Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Dunia pendidikan kerap melupakan persoalan perlindungan anak. Kondisi ini terlihat dari sering terjadinya kasus guru melakukan kekerasan pada anak dalam proses belajar mengajar. Demikian diungkapkan Ketua Lembaga Pemberdayaan Hati Nurani Rakyat (Hanura), Tuti Hanurita, Jumat (3/2) di ruang kerjanya.
Guru yang seharusnya melindungi siswa sebagai anak terutama di sekolah ustru melakukan tindakan kekerasan pada siswa. Maka siapa lagi yang akan memberikan kasih sayang. Apalagi kalau ada siswa di rumahnya sudah sering mendapatkan kekerasan dari keluarga kemudian ditambah kekerasan oleh gurunya di sekolah maka tidak dapat dibayangkan bagaimana penderitaan jiwa anak itu. “Untuk itu, maka perlu ada peningkatan kualitas guru konseling untuk memahami masalah perlindungan anak,” katanya.
Selama ini kasus-kasus tindak kekerasan guru pada siswa dalam proses pembelajaran seperti cara mengajar guru yang keras, kasar, memukul siswa, mencubit atau memberikan hukuman lain seperti mencuci WC dan tidak boleh mengikuti pelajaran. Kasus-kasus ini biasanya sama sekali tidak tersentuh oleh hukum pada hal sudah jelas hal tersebut melanggar undang-undang No 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak bahwa anak dilindungi baik fisik maupun mental. Dan guru yang menjadi pelaku kekerasan tersebut biasanya hanya mendapat hukuman administrasi seperti dipindahkan.
”Sedangkan proses hukumnya minim bahkan tidak jalan,” ungkapnya.Kalau kondisi ini terus dibiarkan maka siswa akan mengalami kesulitan untuk meningkatkan kualitas intelektualnya karena siswa mendapat tekanan mental. Keadaan kekerasan anak dalam dunia pendidikan tidak boleh terus dibiarkan karena sangat berpengaruh pada pertumbuhan jiwa siswa. Anak di sekolah harus dijamin untuk benar-benar dapat berkreativitas agar potensi dalam diri siswa dapat dikembangkan.
Sampai saat ini kasus yang masuk ke Hanura, lanjut Tuti seringkali justru anak dipersalahkan karena dianggap telah menyulut emosi guru. Untuk menghindari semakin banyaknya kasus kekerasan anak di sekolah ke depan guru perlu diberi pelatihan agar guru mengetahui undang-undanga tentang perlindungan anak. Ke depannya diharapkan menjadi program pemerintah. Selain itu tindakan kekerasan guru pada siswa juga harus ditindak dengan menegakkan proses hukum.
Teguh, Guru SMPN 18 Pontianak mengatakan mestinya sekolah menjadi rumah kedua bagi anak di mana mereka banyak meluangkan waktu dalam memperoleh pendidikan. Penyelenggara sekolah harus jadi orang tua kedua dalam pengasuhan anak.
Sayangnya kekerasan pada anak justru terjadi di lembaga yang bernama sekolah. Di mana sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan menyenangkan bagi anak. Ketika siswa dianggap sebagai objek yang akan menerima apa pun dari gurunya, maka disitu ada peluang terjadi kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak. Guru biasanya berlindung di balik alasan mendisiplinkan anak. Bukan tidak boleh memberi pelajaran disiplin pada anak tapi kadang guru itu lupa bahwa anak-anak tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Contoh yang sering terjadi adalah siswa dipaksa pulang karena telat.”Menurut pandangan saya tidak perlu siswa di suruh pulang karena datang ke sekolah kan sudah berniat dari rumahnya untuk belajar,” katanya.Prinsipnya belajar paling efektif bagi anak adalah ketika kebutuhan fisiknya terpenuhi dan ketika secara psikologis mereka merasa aman. Siswa membangun pengetahuan mulai dari yang mereka ketahui. Siswa belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa di sekitarnya dan teman sebayanya untuk menjadi mandiri.Penyebab terjadi kekerasan pada anak di lembaga yang bernama sekolah biasanya karenaGuru yang tidak profesional dalam mengajar, Guru yang pilih kasih, memaksakan kehendak. Melakukan intimidasi bisa dari guru maupun teman. Faktor dari siswa sendiri seperti siswa kurang sopan, siswa meremehkan guru, tidak mentaati peraturan dan tidak mengerjakan PR, bolos dan ribut. Selain itu kekerasan pada siswa juga disebabkan nilai pendidikan yang dipahami sejumlah guru di sekolahan belum mampu diinternalisasikan ke dalam jiwanya sendiri. Maka sangatlah wajar apabila kasus tindak kekerasan yang dilakukan guru ke sejumlah siswa sering kali terjadi di sekolah. Yang menjadi pertanyaan sekarang mengapa banyak guru yang gagal menginternalisasikan nilai pendidikan dalam dirinya sendiri? Ini tidak lain karena kuatnya sifat pragmatisme yang dimiliki sejumlah guru itu sendiri. Sehingga membuat dirinya menjadi lupa diri akan nilai tugas yang diembannya. Mereka lebih senang memperjuangkan hak pragmatismenya ketimbang mendahulukan hak siswa untuk mendapat pendidikan yang benar-benar mendidik. “Buktinya, selama ini kita jarang mendengar kegiatan guru yang bersifat evaluatif terhadap model mendidik dan kinerja dirinya,” jelasnya.
Para guru gagal memahami perannya mereka sehingga sangat pragmatis dalam menjalani tugas. Profesi mengajar telah dianggap sama halnya dengan orang yang bekerja di sebuah perusahaan komoditas yang kurang memedulikan mutu karena alasan hasil, tanpa disertai dengan proses berpikir jangka panjang akan hasilnya, bertahan lama atau tidak, bermutu atau tidak, yang penting suatu barang itu sudah layak dijual, persoalan mutunya bukan tanggung jawabnya.
Begitu juga dengan sifat sejumlah guru di negeri kita saat ini, yang penting sudah menyelesaikan tugas mengajar. Persoalan siswa menjadi baik atau brutal itu sudah tanggung jawab orang tuanya. Sehingga ia tidak pernah berpikir apakah cara mendidiknya baik atau tidak. Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kalbar, Elly Hakim mengungkapkan kekerasan guru terhadap siswa sangat berdampak pada perkembangan psikologis anak. Keengganan anak untuk terus belajar mata pembelajaran yang diajarkan oleh seorang guru akan berbuah pada tidak bertambahnya pengetahuan anak terhadap mata pembelajaran tersebut. Selain juga, traumatik berkelanjutan akan tercipta pada jiwa anak.
Proses pembelajaran cerdas dan kreatif yang masih belum dimiliki oleh para guru, juga tidak lepas dari peran lembaga pencetak guru yang cenderung statis dan tidak bergerak mengikuti perkembangan pengetahuan. Baru sebagian kecil guru yang menerapkan proses belajar siswa yang cerdas dan kreatif. Minimnya penggunaan alam sebagai media belajar merupakan sebuah indikator sederhana dari miskinnya kapasitas seorang guru. Belajar secara monoton di dalam kelas berlangsung secara berkelanjutan, pada akhirnya membuahkan generasi statis, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap kehancuran negeri ini.
Silih bergantinya kurikulum dalam waktu singkat, merupakan salah satu aspek kegagalan pendidikan. Belum terimplementasikannya suatu kurikulum hingga kegagalan perbaikan kurikulum merupakan beban baru bagi siswa. Termasuk ketika sistem ujian nasional diberlakukan, yang menjadikan ketidakjujuran sebagai sebuah bagian dari proses belajar mengajar.Kekerasan menjadi sebuah pilihan beberapa guru, dikarenakan tingginya beban pengetahuan yang harus dipindahkan ke siswa. Keterbatasan ruang kreasi pun terkadang menjadi sebuah hambatan tersendiri dalam proses belajar mengajar. Pemahaman substansi pendidikan telah sangat jauh ditinggalkan oleh guru sebagai pendidik.■
Rabu, 26 Maret 2008
Dunia Pendidikan Kerap Abaikan Perlindungan Anak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar