaimana di Penggak, di Perjuk mereka menceritakan upaya-upaya yang sudah dilakukan. Penekanannya bahwa masyarakat pada prinsipnya tidak bergerak sendiri, tapi dibantu LSM-LSM dari Pontianak, dari Kapuas Hulu bahkan dari Jakarta. Yang berupaya meneruskan perjuangan masyarakat dalam mempertahankan wilayahnya. Dari masuknya Perusahaan PT KRBB yang diindikasikan proses mendapatkan izin hanya diatas meja saja, tanpa melibatkan persetujuan masyarakat setempat, termasuk proses Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) yang tidak diketahui masyarakat lokal.

Akibat dari aktivitas PT KRBB ini, air Sungai Peda’ yang April 2007 lalu masih jernih, sekarang sangat kotor.

Saat ini, kebetulan wilayah yang sedang dikerjakan masih termasuk wilayah Desa Perjuk. Namun mungkin sekitar sebulan kedepan, akan memasuki wilayah Penggak Putih. Wilayah itu, sampai sekarang air sungainya masih jernih. Sejernih namanya, Penggak Putih.

Dalam pertemuan 17 Agustus 2007, hadir 2 warga yang pro PT KRBB. Salah satunya Simpai, pendidikan S1 keagamaan. Dia mengutarakan tentang niat baik perusahaan. Namun karena penolakan masyarakat, maka semua niat baik tersebut tidak dikabulkan. Karena itu ia sangat menyesalkan penolakan yang diusung rekan-rekannya.

Menurutnya semua ini demi kemajuan masyarakat desa. Pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan untuk kemakmuran warga dan rakyatnya. Ia juga menyesalkan sekali, kalau PT KRBB dikatakan ilegal atau tidak sah. Menurutnya sudah sangat jelas bahwa PT KRBB sudah mendapatkan izin dari pemerintah, dan semua wilayah itu milik pemerintah.

“Jadi janganlah kita sebagai warga mau melawan pemerintah kita sendiri, ibarat penghianat, wajar saja ditangkap,” katanya.

Simpai juga mempertanyakan tentang ide pertemuan. Kenapa tidak melibatkan semua warga, dan kenapa tidak di tempat yang umum seperti pertemuan formal. Selain itu, ia juga mempertanyakan tentang kehadiran para anggota LSM, terutama mengenai identitas, status tugas yang diemban, dan asal lembaga.

Pertanyaan tersebut langsung dijawab oleh beberapa masyarakat, bahwa pertemuan tersebut bukan pertemuan resmi. Hanya mau mendengar seperti apa perkembangau upaya mengeluarkan Bujang Sulaiman, dan rekan-rekan dari Pelanjau yang sedang ditahan. Yang hadir juga tidak sengaja dikumpulkan, akan tetapi datang secara sukarela.

Beberapa masyarakat yang kontra PT KRBB menyatakan, dampak kongkrit dari aktivitas perusahaan tersebut. Seperti, kualitas air menjadi buruk. Pernyataan masyarakat yang kontra dijawab oleh Bujang Serah. Masyarakat yang pro perusahaan menyatakan, bahwa kalau aktivitas perusahaan merusak kualitas air, sementara warga kampung berladang merusak kualitas udara. Pertemuan tersebut belum mencapai kesepakatan dan bubar jam 24 malam.

Saban, Direktur Walhi, Kalbar mengatakan, dari temuan Tim Pencari Fakta ditemukan bahwa ketimpangan pengakuan secara de facto terhadap masyarakat adat inilah, menjadi awal terjadinya pelanggaran yang dilakukan pemerintah bersama dengan investor atau pemodal. Seperti yang terjadi pada Masyarakat Adat Silat Hulu, yang telah tinggal dan menempati wilayahnya secara turun temurun, dan menggantungkan hidupnya serta menjalankan sistem sosial, ekonomi dan hukum, berlandaskan pada kearifan masyarakat adat Silat Hulu.

