Rabu, 02 April 2008

Merebut Peluang dalam Pilkada

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak
Merebut peluang dalam Pilkada bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Seorang kontestan Pilkada harus memiliki strategi yang cerdas untuk merebut pemilih.
Langkah pertama yang harus dilakukan calon ialah, memetakan masyarakat berdasarkan segmen demografis.
“Segmen demografis membagi masyarakat dalam kategori masyarakat yang didominasi oleh adat istiadat suku, didominasi oleh unsur keyakinan dalam agama dan kategori tingkat pendidikan, pekerjaan dan pendapatan,” kata Koordinator Wilayah Lembaga Survei Indonesia (LSI) Kalbar, Johnny Rudwin, Sabtu (29/3) di kediamannya.
Menurutnya, setelah calon dapat memetakan kondisi demokrasi masyarakat di semua daerah pemilihan, calon harus segera melakukan proses pendidikan pada masyarakat. Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui apa keinginan rakyat terhadap pemimpinnya. Program-progam apa saja yang mesti dibuat di daerah tersebut.
“Calon harus benar-benar mengetahui aspirasi rakyatnya, karena satu suara sangat berarti dalam Pilkada,” ujarnya.
Proses pendekatan ke masyarakat akan berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Masing-masing daerah, etnis dan agama akan berbeda cara melakukan pendekatannya.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk melakukan pendekatan. Salah satunya merangkul patron atau tokoh masyarakat yang berpengaruh dan dapat memengaruhi masyarakat di daerah tersebut.
Selain faktor demografis, masyarakat juga dipengaruhi faktor psikologis, yaitu adanya keaktifan masyarakat dalam organisasi sosial. Kalau masyarakat di suatu daerah begitu aktif dalam organisasi sosial, maka ormas harus dijadikan tempat komunikasi merebut hati rakyat. Calon mesti mulai melakukan pendekatan pada ormas-ormas di daerah tersebut. “Jadikan setiap kegiatan ormas itu sebagai media komunikasi dengan rakyat,” kata Johnny.
Sikap rasionalitas masyarakat juga menjadi faktor penting untuk menentukan peluang calon dalam Pilkada. Masyarakat yang memiliki sikap rasionalitas, adalah masyarakat yang telah mampu menilai visi, misi dan program dari para calon.
Masyarakat telah berkalkulasi untung dan ruginya, jika ia memilih calon tersebut. Jika calon telah dapat memetakan tiga karakter yang ada di masyarakat, langkah selanjutnya membuat strategi dan menentukan media apa yang efektif untuk berkomunikasi dengan rakyat di masing-masing daerah. Tokoh kunci mana yang bisa dijadikan patron untuk berkomunikasi dengan rakyat. Strategi apa yang harus digunakan untuk memenangkan Pilkada.
Dalam berkomunikasi dengan rakyat, calon mesti dapat membaca tingkat peluang keterpilihan dia di masyarakat. Caranya bisa dengan menanyakan, apakah ia popular atau tidak di masyarakat. Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap dirinya.
“Memenangkan Pilkada bukan mengandalkan popularitas di media massa tapi yang terpenting popular di masyarakat,” jelasnya.
Setelah ia tahu tingkat ke populerannya di masyarakat, baru calon memperhitungkan apakah ia berpeluang besar untuk memang atau tidak. Jika tidak lebih baik mundur sebelum miskin mendadak karena kehabisan uang untuk Pilkada.
Selain membaca peluangnya, calon juga harus membaca peluang dari lawan. Perlu melakukan analisis baik kekuatan, kelemahan, tantangan dan peluang baik dirinya maupun lawan politik. Jika ada calon incumbent, langkah yang harus dilakukan adalah mengevaluasi kepemimpinan incumbent. Apa kesuksesan calon incumbent dimata masyarakat dan apa kegagalannya. Semuanya bisa ditanyakan ke masyarakat. Untuk kegagalan dari kepemimpinan incumbent, maka perlu ditanyakan ke masyarakat apa solusi yang dikehendaki oleh masyarakat.
Upaya mengukur tingkat popularitasnya di masyarakat, dapat dilakukan dengan calon turun langsung ke masyarakat atau minta bantuan tim independent yang bekerja berdasarkan data yang akurat. Misalnya perguruan tinggi, lembaga survey, ormas dan LSM yang paham dengan survey.
Upaya terakhir yang mesti dilakukan calon adalah bagaimana melaksanakan kampanye yang efektif. Calon harus cerdas memilih model kampanye, kapan ia harus menggunakan kampanye konvensional dan kapan ia harus menggunakan kampanye dialogis. Contoh kampanye konvensional ialah kampanye dengan menghadirkan artis dalam kampanye. Sedangkan kampanye dialogis adalah kampanye lewat pendekatan budaya dan kultur masyarakat.
“Calon jangan menoton dalam menggunakan metode kampanye, karena tidak semua masyarakat menyukai kampanye yang bersifat konvensional,” ungkapnya.□


0 komentar: