Rabu, 26 Maret 2008

Perempuan Harus Berpartisipasi Dalam Pengelolaan SDA

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan terutama pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan adanya praktik diskriminasi terhadap perempuan merupakan persoalan mendasar dalam pembangunan pemberdayaan perempuan yang terjadi selama ini. Masih terdapatnya kesenjangan partisipasi politik kaum perempuan yang bersumber dari ketimpangan struktur sosio-kultural masyarakat juga menjadi persoalan yang selalu dihadapi para perempuan di Indonesia.
Dalam konteks sosial, kesenjangan ini mencerminkan masih terbatasnya partisipasi dan akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang lebih luas. Demikian diungkapkan Direktur Lembaga Pengembangan Masyarakat Swadaya dan Mandiri (Gemawan), Laili Khairnur, Selasa (22/1) saat ditemui di ruang kerjanya.
Dikatakannya rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik menjadi masalah utama dalam pembangunan pemberdayaan perempuan. Di bidang politik, meskipun Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu mengamanatkan keterwakilan 30 persen perempuan di lembaga legislatif, namun hasil Pemilu 2004 masih menunjukkan rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, yaitu keterwakilan perempuan di DPR hanya 11 persen dan di DPD hanya 19,8 persen. Di bidang ekonomi partisipasi dan akses terhadap pengelolaan sumber daya alam belum menjadi milik perempuan. Artinya saat ini yang terjadi di lapangan suara-suara perempuan tidak didengar oleh publik saat terjadinya eksploitasi sumber daya alam suatu daerah.
Padahal perempuan sebagai pelaku dari kegiatan ekonomi. Contohnya di desa sebagian besar yang turun ke ladang untuk bercocok tanam adalah perempuan. ”Terjadinya krisis pangan adalah bukti dari tidak adanya pemberdayaan perempuan pada pengelolaan sumber daya alam. Jika pemerintah betul-betul dapat memberdayakan perempuan untuk meningkatkan produksi pangan maka Indonesia tidak akan mengalami krisis pangan,” katanya.
Lanjutnya untuk pengelolaan SDA seperti penebangan hutan karena tidak melibatkan perempuan dalam mengelola hasil hutan maka saat ini hutan menjadi gundul. Jika pengelolaan hasil hutan melibatkan perempuan, hutan tidak akan gundul karena perempuan memiliki perspektif keberlangsungan untuk generasi mendatang dalam pengelolaan SDA.
Banyaknya produk hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan menjadi sebuah persoalan besar yang selalu melahirkan ketidakadilan gender di Indonesia. Perangkat hukum pidana yang ada belum cukup lengkap dalam melindungi setiap individu, terutama dari tindak kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada juga belum dilaksanakan secara konsekuen untuk menjamin dan melindungi hak-hak perempuan, termasuk memberikan perlindungan bagi perempuan seperti Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Di era desentralisasi seperti saat ini, timbul masalah kelembagaan dan jaringan di daerah (propinsi dan kabupaten/kota), terutama yang menangani masalah-masalah pemberdayaan perempuan. Karena program-program pembangunan pemberdayaan perempuan merupakan program lintas bidang, maka diperlukan koordinasi mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan dan evaluasi. Masalah lainnya adalah belum tersedianya data-data pembangunan yang terpilah menurut jenis kelamin, sehingga sulit dalam menemukan masalah-masalah gender yang ada. “Partisipasi masyarakat juga masih rendah dalam mendukung upaya peningkatan kualitas hidup dan perempuan serta upaya peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak,” ungkapnya.Jika persoalan ketidakadilan gender di Indonesia terus dibiarkan maka perempuan Indonesia tidak akan pernah siap menyongsong era globalisasi yang memiliki tuntutan persaingan tinggi, dan penguasaan terhadap akses teknologi informasi. Perempuan dituntut mampu berkompromi dengan dunia global. Perempuan yang tidak mampu beradaptasi dengan keadaan global tidak memperoleh kesamaan dan keadilan. Dan hanya akan memilih bentuk-bentuk pekerjaan mengandalkan tenaga kasar, bekerja sebagai pelayan restoran, pelayan toko dan juga mendaftar tenaga kerja Indonesia ke luar negeri.Saat ini pemerintah harus mulai membiasakan untuk memiliki komitmen dalam memberikan persamaan gender di Indonesia. Laili juga mengungkapkan ada beberapa cara yang mesti dilakukan untuk memberikan kesejahteraan pada perempuan. Pertama, menguatkan organisasi yang peka pada kepentingan perempuan, organisasi yang memperjuangkan keberpihakan perempuan dan Organisasi yang berupaya membangun wacana tafsir yang memihak kepentingan perempuan. Persoalan yang terjadi di tahun 2006 dan 2007 adalah masih rendahnya akses perempuan terhadap tafsir agama dan pengetahuan. Sedikit sekali perempuan mampu membangun wacana agama yang adil bagi perempuan. Perempuan kalah mempublikasikan penjelasan dari sudut pandang diri mereka sendiri mengenai aturan keluarga, masyarakat dan negara. Tokoh agamawan merebut wacana perempuan untuk membuat hukum keluarga dan masyarakat dipandang dari kacamata kepentingan patriarkhi. Misalnya, fatwa atas kasus-kasus yang memperbolehkan tindakan diskriminasi perempuan, seperti poligami, dan ketaatan penuh terhadap suami tanpa memberikan peluang berinisiatif. Fatwa diperbolehkannya poligami membuat sebagian perempuan pasrah dan menerima perlakuan yang tidak adil. Perempuan khawatir dan cemas dengan maraknya wacana diperbolehkannya poligami yang dilakukan oleh sebagian para tokoh agama dan masyarakat. “Sementara tafsir agama yang memperbolehkan perempuan untuk menggugat cerai apabila mereka mengalami ketidakadilan dari suaminya tidak muncul di permukaan,” jelasnya. Cara kedua yang harus dilakukan adalah menyadarkan perempuan untuk berpartisipasi dalam banyak hal. Partisipasi perempuan terwujud apabila memperoleh akses pendidikan di sekolah, keluarga dan masyarakat. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh perempuan, maka perempuan akan semakin banyak berpartisipasi. Sebaliknya, perempuan berpendidikan rendah, partisipasi mereka rendah pula. Mereka tidak memiliki aspirasi mengelola kehidupan diri mereka sendiri, keluarga dan masyarakat. Rendahnya aspirasi perempuan telah memperkuat ketidakadilan bagi perempuan. Aspirasi rendah nyaris tidak mampu membuat keputusan bagi kemajuan hidup diri mereka.
Yang ketiga, Membuka peluang kerja bagi perempuan secara egaliter. Perempuan mesti diberikan kesempatan memperoleh akses pekerjaan sesuai bakat dan kemampuan. Tidak benar, perempuan dilarang bekerja di sektor publik. Jika perempuan memiliki kemampuan kerja di bidang mesin, akses pada pekerjaan tersebut perlu dibuka. Pandangan bahwa perempuan tidak pantas bekerja di bidang teknik dan mesin adalah pandangan kuno. Di zaman global, persaingan kerja tidak bergantung pada jenis kelamin, melainkan skill dan kemampuan. Untuk itulah, upaya mendidik perempuan dengan hal-hal yang berguna bagi kehidupan tidak perlu dibatasi. Memperbanyak pelatihan kerja membuka peluang partisipasi kerja lebih luas. “Perempuan perlu lebih dimotivasi untuk belajar hal-hal yang berguna bagi kesejahteraan hidup mereka,” tuturnya.■


0 komentar: