Rabu, 26 Maret 2008

Profesi Guru Perlu Dikaji Ulang

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Upaya meningkatkan mutu pendidikan terkendala oleh tidak berkualitasnya sebagian besar pendidik. Apalagi kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidik yang dilakukan pemerintah belum menyentuh akar persoalan. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru hanya dilihat dari aspek kognitif saja. Meskipun dalam UU Guru dan Dosen sudah dijabarkan kompetensi yang harus dimiliki seorang guru tapi kenyataannya dalam meningkatkan kualitas pendidik pemerintah hanya mengedepankan aspek kognitif seperti syarat menjadi pendidik harus S1.
Dekan FKIP Untan, Aswandi berpendapat untuk menjadi pendidik tidaklah cukup hanya dinilai dari kognitifnya saja. Tapi seorang pendidik harus memiliki komitmen dan abtraksi. Komitmen sangat dibutuhkan dalam diri seorang pendidik dan jika pendidik tidak memiliki komitmen mendidik maka proses pendidikan yang dilakukan oleh pendidik tersebut tidak akan menghasilkan mutu yang baik.
“Komitmen menjadi pendidik ini contohnya guru bangga menjadi seorang pendidik dan benar-benar memberikan proses pendidikan pada peserta didik bukan malas-malasan mengajar atau mengajar hanya sebagai rutinitas kerja dan tidak ada proses mendidik peserta didik,” katanya.
Sedangkan abtraksi ini adalah kompetensi-kompetensi lain yang harus dimiliki seorang guru misalnya seorang pendidik harus S1, memiliki kompetensi kepribadian, Kompetensi Profesional, dan Kompetensi Sosial Kemasyarakatan.
Jika ingin memperbaiki mutu pendidikan, kata Aswandi maka perlu memikirkan kembali profesi keguruan. Hal ini penting untuk dipikirkan karena saat ini banyak guru yang bukan pendidik atau tidak bisa mendidik. Meskipun guru telah bergelar pendidikan tinggi seperti S1 atau S2 bahkan bergelar profesor belum tentu guru tersebut punya komitmen sebagai pendidik.
Sebagian besar guru hanya sebagai pengajar dengan mengejar tujuan kognitif dalam pembelajaran dan tidak memiliki tujuan merubah prilaku peserta didik. Bahkan cara guru mengajar masih bersifat teks book yaitu menyampaikan apa yang ada dalam isi buku tanpa mengkritisi isi buku tersebut.
”Padahal isi buku pelajaran belum tentu benar semua,“ ungkapnya.
Keadaan inilah yang mengakibatkan kondisi pendidikan menjadi rusak karena pendidikan tidak diurus oleh orang yang punya komitmen terhadap pendidikan. Persoalan lain, kata Aswandi kesadaran kolektif para pendidik dan birokrasi dipemerintah serta masyarakat begitu rendah terhadap persoalan pendidikan. Contoh kasus saat di Kalbar mutu pendidikan SMP Kalbar terburuk di Kalimantan tapi tidak ada yang bereaksi secara keras menuntut pemerintah provinsi untuk segera memperbaiki mutu pendidikan yang benar-benar terpuruk. Berbeda dengan AS, ketika mutu pelajaran sains di AS di bawah negara-negara Asia, pemerintah AS menyatakan negara AS dalam keadaan bahaya. Di Jepang kalau ada pemimpin yang gagal dalam melaksanakan tugas mereka akan segera mengundurkan diri tapi di Indonesia justru pejabat yang gagal menjalankan tugasnya malah minta diperpanjang masa jabatannya.
“Pemerintah tampaknya sudah kehilangan kecerdasan harga dirinya dan tidak lagi memiliki rasa malu meski mutu pendidikan telah begitu terpuruk,” ujarnya.


0 komentar: