Rabu, 26 Maret 2008

SD Perbatasan Minim Guru

*Honor kecil, Guru Honorer Menyadap dulu Baru Mengajar

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Sintang

Jumlah tenaga pendidik di seluruh SD Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang sangat minim. Untuk melayani 24 SD di perbatasan dengan Serawak, Malaysia ini pemerintah hanya menyediakan 76 tenaga pendidik. Itu pun hanya 60 orang saja yang Pegawai Negeri Sipil (PNS).
“Jadi rata-rata setiap SD hanya ada 4 orang tenaga pendidik sedangkan setiap SD memiliki 200 siswa,” kata Guru SDN 16 Sepan Peturau, Edwin. A. Ma. Pd saat dijumpai di Sintang beberapa waktu lalu.
Minimnya jumlah guru ini kata Edwin menyebabkan guru di perbatasan harus pandai-pandai melaksanakan proses belajar mengajar. Biasanya seorang guru saat mengajar harus menyatukan beberapa kelas menjadi satu kelas.
Misalnya kelas I disatukan dengan kelas II, kelas III digabung dengan kelas IV dan kelas V dengan kelas VI. Guru tersebut harus bisa mengajar siswa dua kelas yang tingkatannya berbeda. Jika menyatukan dua kelas yang berbeda dirasakan akan mengganggu proses belajar karena jumlah siswa yang terlalu banyak dan suasana belajar menjadi tidak kondusif. Maka seorang guru harus rela mondar-mandir dari kelas yang satu ke kelas yang lain. Karena harus mengajar dua kelas sekaligus dalam waktu yang bersamaan dengan tetap memisahkan kelas itu.
”Proses pembelajaran di daerah perbatasan ini tidak lagi terlalu pusing pada kurikulum. Proses pembelajaran bisa terlaksana saja kita sudah harus bersyukur,” ujarnya.
Untuk kurikulum pendidikan memang SD – SD di perbatasan mengikuti kurikulum nasional yang katakan KTSP. Tapi pelaksanaan kurikulum ini tidak bisa berjalan maksimal karena banyak persoalan yang menjadi penghalang pelaksanaan kurikulum tersebut.
Dampak dari minimnya jumlah guru, ungkap Edwin ketuntasan dalam proses pembelajaran tidak bisa mencapai 80 sampai 100 persen. Karena seorang guru tidak dapat fokus untuk mengajar siswanya. Bayangkan saja misalnya sebentar ia harus ke kelas V sebentar kemudian ia harus pergi ke kelas VI. Jadi jika proses belajar waktunya 90 menit maka guru harus dapat membagi 90 menit tersebut untuk kelas V dan kelas VI. Misalnya 15 menit pertama mengajar di kelas V, 15 menit ke dua harus mengajar di kelas VI. Dan yang lebih memberatkan biasanya mata pelajarannya berbeda pula.
Contoh di kelas V mengajar mata pelajaran Matematika sedangkan di kelas VI harus mengajar IPA.
”Bagaimana bisa meningkatkan kualitas pembelajaran, kalau guru harus disibukkan hanya untuk mondar-mandir dari kelas yang satu ke kelas yang lain,” ungkapnya.
Untuk mengatasi kekurangan guru yang begitu banyak, pihak sekolah biasanya mengangkat guru honor dan guru bantu. Guru-guru ini hanya berasal dari masyarakat setempat yang mau mengajar dan mereka hanya berpendidikan SMA bahkan ada yang SMP. Jangan berharap mendapatkan guru yang berpendidikan S1 di daerah terpencil seperti ini. ”Untuk masalah tenaga guru, bagi kami tidak ada rotan akar pun jadi. Artinya tidak ada guru S1, orang yang lulusan SMA atau SMP pun akan dipakai jika mereka mau mengajar,” katanya.
Kondisi ini sangat berbeda dengan di Sarawak, Malaysia yang pendidikannya sudah maju. Kalau di Malaysia seorang guru akan bangga mengaku menjadi guru karena kesejahteraannya terjamin. Di Malaysia seorang guru berpenghasilan 3.000 – 4.000 Ringgit per bulan atau sekitar Rp 7 juta sampai Rp 8 juta perbulannya. Sedangkan di Indonesia khususnya daerah perbatasan, gaji seorang guru hanya Rp 1.5 juta per bulan atau tak lebih dari 600 Ringgit.
Lebih memprihatinkan lagi lanjut Edwin gaji guru honorer di SD perbatasan hanya Rp 250.000 sampai Rp 300.000 saja per bulan. Lantaran gajinya kecil, biasanya guru-guru honorer ini menoreh karet dahulu sebelum mengajar. Jadi biasanya proses pembelajaran baru dimulai jam 08.00 atau jam 09.00.
”Jadi jangan pernah menanyakan persoalan kurikulum pendidikan di sekolah kepada guru-guru honorer, karena mereka tidak memahaminya,” ungkapnya.
Ketua Kelompok Informasi Masyarakat Perbatasan (Kimtas) Ketungau Hulu, Murjani yang juga guru di salah satu SD di Ketungau Hulu mengatakan selain persoalan minimnya tenaga pendidik, dunia pendidikan di daerah perbatasan juga sangat minim dalam hal sarana dan prasarana pembelajaran. Baik dari ruang kelas yang banyak rusak, buku pelajaran kurang tersedia, sampai pada alat praktikum begitu minim bahkan tidak ada sama sekali. Selain itu akses informasi seperti TV, Koran dan radio pun sangat minim. Bahkan tidak ada saluran TV dan radio Indonesia yang dapat ditangkap di Ketungau Hulu. Begitu juga dengan media massa belum ada dijual sampai ke daerah perbatasan. Jadi selama ini masyarakat di daerah perbatasan lebih mengakses TV dan Radio dari Sarawak.
Persoalan lagi adalah rumah dinas guru di SD-SD perbatasan ini sangat tidak layak untuk dihuni. Rumah-rumah dinas guru tersebut atapnya bocor, lantainya banyak berlubang, pintu dan jendela banyak rusak.
”Kita berharap pemerintah kabupaten Sintang dan Provinsi Kalbar dapat memperhatikan pendidikan di daerah perbatasan. Jangan hanya sekadar wacana akan membangun daerah perbatasan,” pungkasnya.