Kasus yang menimpa masyarakat adat Semunying Jaya, akhirnya mengantarkan 10 orang, Bujang Sulaiman, Budang, Suprianus, Yohanes, Kada, Sikup, Jaka, Madin, Jemat, Sutrisno, mendekam di tahanan. Tiga orang menjadi buron, Majid, Jaka, Nasir. Kurang lebih 10 hari di Polres Bengkayang, karena diangap telah melakukan tindak pidana pengerusakan milik perusahaan, berupa jembatan jalan perusahaan, melalui laporan PT KRBB.

Padahal apa yang dilakukannya adalah mempertahankan eksistensi wilayah adatnya. Yang secara sepihak telah direngut dan digusur PT Karya Rekanan Bina Bersama. Tindakan tersebut hanya sebagai syarat pada perusahaan, agar tidak melakukan penebangan dan pengakutan kayu, sebelum permasalahan antara perusahaan dengan masyarakat selesai.

“Pelanggaran yang tejadi di wilayah Kampung Palanjau, Desa Nanga Ngeri dan Desa Perjuk, Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Konservasi, Kapuas Hulu, berupa
pelanggaran kehutanan,” kata Saban. Seperti, mendatangkan dan mengoperasikan alat berat operasional perusahaan. Perusahaan telah beroperasi namun belum ada RKT. Perusahaan melakukan pembangunan jalan dan jembatan, untuk sarana transportasi pengangkutan, dengan menggusur jenis tanam tumbuh masyarakat dan kuburan tua masyarakat adat. Perusahaan telah beroperasi melakukan pengangkutan kayu berdasarkan SK Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat. Penebangan pohon tengkawang dan penandaan berwarna merah jenis tanaman karet dan tengkawang di Kayan Hilir, Kabupaten Sintang.

Saban berkata, pelanggaran HAM juga terjadi, saat peristiwa penangkapan para tersangka demonstrasi warga dengan memotong 2 buah batang jembatan. Yang didahului dengan acara ritual adat. Aparat kepolisian Polres Kapuas Hulu melakukan pemukulan terhadap tersangka yang ditangkap. Akibatnya, Madin mengalami perawatan di RS Antonius – Pontianak, selama 7 hari, 15–22 Agustus 2007.

Penangkapan tidak secara prosedural dengan tidak disertai Surat Tugas Penangkapan dan Surat Penangkapan. Surat itu baru ada setelah tiga hari kejadian. Pelepasan Madin yang kena pemukulan paling parah dengan tidak bersyarat dalam keadaan sakit, nengindikasikan aparat kepolisian Polres Kapuas Hulu lepas tangan.

Aparat kepolisian melakukan penyisiran untuk mencari 3 orang tersangka yang belum di tangkap, dilakukan lewat tengah malam, sekitar pukul 2 malam. Penyisiran dilakukan selama 3 hari dengan memasuki ke rumah sampai masuk ke kamar, bahkan membuka kelambu. Akibat pencarian ini, masyarakat menjadi trauma dan ketakutan. Terutama masyarakat Kampung Pelanjau. Sehingga sebagian besar dari mereka mengungsi. Sebagian besar warga Pelanjau atau 73 orang ke Kampung Lubuk Besar di Desa Sungai Buaya, Kecamatan Kayan Hilir, Kabupaten Sintang.

Pengurus kampung, Kepala Dusun dan Ketua Adat Kampung Pelanjau, bersifat tidak tahu menahu tentang keberadaan warganya, tanpa pernah mengunjungi warganya di tahan, sakit dan mengungsi.

Pelanggaran lingkungan hidup terjadi. Seperti proses dan izin AMDAL, perusahaan belum jelas keberadaannya. Hal ini mengakibatkan sumber air bersih di Sungai Ngeri, yang biasa dipergunakan warga Pelanjau dan Perjuk, berubah menjadi keruh dan berwarna cokelat tanah. Juga terjadi pendangkalan Lumpur.

Pelanggaran sosial dan budaya mengakibatkan trauma berkepanjangan dari warga yang mengungsi. Mereka merasa ketakutan akibat intimidasi yang dilakukan aparat kepolisian maupun pengurus kampung. Selain itu terjadi perbedaan secara terbuka di masyarakat, antara yang menolak dan menerima keberadaan perusahaan.

Masyarakat juga kehilangan aktivitas dan pendapatan sehari-hari. Ladang tak terurus. Tak bisa menoreh. Begitu juga dengan ternak selama sekitar dua minggu di pengungsian. Hal ini berdampak pada kehilangan pendapatan rata-rata penduduk yang menoreh per harinya. Bila dalam sehari bisa memperoleh sekitar 10 kg karet dengan harga 1 kg karet Rp 6000. Ada penghilangan badan jalan tua yang menjadi penghubung warga antarkampung Pelanjau dan Perjuk. Hilangnya nilai-nilai ritual dan adat masyarakat dengan penggusuran kuburan tua, untuk pembangunan jalan pengangkutan perusahaan.

Ada pelanggaran tata ruang. Kawasan di Silat Hulu berdasarkan Rencana Tata Ruang Provinsi Kalimantan Barat yang telah direvisi tahun 2005 dan Peta Paduserasi RTRWP – TGHK Provinsi Kalimantan Barat, merupakan kawasan Hutan Lindung. Serta tidak sesuai dengan semangat SK Bupati No. 144 Tahun 2003, yang mencanangkan wilayah Kabupaten Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi. Artinya, di dalam SK tersebut di bagian Menimbang, memberikan peringatan kepada aktivitas pengerusakan kawasan hutan di Kabupaten Kapuas Hulu. Yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati.
Pelanggaran atas wilayah masyarakat adat Silat Hulu terjadi berawal dari kebijakan pemerintah dengan mengeluarkan izin untuk investasi PT. Karya Rekanan Bina Bersama (KRBB) di sektor kehutanan jenis HPH di Kabupaten Kapuas Hulu, dengan berpedoman Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 263/MenHut-II/2004, tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam seluas sekitar 43.810 Ha. Atas Hutan Produksi di Kabupaten Kapuas Hulu, kepada PT KRBB tertanggal 21 Juli 2004.

Dengan adanya permasalahan antara PT KRBB Base Camp Silat Hulu dengan sebagian masyarakat Dusun Pelanjau Desa Nanga Ngeri dan Desa Perjuk, Silat Hulu, keluarlah Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, Nomor 82/Kpts-II/APK/2007 tanggal 2 Maret 2007, tentang Penetapan Perpanjangan Bagan Kerja Tahunan/Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Alam Tahun 2006.

Dengan mengandalkan surat keputusan ini, PT KRBB langsung melayangkan surat pemberitahuan kepada Camat Silat Hulu. Dengan perihal pemberitahuan pengangkutan kayu yang telah ditebang. Selain itu juga PT KRBB telah melakukan penebangan di luar wilayah izin konsesi yang diberikannya di Kecamatan Silat Hulu. Karena telah ada penebangan sebanyak 98 batang kayu jenis Meranti di wilayah Kecamatan Kayan Hilir, Sintang. Ini merupakan suatu tindakan illegal logging yang telah dilakukan oleh aktivitas PT KRBB di luar wilayah izin konsesinya.

“Jika kita merujuk berkaitan dengan pengaturan masyarakat adat pada konstitusi maupun Tap MPR IX/2002, sangatlah jelas pengakuannya untuk melindunginya,” kata Saban.

Hal ini semakin diperjelas lagi dengan UUPA, UU HAM. Dalam hukum di Indonesia ada suatu norma hukum yang berlaku, bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum diatasnya, karena setiap produk hukum mempunyai hirarkie. Artinya, apabila peraturan tersebut bertentangan dengan produk hukum diatasnya, maka peraturan tersebut batal demi hukum. Dengan demikian peraturan tersebut tidak berlaku atau tidak dapat diterapkan sebagai landasan hukum.

“Berarti yang dilakukan oleh PT. Karya Rekanan Bina Bersama dengan menggunakan produk hukum yang cacat secara prosedural telah melanggar hukum,” kata Kaban.□


0 komentar: