Rabu, 26 Maret 2008

Penting Pendidikan Anti Kekerasan

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Tidak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhadap perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka. Karena itu, perlu pendidikan dan pengetahuan yang cukup dari orang tua agar mampu mendidik anaknya ke arah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.
“Persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah stereotyping (stigma) dan prasangka,” kata Armijn Ch.S.Besman, S.IP, S.Psi, Psikolog Kalbar, Sabtu (1/3) di kediamannya.
Dikatakan Armijn, cara menghindari kekerasan terhadap anak adalah bagaimana anggota keluarga saling berinteraksi dengan komunikasi yang efektif. Selama ini orang tua dalam berkomunikasi terhadap anaknya disertai keinginan pribadi yang sangat dominan, dan menganggap anak sebagai hasil produksi orang tua, maka harus selalu sama dengan orang tuanya dan dapat diperlakukan apa saja.
Anak yang diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang dan selalu melindungi, akan tumbuh menjadi anak yang penakut, tidak mempunyai kepercayaan diri, dan sulit berdiri sendiri. Kondisi ini akan membuat anak berontak dan justru akan berbuat sesuatu yang sangat dikhawatirkan atau dilarang orang tuanya. Konflik ini bisa berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak. Sedangkan anak yang dididik dengan tuntutan yang tinggi mungkin akan mengambil nilai-nilai yang terlalu tinggi sehingga tidak realistis. Bila anak tidak mau akan terjadi pemaksaan orang tua yang berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak.
“Orang tua yang terlalu keras akan membuat anak tumbuh dan berkembang menjadi anak yang penurut namun penakut. Bila anak berontak terhadap dominasi orang tuanya ia akan menjadi penentang,” ujarnya.
Yang pastinya, kata Armijn anak belajar dari kehidupannya. Jika anak dibesarkan dengan celaan, Ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, Ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, Ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan hinaan, Ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, Ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, Ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, Ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, Ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, Ia belajar menyenangi diri. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Perilaku kekerasan tidak mungkin terjadi dengan tiba-tiba. Seseorang menampilkan perilaku itu merupakan hasil belajar juga, baik secara langsung maupun tidak langsung. “Karena itu, pendidikan harus peduli terhadap upaya untuk mencegah perilaku kekerasan sejak dini agar budaya damai, sikap toleransi, dan empati dapat ditanamkan kepada peserta didik semenjak mereka berada di tingkat pendidikan pra sekolah maupun pada tingkat pendidikan dasar,” ungkapnya.
Armijn berpendapat dunia pendidikan memungkinkan untuk membudayakan pemecahan konflik yang akhirnya dapat mencegah perilaku kekerasan. Pendekatan pendidikan anti kekerasan sangat diperlukan agar para siswa memiliki budaya damai dan mampu menegakkan perilaku anti kekerasan.
“Hanya melalui generasi penerus yang mampu menegakkan budaya damai dan anti kekerasanlah kita akan berhasil membangun masyarakat masa depan yang bisa tumbuh secara beradab dan demokratis,” jelasnya.
Sebaliknya generasi penerus yang tidak mampu melakukan resolusi konflik akan terdorong ke kawasan kehidupan masyarakat yang anarkis. Persoalannya sekarang ialah, bagaimana caranya mendidik berbagai bentuk resolusi konflik itu kepada para siswa. “Penggunaan pendekatan simulasi, bermain peran, observasi, penangaanan kasus perlu dilakukan dalam pembelajaran agar para siswa memiliki pengalaman nyata untuk melibatkan diri dalam menyosialisasikan gerakan anti kekerasan,” paparnya.
Untuk mendidik siswa agar bisa menerima gagasan dan perilaku anti kekerasan, berbagai bentuk resolusi konflik perlu diperkenalkan pada siswa dalam proses belajar-mengajar di kelas secara terintegrasi.
Caranya guru harus memiliki kepedulian dan komitmen yang kuat untuk menanamkan sikap dan nilai anti kekerasan kepada para siswa dengan cara mengajarkan berbagai bentuk resolusi konflik secara terintegrasi dengan bidang studi yang relevan sesuai sifat dan hakikat resolusi konflik yang dikonseptual. Dengan cara ini, maka dalam jangka panjang para siswa memiliki nilai dan perilaku anti kekerasan.
“Jika ini dapat dilaksanakan, maka bangsa ini akan memiliki generasi penerus yang santun dalam berperilaku, cerdas dalam berpikir, dan toleransi terhadap berbagai pluralitas yang ada.■


0 komentar: