Rabu, 26 Maret 2008

Pendidikan Indonesia Gagal Ciptakan Generasi yang Utuh

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Pendidikan telah gagal dalam membangun generasi yang utuh dan paripurna. Kebijakan pendidikan yang dibuat pemerintah tidak memperhitungkan kepentingan kualitas anak bangsa. Kebijakan pendidikan yang tidak jelas ini hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat teknis dan belum menyentuh persoalan substansial sehingga mutu pendidikan tidak membaik. Akibatnya indeks pembangunan manusia Indonesia berada di peringkat 108 dari 177 negara.
Asmil Ratna, Guru SMAN 2 Sungai Ambawang, mengatakan harus ada upaya mereformasi pendidikan secara menyeluruh yang hasilnya harus dapat memberikan kontribusi signifikan pada kualitas bangsa secara keseluruhan. Pemerintah harus membuat kebijakan pendidikan yang mengarah pada satu tujuan serta dijalankan secara konsisten dalam jangka waktu tertentu.
“Kebijakan pendidikan harus punya visi ke mana generasi bangsa ini akan bawa dan generasi seperti apa yang harus dihasilkan dari proses pendidikan,” katanya. Selama ini yang terjadi upaya meningkatkan mutu pendidikan tidak berangkat dari kepentingan mereka yang langsung berhubungan dengan pendidikan seperti guru, kepala sekolah, dan masyarakat. Yang ada adalah pemaksaan isi otak para penguasa yang duduk di birokrasi pemerintah kepada peserta didik. Padahal pemerintah sendiri tidak berhasil menemukan resep yang manjur. Akibatnya yang terjadi di lapangan kebijakan seperti percobaan yang berganti-ganti.
“Kebijakan isi kurikulum adalah contoh eksperimentasi pendidikan,” ujarnya. Sikap pragmatisme pemerintah sengaja menempatkan pendidikan pada struktur kekuasaan sehingga seluruh kebijakan pendidikan bergantung pada pemerintah. Jika pemerintah tidak serius menangani pendidikan, hasilnya dapat rasakan bersama. Komitmen rendah pada gilirannya melahirkan pendidikan carut-marut. Ironisnya kebijakan pendidikan tidak lahir dari penelitian lapangan dalam suasana pembelajaran di sekolah dan masyarakat Indonesia. UN yang setiap tahun memicu kontroversi dan bukanlah kebijakan strategis yang dapat memajukan pendidikan nasional. “Namun para guru, DPR, komite sekolah, orang tua sepertinya dipaksa berlelah-lelah berpolemik masalah UN. Sedangkan pemerintah tidak peduli dampaknya bagi masa depan pendidikan secara keseluruhan,” ungkapnya. Asmil berpendapat buah dari pendidikan yang tidak bervisi ke depan tidak mengajak anak didik untuk berpikir eksploratif dan kreatif. Seluruh suasana pembelajaran yang dibangun adalah penghafalan, tanpa pengertian yang memadai. Ujian yang ditanyakan adalah hasil penghafalan bukan pembatinan karena yang muncul adalah pilihan ganda. Siswa yang mampu berpikir kritis dan suka mengkritisi guru dianggap pembangkang dan harus dihukum. Siswa tidak di didik, tapi di-drill, dilatih, ditatar, dibekuk agar menjadi penurut, tidak jauh berbeda dari pelatihan binatang-binatang 'pintar dan terampil' dalam sirkus. Suasana pembelajaran yang 'salah urus' semacam itu, katanya telah menciptakan cakrawala berpikir peserta didik menyempit dan mengarah pada sikap-sikap fasisme, bahkan menyuburkan mental tempe yang menghambat kemajuan bangsa. Kondisi ini menimbulkan ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran. Dalam memandang masalah peserta didik melihatnya dengan kacamata kuda hanya satu arah karena kebiasaan di kelas bertahun-tahun dibuat demikian. Imbasnya banyak generasi muda saat ini gagal menyelesaikan masalah kompleks ketika hidup dalam masyarakat.
“Dampak yang paling parah, generasi muda saat ini selalu berpikir instant dan jarang generasi muda yang tangguh dalam menjalani sebuah proses untuk mencapai kesuksesan hidup,” kata Asmil. Teguh, guru SMPN 18 Pontianak berpendapat kebijakan dan kurikulum pendidikan nasional belum memberikan ruang dan waktu yang cukup berarti untuk pencerahan siswa. Yang lebih memprihatinkan, guru sering terjebak pada situasi rutinitas pembelajaran yang kaku, monoton, dan menegangkan lewat sajian materi yang lebih mirip orang berkhotbah, indoktrinasi, dan membunuh penalaran siswa dan dikukuhkan lewat dogma-dogma atau mitos-mitos.Padahal musuh utama pendidikan bukan saja kebodohan dan keterbelakangan, melainkan birokrasi yang pasif dan stagnan. Jika hendak memperbaiki pendidikan, agenda besarnya adalah reformasi dulu para pengambil keputusan di Depdiknas sampai ke daerah-daerah karena merekalah yang menentukan hitam putihnya pendidikan nasional.
“Selama kursi Mendiknas adalah kursi panas yang hanya boleh diduduki orang partai politik sukar berharap bahwa pendidikan akan membaik,” katanya. Kehadiran pendidikan harus benar-benar dimaknai secara substansial sebagai ajang yang menggembleng jutaan anak bangsa menjadi generasi yang utuh dan paripurna, cerdas intelektualnya, cerdas emosionalnya, sekaligus cerdas spiritualnya. Bukan hanya sekadar pelengkap yang selalu disanjung sebagai pengembang SDM, tapi realitasnya hanya menjadi sebuah 'Indonesia' yang terpinggirkan'.
Pendidikan sudah saatnya ditempatkan pada posisi yang benar sebagai alat dan sarana mengisi kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya. Jika pendidikan terus terabaikan, bangsa ini sendiri yang akan menikmati hasilnya.
”Akan lahir pemimpin-pemimpin yang salah urus dalam mengelola negara seperti kita alami sekarang ini. Pendidikan yang bervisi ke depan tidak hanya mengentaskan anak didik dari kebodohan dan keterbelakangan saja namun juga bisa menyelamatkan bangsa secara keseluruhan,” ungkapnya.


0 komentar: